Laba Rugi, Dosa Pahala, dan Aku

by | Aug 5, 2021 | Pojok

Terhampar jalan seluas mata memandang,
Ke mana arah hendak dituju?
Angin dan gelombang ada di setiap penjuru,
Nyali bukan sekedar kata,
Butuh bukti untuk sampai ke tujuan.

Laba rugi hitungan pedagang dan penjual,
Pahit manis ketakutan nilai bagi pecundang pengecut, Kehilangan dan kepemilikan hanya bagi kaum munafik dan pembual,
Pecinta hanya memilih kejujuran dan kebenaran tanpa ada alasan untuk mencintai dan memberi.

——

Hamparan begitu luas manakah yang engkau pandang?
Pandanglah dengan kedua mata yang seksama, jangan menggunakan mata sebelah.

Apakah dihadapannya tidak ada aral melintang, sebuah awan hitam kelam.
Jika hatimu tidak jernih, pandangan terhalang maka akan terhenti jalan setapaknya. Berpikiran untung rugi hukum akal manusia di bumi, biar tidak terjebak kerja keras tanpa hasil.

Jika semuanya dibesarkan hanya melihat diri sendiri, Allah tidak meridhoi dan tetap diuji sampai seutas tali tak terputus.
Ditambah lagi kedua mata mati, pikiran merangsang panas, hati tidak berkutik bulatan hitam menghantam ke sana kemari. Lobang mulut bibir berkatup-katup, memainkan peran entah kemana arah tujuan.

Seakan kebenaran, kejujuran, keadilan terkumandang seperti hembusan udara tak sedap. Untungnya jauh tak bisa dirasakan, tertawa ringan kena bualan dikau. Dengan serius ditangkap kedua telinga, telinga dungu udara dianggapnya harum. Kepala terselipi berbagai panca indra, panca indra sangat sensitif dengan dosa.

Sangatlah besar asas manfaatnya, namun dibiarkan terlena diumbar tanpa disucikan.
Disucikan tanpa doa ikhlas dikumandangkan dengan lekatan, akan ditangkap Jin bercula mata merah.
Setiap saat berhadapan sangat dekat, seperti hembusan halus yang tidak dirasa.

—-

Lantas apakah artinya semua ini bila sesungguhnya yang ada itu tiada dan yang tiada itu ada? Sejauh mana dan sebanyak apa kata mampu terurai?! Apakah dosa?! Apakah pahala?! Sementara Aku pun hanyalah sekedar Aku tanpa Aku.

—-

Mengenang masa yang entah kapan pernah ada, tentang sosok lelaki bermahkota raja menjulang tinggi ke angkasa, gagah berani menatap tajam menguasai semua yang ada di hadapan.

Dia yang dengan lembut mengulurkan tangannya dan menggenggam erat jemariku, menuntun naik ke atas kereta kuda kencana emas, lalu bersama berdua berdiri tegak menghadapi perang dan topan badai hingga akhir.
Busur hati dipegang erat, anak panah isi kepala dilesatkan, jiwa raga yang menyatu dan melebur melontarkan kekuatan penuh tanpa mampu dilawan para musuh. Semua tunduk dan menyerah bertekuk lutut, mereka yang melawan terkubur dan tenggelam.

Kesemuanya ada karena terwujud nyata, tidak terlihat namun bisa menggerakkan yang ada.
Simbol tetaplah simbol di alam yang nyata, sebagai bentuk perwujudan dalam kehidupan yang bisa menggerakkan yang ada.
Yang tak terlihat dan berwujud nyata menjadi pemikiran semata, bagaimana yang sudah ditunjukkan itulah sejati adanya, semua berpulang pada titisan garis Yang Maha Kuasa.
Aku adalah aku yang melekat pada jati diri dan sebutan tanpa arti, arti yang memaknai sesungguhnya Sang Illahi, manusia meneruskan sebutan aku, dan sesungguhnya jati diri yang terwujud, bagaimana aku sisi dalam yang tak terlihat, juga menggerakkan jasad, juga menunjuk aku, aku siapa? Aku sangat tak terhingga jika terurai tanpa sekat sekat.

Waktu terlihat panjang, waktu berdetak memutar tanpa henti hanya berputar bulatan terus menerus pada tempat yang sama dan tidak berpindah, rusak pun bisa dubenahi dan dibuang wujudnya sama, bagaimana insan manusia jika rusak dan mati terkubur jika kembali terwujud berbeda dari gua garba yang berbeda, sama jika dalam alam kandungan dengan sukma yang berbeda beda, sungguhlah luar biasa.

Bagaimana yang tak terlihat dengan masa silam yang sangat jauh, namun tampak sangat dekat terselip dan terlihat di Bola mata merambah ke alam yang begitu jauh dan lekatan hati begitu dekat, sulit dibayangkan dan digapai hanya dapat dirasakan kehalusan kedalamannya, apakah dapat dipercayai oleh insan manusia saat ini, sangatlah sulit dan tak masuk akal, hanya pilihan dan terpilih serta yang memiliki yang mengetahui asal usul masa silamnya.

Biarlah alam kalam yang menuntunnya dipersiapkan menggugah keadaan yang nyata tanpa diketahui siapapun, hanya insan insan yang lembut hatinya yang dapat sedikit mengetaui dan merasakan, keadaan kedohiran yang sama dengan insan yang lainnya, namun sangat berbeda jauh antara Bumi dan Langit, apakah sesungguhnya seperti ini, kalaupun itu nyata tidak seorang pun juga menyadari dengan sesungguhnya mengetahui, bahwa dihadapannya ada perbedaan masa dan perwujudannya.

Dituntun dan dipersiapkan untuk apa?Dilahirkan dan ditempa tanpa henti sesuatu ujian dan cobaan, apakah untuk menguatkan guratan guratan untuk semakin kuat, kalaupun seperti itu, apakah sesungguhnya dipersiapkan untuk berperang dan memerangi keadaan yang sudah tergelincir kelembah nistah yang sangat kelam, apakah senjata yang tak terlihat itu yang digunakan begitu dasyat menghancurkan atas bawah, begitulah kerahasiaan yang terukir begitu sulit dan panjang dan sulit dibayangkan sebelumnya.

Sepasang insan yang tersembunyi dan disembunyikan memiliki anugerah yang diberikan kepadanya dengan tidak disadarinya, dan penuntunan ayah/ibundanya diarahkan begitu jelas, lambat laun kenyataan dibuktikan waktu demi waktu benar adanya, peperangan dituntun dengan memudahkannya pada alam dohir dan diperkuat alam kalam, penyatuan keseimbangan menuntun ke arah yang sebenarnya dari impian Ayah dan ibunda untuk dapat diwujudkan, untuk mengubah dunia.

—-

Aku adalah Aku. Aku adalah ada dan tiada. Aku ada karena Aku tiada dan Aku tiada karena Aku ada.
Mata penuh dengan tipuan, warna yang nampak hanyalah tipuan frekuensi dan gelombang Cahaya, bukti kebesaran Ilahi yang tak akan pernah dimengerti mereka yang tak berilmu. Persepsi dan asumsi terbatas dijadikan acuan untuk berpikir, mengolah, lalu beralasan. Kemalasan, kesombongan, dan tidak peduli membuat rusak dunia dan diri sendiri, baik dan benar tiada lagi menjadi baik dan benar. Salah pun dijadikan kebenaran yang diyakini dan diamini.

Aku yang melihat dia di atas langit dengan segala kemewahan semesta alam, berdiri bercahaya mendapatkan segala hadiah terindah dengan tempat teristimewa. Aku yang melihat dia dengan wajah tampan rupawan, bersih dan jernih, terangkat ke langit sambil berkata, “Tunggu Aku di sini. Jangan ke mana-mana”, dan aku menunggu tanpa beranjak bahkan sejengkal jarak.
Aku juga yang merasa sakit dan terhina bila melihatnya dihina dan diperlakukan semena-mena oleh kesombongan, kemunafikan, dan dusta. Ambisi dan keinginan tak terkendali sudah melampaui batas keadilan dan kemanusiaan. Tidak pantas mamalia berwujud manusia berperilaku seolah benar manusia insan kamil. Tidak semestinya Sudra berlagak seperti Brahma dan menginjak-injak seorang Brahma. Dewabrata, kesayangan para dewa memang tidak akan pernah sama dengan kaum hina yang fasik.

Mataku tidak mungkin salah melihatnya. Dia yang begitu mulia dan berumah di hatiku.

Mariska Lubis dan Yudi E. Handoyo

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This