Beberapa hari yang lalu belajar merangkai kata demi kata, hingga menjadi tulisan naratif dan deskriptif disampaikan Mariska Lubis pendiri Mariska Institute (MI).
Isi materi biasa saja, tak ada sesuatu yang spesial tentang narasi dan deskripsi.
Setiap orang memiliki kemampuan membangun narasi dan deskripsinya sendiri. Karena itulah kemerdekaan yang sebenar-benarnya.
Kemerdekaan berfikir, berekspresi dan bertindak sesuai kodratnya. Sehingga tidak ada perbedaan sedikitpun diantara sesama.
Apalagi bila dibandingkan dengan proses penciptaan manusia sebagai mahluk sempurna di antara mahluk lainnya. Dengan kemampuan mengenali sekian ratus kata dan ilmu pengetahuan yang ada dalam dirinya. Tentu materi belajar naratif dan deskriptif itu tidak jauh beda dengan pelajaran bahasa Indonesia di tingkat SLTA.
Mariska sebagai pembimbing hanya mengingatkan kembali bahwa kita memiliki kemampuan hebat yang perlu diasah dan diolah sedemikian rupa. Mampu menciptakan karya-karya yang merepresentasikan keagunganNya.
Mariska mentransformasi luasnya ilmu pengetahuan tentang rasa, cipta dan karsa yang melekat pada diri manusia, dengan bahasa yang mudah difahami.
Sudah seharusnya cipta, rasa, karsa melahirkan sebuah karya tulis yang kaya akan nilai-nilai kemanusiaan.
Mariska dengan kerendahan hatinya sebagai penulis mengajak kita sebagai mahluk ciptaan Sang Maha Tunggal berupaya betul-betul menuangkan kemampuan dalam hal menulis.
Memaksa peserta untuk benar dan menyadari fitrahnya sebagai sosok mahluk paling sempurna.
Kunjang, Sabtu :10.00 WIB
Mengusik minatku belajar, kepada lima orang teman saya akhirnya bertanya tentang narasi dan deskripsi hari ini.
Apa yang tengah ada dalam alam fikiran mereka?
Empat orang menyampaikan narasi dan deskripsi berbeda. Sedangkan seorang teman merespon dengan diam dan sekilas seperti berkata, percuma!
Dari keempat teman saya mendengar cerita dinamika covid-19 di Indonesia dengan versinya masing-masing.
Ramailah dusun Kunjang dengan cerita asal mula virus berkembang. Penanganan pemerintah dalam memutus mata rantai penularan, bantuan untuk rakyat selama pandemi, korban-korban kematian hingga aliran isu dana covid-19.
Begitulah masyarakat merespon situasi saat ini, tidak jauh beda dengan media-media yang lagi viral dan kejar tayang.
Mungkin, narasi keempat teman tak seperti tulisan yang saya buat. Tulisan ini sengaja dibikin dengan bahasa yang baik dan polesan kata disana-sini. Bukankah pada dasarnya bahasa kita memang kaya dengan kata?
Hingga saya butuh waktu untuk menyelesaikannya beberapa hari. Mengisi waktu kosong dengan menulis, menyampaikan ide, opini, kritik dan saran buat pembaca.
Yang pasti setelah berhasil mengorek nyali dari keempat teman, tak terdengar narasi tentang virus covid-19 dibahas sebagaimana cerita pagebluk di jaman nabi.
Cerita pagebluk waktu itu mestinya menjadi dasar telaah umat Islam saat ini dan nanti.
Betapa indahnya bila dalam setiap situasi, nyaman atau tidak nyaman, selalu ada cerita tentang khasanah Islam.
Sebagaimana di jaman nabi-nabi terdahulu pernah dihimpit wabah penyakit begitu hebat. Hingga seorang sahabat mengeluarkan fatwa agar umat benar-benar selamat.
Kecuali search di medsos hampir tidak terdengar seorang ulama berbicara covid-19 menurut pandangan Islam. Baik di khutbah Jumat maupun pengajian-pengajian jamaah istighosah atau pada peringatan hari besar Islam yang merupakan ruang untuk umat Islam sebagai tempat mengkaji dan menyelesaikan persoalan.
Baik dari tokoh agama yang dipilih secara aklamasi tentang ketokohan dan keilmuannya atau khotib yang sengaja diorbitkan untuk belajar khutbah .
Yang kami dengar dan kami lihat hanyalah fatwa tentang sabar dan ikhlas dalam menghadapi virus covid-19. Sama halnya ketika kita diingatkan untuk sabar sebelum adanya covid 19.
Serta anjuran memperbanyak amal dengan membaca Al-Qur’an, amal sedekah hingga sholat berjamaah di masjid.
Meskipun akhirnya kontra produktif dengan anjuran pemerintah yang sedang melakukan PSPB dan PPKM.
Sungguh covid-19 tengah membodohkan kita semua pada semua lini kehidupan.
Di waktu yang sama saya berusaha menyelami sikap satu orang teman dari empat teman lainnya.
Dia cenderung diam dan abai, begitu bahasa yang tepat disebutkan padanya.
Emm..
Ataukah dia lebih maju selangkah dalam berfikir, bahwa yang terjadi semua adalah kehendak Sang Esa, Sang Maha Menentukan?
Astaughfirullah berarti saya telah suudzon atas sikap teman sendiri.
Atau memang dia tidak ngeh dengan perubahan poleksosbud, perubahan teman-teman yang sedang berusaha merespon keadaan dengan segenap tenaga dan fikiran. Untuk memenuhi tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga sekaligus sebagai warga negara yang baik. Atau dia memang memahami kapan dan bagaimana perubahan itu bisa terjadi?
Atau dia sedang menikmati model kepribadian di tengah semrawutnya orang-orang yang sibuk dengan kebutuhan, medsos hingga perang aliran keyakinan?
Atau dia mengenal betul dari jaman alif bahwa hidup iya begini ini! Tak ada bedanya. Dia tetap diam tak bergeming.
Hanya usai cengkrama kami ia bertanya, kapan ngopi ke Wonosalam?
Hari itu saya mendapat point tentang cara berfikir seseorang berdasarkan pengetahuannya. Silaturrahim lewat ngopi bersama sekaligus berbagi cerita menjadi trend dibeberapa tempat.
Barangkali begitulah cara mencari narasi dan diskripsi dari sumber orang lain.
0 Comments