Seorang lelaki paruh baya berdiri mematung sambil memperhatikan deretan minyak goreng beserta label harga yang tercantum di bawahnya. Sesekali keningnya pun berkerut saat matanya tiba pada label harga yang tercantum di bawah deretan minyak goreng itu. Ah tingkahnya itu tak beda denganku yang berdiri tak jauh darinya. Sudah tidak ada lagi harga yang di bawah Rp30 ribu setiap kemasan dua liter. Padahal bulan lalu aku masih bisa mendapatkannya bahkan dengan harga promo di bawah harga Rp30 ribuan. Minggu ini harga Rp30 ribuan itu sudah termasuk promo. Berarti tetap saja mahal walaupun harga promo juga.
Pulang dari berbelanja bi Wini, asisten rumah tangga mertuaku segera memburuku, “Minyak goreng yang lagi promo apa aja Bu?” tanyanya sambil segera membantuku membawakan tas belanjaan ke lantai atas. Sebenarnya pertanyaan itu kerapkali bi Wini lontarkan kepadaku, karena setiap ada minyak goreng promo dia akan membelinya beberapa kemasan untuk kemudian dikirimkan ke kampungnya di Kuningan bersama kiriman lainnya. Tapi pertanyaannya kali ini bikinku menghela nafas penjang. Sebenarnya kalau diingat-ingat kenaikan harga minyak goreng ini bukan kali ini, hampir setiap bulan ada saja kenaikannya. Dan belakangan ini sangat terasa apalagi dengan kondisi perekonomian kita yang belum membaik sejak adanya pandemi. Dan kenaikan hanya seribu rupiah saja sangat berarti buat ibu rumah tangga sepertiku apalagi ini naiknya sampai beberapa ribu rupiah. “Harga promo juga tetap mahal!” Jawabku sambil mengikuti langkahnya naik ke lantai atas.
Ah jadi kepo , mengapa harga minyak goreng bisa naik semahal ini? Dan ini tidak hanya di pasar swalayan bahkan di pasar tradisional lebih mahal lagi katanya. Tidak hanya minyak goreng kemasan tapi juga minyak goreng curah. Ada apa sebenarnya dengan salah satu bahan kebutuhan pokok ini?
Untuk menjawab kepenasaranku itu aku pun segera mencari rujukan di media on line. Dan kutemukan di sana, sebuah koran on line memaparkan tentang alasan kenaikan minyak goreng yang telah berlangsung beberapa bulan ini. Dengan mengutip Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan. Menurutnya, harga minyak goreng naik lebih dikarenakan harga internasional yang naik cukup tajam.
Selain itu, kenaikan harga minyak goreng turut dipicu turunnya panen sawit pada semester ke-2 di dalam negeri. Alhasil, suplai CPO menjadi terbatas dan menyebabkan gangguan pada rantai distribusi (supply chain) industri minyak goreng, serta adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30.
“Trend kenaikan harga CPO sudah terjadi sejak Mei 2020. Hal ini juga disebabkan turunnya pasokan minyak sawit dunia seiring dengan turunnya produksi sawit Malaysia sebagai salah satu penghasil terbesar. Selain itu, juga rendahnya stok minyak nabati lainnya, seperti adanya krisis energi di Uni Eropa, China, dan India yang menyebabkan negara-negara tersebut melakukan peralihan ke minyak nabati. Faktor lainnya, yaitu gangguan logistik selama pandemi COVID-19, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal,” tambah Oke.
Namun Oke menjamin bahwa pasokan minyak goreng di masyarakat saat ini aman. Kebutuhan minyak goreng nasional sebesar 5,06 juta ton per tahun, sedangkan produksinya bisa mencapai 8,02 juta ton.
Iya sih pasokan minyak goreng memang terjamin kesediaannya hal ini terbukti tadi dengan rak-rak minyak goreng di swalayan yang masih terisi penuh. Tapi ya itu tadi mahal! Di satu sisi saya bersyukur masih mampu membeli minyak goreng kemasan setiap bulannya dan itu pun saya berusaha menghemat minyak goreng tersebut dengan cara menggoreng seperlunya saja. Lebih banyak merebus dan memanggang makanan. Tapi di sini lain terpikir juga dampak kenaikan harga terhadap masyarakat kecil contohnya Bi Wini tadi. Sebagai tulang punggung keluarga, setiap bulannya dia membeli minyak goreng untuk dikirim ke kampung halamannya membantu keluarganya.
Kenaikan harga minyak goreng juga berdampak pada harga kebutuhan lainnya. Dan berdampak pula pada pelaku usaha kecil, seperti tukang gorengan. Dengan terpaksa mereka juga harus menaikkan harga gorengannya atau jika harga tetap tetapi ukurannya berkurang. Bahkan terjadi pula pengurangan kualitas, bisa saja minyak goreng yang digunakan kualitasnya kurang baik karena sering digunakan alias minyak jelantah. Kalau sudah begitu siapa yang paling merasakan dampaknya? Tentu saja konsumen atau pembeli gorengan tersebut. Berdampak pada kesehatan.
Kenaikan minyak goreng yang diikuti kenaikan harga lainnya bagi masyarakatnya sebenarnya bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga. Di saat ekonomi masyakat belum pulih akibat pandemi kini ditambah dengan kenaikan minyak goreng dan yang lainnya. Belum lagi bencana banjir dan longsor yang terjadi di musim hujan seperti sekarang ini.
Saat mengobrol dengan suami di telepon tadi sempat juga terlontar gagasan untuk membantu membantu mereka dengan cara membuat semacam operasi pasar. Membeli minyak goreng langsung dari distributornya dan dijual kepada mereka dengan harga lebih murah daripada di pasaran. Ini pun dengan kemampuan kami yang sangat teribuatas. Diperlukan banyak tangan lagi yang bisa melakukannya agar jangkauannya lebih banyak dan lebih luas. Lantas apa lagi yang bisa kita lakukan? Ayo yang bisa kita lakukan kita lakukan bersama-sama!
0 Comments