Lakon Wayang Palguna Palgunadi dan Pendidikan Karakter

Oct 20, 2021 | Essai

Pendidikan karakter selalu relevan untuk dibahas dalam perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Pendidikan karakter merupakan upaya yang disengaja untuk menyampaikan pengetahuan, kebiasaan, dan nilai etika juga moral. Pentingnya pendidikan karakter ialah berperan sebagai tiang penegak dalam pembangunan bangsa. Moral anak muda dalam menyongsong masa depan perlu ditata agar tetap berpedoman pada nilai karakter bangsa. Dalam nilai karakter bangsa, nilai budaya memiliki andil dalam kehidupan bermasyarakat karena hubungannya dalam menjaga keseimbangan manusia, alam, dan dirinya sendiri. Nilai-nilai tersebut mampu ditemukan dalam wiracarita dalam lakon-lakon wayang yang banyak bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana. Sebagai kebudayaan yang sarat dengan muatan nilai kehidupan, wayang perlu digunakan sebagai bahan pendidikan karakter.

Merunut bahwa sebentar lagi kita akan menyambut harinya para pemuda yakni Sumpah Pemuda di bulan Oktober dan Hari Wayang di awal November, ada baiknya saya mengajak Anda mengutak-atik pendidikan karakter bersama dengan wayang purwa. Wayang memiliki berbagai nilai budaya yang arif dan menjadi pedoman bagi mereka yang gemar menonton dan meresapi lakon-lakon dalam wayang. Seni adiluhung yang diakui oleh UNESCO pada tahun 2007 ini, kini beradaptasi dengan perkembangan digital melalui kanal-kanal Youtube yang digawangi sendiri oleh dalang-dalang. Beragam konten dari dalang-dalang dihadirkan untuk mengobati rindu manggung dengan banyak penonton selama pandemi merundung. Mulai dari potongan sabetan wayang, nukilan bagian goro-goro, ngisis wayang, hingga konten edukasi pakem wayang seperti yang dilakukan Ki Purbo Asmoro dalam kanal Youtubenya.

Tidak membahas lebih dalam mengenai cara para dalang untuk tetap survive di masa pandemi, namun saya akan mengupas sedikit nukilan lakon wayang yaitu lakon Palguna Palgunadi atau juga dikenal dengan lakon Banjaran Ekalaya yang memiliki latar era Mahabharata. Dikisahkan lelaki bernama Prabu Palgunadi alias Bambang Ekalaya yang merupakan pangeran dari Kaum Nisada (Kaum Pemburu), dalam versi sanggit lain Bambang Ekalaya merupakan raja dari negara Paranggelung, yang memiliki kemampuan memanah tingkat tinggi yang setara dengan Arjuna. Ekalaya yang memiliki motivasi untuk menjadi pemanah terbaik ingin berguru kepada Begawan Dorna. Niat hati Ekalaya yang ingin dituntun oleh Dorna pupus ketika Ekalaya sampai di Hastina, sebab Dorna hanya ingin anak emasnya, Arjuna, menjadi satu-satunya ksatria pemanah paling unggul di jagat. Sikap pilih kasih Dorna dalam mengajar panahan tidak menghanguskan niat Ekalaya untuk memperdalam ilmu memanahnya.

Ekalaya kembali menuju hutan dan belajar secara otodidak sambil membuat patung Dorna. Ekalaya memuja patung tersebut dan menghormatinya sebagai sosok guru. Setiap waktu Ekalaya melatih teknik memanahnya hingga mencapai tingkatan tertinggi yang mampu melebihi kemampuan Arjuna dalam memanah. Kemampuan ini membuat Ekalaya mampu memanah tanpa melihat. Hingga pada suatu hari, Ekalaya memanah anjing yang menggonggong tanpa melihat. Anak panahnya tepat tertancap pada mulut anjing tersebut. Pandawa terkejut menemukan anjing yang terkena panah dan bertanya-tanya siapa yang bisa melakukan hal ini selain Arjuna. Ekalaya pun mengaku kepada para Pandawa bahwa ia yang melakukannya, sekaligus menyatakan diri bahwa ia adalah murid dari Begawan Dorna.

Arjuna yang mendengar hal tersebut sontak terkejut karena merasa dirinya disaingi oleh Ekalaya. Dorna sebagai guru yang sudah mendeklarasikan bahwa Arjuna adalah pemanah terbaik sejagat raya mulai tersulut amarahnya, padahal ia sudah menolak Ekalaya untuk menjadi muridnya. Begawan Dorna meminta Ekalaya untuk melakukan Dakshina (Permintaan guru pada murid sebagai tanda terima kasih seorang murid memotong ibu jarinya) dengan memotong ibu jari kanannya dan diberikan kepada Dorna. Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan saingan Arjuna dalam kemampuan memanah, sehingga Arjuna tetap berada di puncak pemanah terbaik sejagat. Ekalaya yang memiliki sifat bakti kepada guru akhirnya melakukan Dakshina dan akhirnya kehilangan kemampuannya.

Cerita bakti guru Ekalaya merupakan salah satu dari banyak versi sanggit cerita Palguna Palgunadi dalam wiracarita wayang purwa. Adapun versi yang menarik seperti Arjuna yang terpincut pada istri Ekalaya dan berakhir dengan kematian Ekalaya sebab hilangnya ibu jari karena Resi Dorna. Namun, saya ingin membahas versi Ekalaya dalam Kaum Nisada dan mengupas nilai karakter di dalamnya. Pada versi Palguna Palgunadi tersebut dapat kita cermati bahwa tersirat sikap egoistik, bakti, disiplin, juga mandiri. Mari kita pahami keempat nilai umum yang tersirat dalam lakon tersebut dan kaitannya dengan penempaan karakter moral.

Sikap egois Dorna dalam ‘pilih kasih’ ilmu baiknya dipahami sebagai cermin diri dan retorika apakah ilmu itu hanya untuk mereka yang memiliki status saja? Cerminan masalah ini perlu dicermati kita semua bahwa Dorna memandang sebelah mata Ekalaya yang memiliki potensi menjadi pemanah terbaik seperti Arjuna sebab Ekalaya berasal dari kaum Nisada. Ketimpangan dan pemerataan ilmu seharusnya tidak terjadi seperti itu, terlebih ketika Ekalaya mampu meningkatkan kemampuan hingga maksimal secara otodidak malah diminta ‘pajak’ berupa pemotongan ibu jari. Merefleksi dari kisah tersebut apakah fenomena tersebut juga terjadi saat kini? Mari bertanya pada rumput yang bergoyang.

Ekalaya yang memiliki kegigihan dalam menempuh ilmu menunjukkan nilai karakter yang disiplin, mandiri juga Bhakti-Guru. Setelah ditolak oleh Dorna saat ingin meningkatkan kemampuan memanahnya, Ekalaya tidak habis akal dan semangat untuk mengasah kemampuannya. Hal ini perlu dipahami oleh anak-anak muda yang masih memiliki semangat menggebu agar tidak larut ketika gagal, dan terus memutar otak untuk gigih mencari ilmu.

Menukil makna dari nilai egois Dorna juga sikap gigih Ekalaya pendidikan karakter berbasis nilai budaya seperti ini ada baiknya lebih banyak lagi diterapkan di jenjang pendidikan modern. Selain memaknai lakon-lakon dan mencermatinya, lembaga pendidikan mampu mewariskan nilai leluhur agar tidak lekang digerus perkembangan zaman.

Mangga Sedaya Ngelastunaken Budaya Jawi.
Matur Nuwun

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This