Mainkan Jaring, Sakral Petik Laut

Aug 12, 2021 | Jalan Jalan

Kota Pasuruan dengan luas 35,29 Km terdiri dari 5 kecamatan, antara lain Kecamatan Bugul Kidul, Kec. Gadingrejo, Kecamatan Purworejo, Kecamatan Kebon Candi dan Kecamatan Keraton. Kota Pasuruan merupakan kota santri dan terdapat beberapa pondok pesantren yakni pondok Sidogiri, pondok Al Yasini dan banyak lagi.

Di wilayah pesisir pantai utara kota Pasuruan di kecamatan Purworejo, terhampar laut selat Madura. Masyarakat sekitar pelabuhan di kelurahan Mangandaran, kelurahan Ngemplak dan kelurahan lainnya dominan berprofesi sebagai nelayan yang setiap harinya bergelut dengan jaring dan berjibaku berburu ikan dan hasil laut lainnya sebagai sumber daya potensi laut.

Menurut penuturan Bapak Gatot selaku yang dituakan di lingkungan masyarakat sekitar pelabuhan laut, sesungguhnya terdapat paguyuban HNSI namun sudah lama tidak melaksanakan aktifitasnya dan bisa dikatakan matisuri, walaupun sesungguhnya masyarakat nelayan membutuhkan naungan Koperasi sebagai induk namun hingga saat ini belum terlaksana. Hal itu disebabkan karena ketua HNSI tidak aktif cukup lama. Oleh karenanya masyarakat nelayan masih percaya dengan yang tokoh dituakan seperti bapak Gator. Kalaupun ada hal-hal bersifat kendala dan hambatan maka akan disampaikan kepada Bapak Gatot, pungkasnya begitu!.

Dengan vacumnya paguyuban HNSI, maka Bapak Gatot berinisiatif membentuk paguyupan “Rukun Nelayan” dengan ia sendiri bertidak selaku ketua. Populasi masyarakat nelayan di sekitar pelabuhan berjumlah sebanyak 2.070 orang, dengan 40 kapal nelayan berkekuatan mesin 6 GT keatas, 30 kapal berkekuatan antara 3 s/d 6 GT, dan 500 kapal nelayan berkekuatan mesin antara 1 s/d 3 GT.

“Dalam melakukan aktifitas pengejaran dan penangkapan ikan, para nelayan berangkat pagi hari sebelum subuh dan kembali sore hari. Keterampilan dan kemampuan para awak kapal sebagai nelayan, sangatlah menentukan untuk memperoleh hasil tangkapan. Jika bekerja keras dan tidak malas maka dipastikan pulang membawa hasil banyak. Jika malas, maka tidak akan membawa hasil yang diharapkan,“ Kata Pak Gatot menerangkan suka duka sebagai nelayan.

Melihat pemandangan begitu banyak kapal nelayan yang mengarungi laut selat Madura memang sungguh indah. Namun demikian kehidupan masyarakat nelayan yang disebut dengan “Madura Pendalungan” begitu keras. Terutama apabila terdapat insiden batas-batas wilayah perairan dan jangkauan yang semula disepakati, tiba-tiba diingkari dan/atau diterabas memasuki wilayah lain seperti wilayah Sidoarjo dan Madura. Hal itu bakal memicu timbulnya perkelahian di tengah laut dengan saling melempar bondet bahkan sampai membakar kapal penangkap ikan. Meskipun demikian, insiden yang kerap terjadi antar nelayan tersebut biasanya dapat diatasi dengan cepat.

Pelabuhan laut Pasuruan memiliki nilai tersendiri dalam sejarah. Dianggap sebagai pelabuhan tua/kuno sehingga banyak dikunjungi para turis mancanegara seperti dari Australia yang senang berjalan kaki sampai batas ujung laut, dan melakukan dokumentasi.

Sayangnya nilai tersendiri dalam sejarah Pelabuhan Pasuruan kuno yang pastinya memiliki nilai investasi cukup tinggi, ternyata belum nampak adanya perhatian untuk dikembangkan atas keelokan laut dan desinasi wisata pelabuhan tua. Semestinya perpaduan menarik antara pelabuhan, kapal-kapal dan para nelayan serta lingkungan sekitarnya dapat dijadikan potensi unggul dalam perjuangan membangkitkan semangat penguatan perekonomian kelas bawah.

Lebih menarik lagi kegiatan “PETIK LAUT”, upacara tradisional yang dilakukan para nelayan dan masyarakat lingkungan pelabuhan kuno sebagai rasa syukur kepada Tuhan, selama bekerja sebagai nelayan atau sebagai pembeli/pengepul ikan dalam membangkitkan dan mendongkrak ekonomi lokal.

Upacara “PETIK LAUT” dilakukan setiap tahun oleh masyarakat nelayan dengan cara menghias kapal-kapalnya dan merupakan upacara yang sungguh sangat sakral. Menuju ke tengah laut selat Madura, mengambang bergerak beriringan dan selanjutnya membentuk formasi melingkar, diikuti oleh masyarakat yang menceburkan diri ke laut serta menunggu doa dari yang dituakan. Usai doa dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka bunga-bunga ditaburkan ke laut dan menjadi rebutan warga masyarakat. Momen rebutan bunga menjadi acara yang cukup menghibur sebagai kegiatan penutup upacara.

Pada malam harinya dilaksanakan agenda lanjutan “selametan” dan menghibur masyarakat dengan lantunan musik. Upacara sakral “Petik Laut” sangat antusias diikuti dan dilaksanakan oleh masyarakat nelayan pada setiap tahunnya sebagai rasa syukur atas berkah, kelancaran, keselamatan selama menjalankan aktifitas warga masyarakat.

Sidoarjo, 01 Juli 2021
Yudi E. Handoyo

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This