Ada yang menarik untuk disimak di laman youtube sekarang. Para pelaku tawuran pelajar di Jabodetabek era 1990 sd 2010 sd 2016, yang terdiri dari mantan “Panglima” pasukan pelajar masing-masing kubu, menjadi youtuber dengan membangun akun youtube masing-masing.
Menjadi menarik karena ide membuat akun youtube tersebut pasti datang dari otak cerdas yang memberi masukan bahwa cerita-cerita seru, sadis, lucu, haru dan tak terlupakan ketika masa-masa mereka menjadi pelaku tawuran adalah hal yang bisa dimonetasi dan pasti punya pangsa pasar luas. Gelontoran honor dari youtube hasil dari monetasi akun pastilah diterima dengan sukses karena jumlah subscriber masing-masing memang sungguh besar.
Sebagai contoh akun youtube “BANGBO TRIP”, disubscribe oleh 121 ribu lebih subscriber. Akun “CJ CHANNEL” disubscribe oleh 30,500 subscriber, begitu pula akun “Bintarixa” yang sukses disubscribe oleh 46,300 subscriber, dan akun “KKS 512” disubscribe oleh 57,400 subscriber.
Kisah-kisah seru para pelaku tawuran pelajar tersebut sungguh ajib, karena masing-masing telah ditonton ribuan sampai ratusan ribu viewer. Suatu jumlah yang terhitung luarbiasa. Padahal hanya cerita tentang tawuran pelajar. Seperti kisah “Merebut Klewang Berkilau” dari akun KKS 512 yang ditonton oleh lebih dari 135,900 viewer, juga kisah “ROBOT BASE CIPUTAT” (KKS 512) ditonton oleh 901 ribu lebih viewer. Akun “ALEX21TV” yang memuat cerita “Kisah Perseteruan Katak vs Yunus” lebih dahsyat karena ditonton setengah juta lebih viewer (520,273).
Keberhasilan memasarkan kisah-kisah seputar perkelahian pelajar oleh para eks panglima tersebut pasti tak lepas dari faktor kegemaran anak muda usia ABG yang menyukai kisah-kisah heroik, mengidolakan tokoh super, dan dapat menjadi pemicu semangat di masing-masing sekolah eks para panglima tersebut. Meski perlu memang membuat semacam riset kecil kepada pemirsa kisah tawuran pelajar perihal apa yang membuat akun-akun youtube para tokoh tersebut menjadi tontonan yang digemari.
Terlepas dari apa yang menjadi sebab kisah-kisah tawuran pelajar itu digemari, tak pelak kita akan geleng-geleng kepala antara terkejut, sedih dan bergidik, ketika menyimak kisah-kisah mengerikan saat mereka saling bertarung di jalan raya.
Namun meski demikian kita juga akan tersenyum tak percaya saat menyaksikan para eks pelaku tawuran tersebut justru bisa saling bercerita dalam damai, mengenang apa yang pernah mereka lakukan. Unik dan haru, karena pada era mereka “bertumbukan” dulu pernah saling membacok, memukul, dan keinginan menghabisi lawannya, tapi di laman youtube mereka jadi amat dewasa, saling bercerita kesan dan pesan, serta sanggup menertawakan perilaku mengerikan masing-masing.
Cerita bagaimana mereka “membantai” sampai memotong jari tangan lawan memang terdengar tak masuk akal jika itu bisa dilakukan oleh pelajar SMA/STM. Tapi itu nyata terjadi. Kisah bagaimana tokoh “Katak” seorang panglima eks pelajar salah satu STM Jabodetabek, dan kawan-kawadannya membuat korbannya “disayur” atau dibacoki ramai-ramai dengan clurit dan BR (senjata tajam lain) hingga hampir mati, atau bagaimana tokoh “Alex” membalas dendam kematian temannya satu sekolah yang digergaji mulutnya dengan golok besar bergerigi oleh rival, menjadikan kita terperangah tak percaya. Alex membacok lawannya di dalam bus dengan “CR” lalu karena “nyangkut” di tenggorokan korban, Alex lalu menarik begitu saja “CR” nya hingga mengoyak bagian leher korban hingga ke perutnya. amit-amit ngerinya.
Hal yang patut disyukuri dari akun youtube para eks panglima tersebut, mereka mengkampanyekan perdamaian, dan memberi nasehat bijak kepada para pemirsa bahwa kisah-kisah tersebut adalah hal yang tak perlu diulang karena selain sesat dan keliru, juga membawa dampak buruk bagi perkembangan mental pelaku dan para keluarga korban yang meninggal. Bagaimana tidak, korban jiwa dari tawuran pelajar kala itu tidak main-main. Catatan KPAI pada tahun 2013 menjadi tahun paling kelam di mana 19 siswa meninggal dunia dalam setahun akibat perkelahian pelajar. Pada 2018 angka menurun menjadi 8 siswa meninggal.
Meski kini tawuran pelajar telah mereda terutama karena pandemi covid 19, namun era mengerikan akibat pertarungan jalanan dulu memang patut dicermati untuk tidak kambuh kembali.
Berbagai analisis ahli ihwal sebab musabab dari terus terjadinya tawuran pelajar pada 90-an dan 2000-an ke atas telah ramai dikemukakan. Diantaranya adalah persoalan terbatasnya ruang ekspresi dari kaum muda pelajar di perkotaan. Maraknya pembangunan gedung dan sarana perkantoran/bisnis di Ibukota menjadikan ketiadaan lahan terbuka hijau menipis.
Ruang ekspresi dimaksudkan adalah lahan terbuka sebagai media para pemuda pelajar mengekspresikan gejolak jiwa muda dalam bentuk-bentuk positif yang bisa diarahkan, semisal kegiatan olahraga dan berkesenian (Daisy Indira,2020). Lembaga pendidikan sekolah juga dianggap tidak lagi mampu mengatasi secara berkebudayaan gejolak ekspresi kaum muda pelajar ke dalam bentuk-bentuk kegiatan positif di sekolah, dan hanya fokus pada pengejaran prestasi atau nilai.
Menurut hemat penulis, selain semakin terbatasnya ruang ekspresi dan fokus sekolah yang sempit, terjadinya tawuran disebabkan oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi. Adanya regenerasi kekerasan yang dipelihara oleh para alumni sekolah (abang-abangan-istilah para pelajar) pada sekolah tertentu yang merupakan langganan tawuran pelajar, menjadikan para siswa didik baru masuk dalam situasi “no point to return”, sehingga harus mengikuti budaya kekerasan dari para senior dan alumni yang menerjunkan mereka ke kancah tawuran. Jadilah tawuran pelajar adalah siklus yang tiada putus, kombinasi dari mempertahankan harga diri sekolah dalam “prestasi” tawuran, geng geng jalanan dan drugs, dan keisengan mengisi waktu sepulang sekolah karena ketiadaan ruang budaya dan akses ke hal hal positif lainnya.
Di samping itu, kebanyakan sekolah yang siswanya kerap melakukan tawuran pelajar kebanyakan berasal dari kalangan keluarga menengah ke bawah di Jabodetabek. Para siswa didik tersebut, jarang mendapatkan akses seperti siswa “kaum berada” pada umumnya, yang lebih menyibukkan diri pada les-les persiapan masuk UMPTN melalui lembaga-lembaga persiapan studi yang berbiaya selangit. Dan kesempatan itu tidak dimiliki oleh kebanyakan anak dari golongan menengah ke bawah.
Namun apapun yang menjadi sebab, tanggung jawab pembinaan kaum muda angkatan sekolah menengah tetaplah berada pada pemerintah selaku pembuat kebijakan, sekolah selaku pelaksana di tingkat operasional, dan orang tua sebagai filter utama di rumah. Selain penegakan hukum dan disiplin yang keras terhadap para pelaku tawuran yang masih membandel. Kewajiban utama lainnya dari pembuat kebijakan (baca : negara) dalam politik pendidikan adalah kembali menyediakan ruang budaya dan ekspresi terbuka yang dapat digunakan oleh para belia generasi penerus bangsa seperti kegiatan budaya dan ruang olahraga di kampung-kampung, membangkitkan kembali kegiatan literasi baca-tulis yang memungkinkan siswa didik kelompok menengah bawah mempunyai akses, dan kesempatan yang adil dan sama untuk memperoleh hak pendidikan bagi persiapan pendidikan tingkat lanjut paska sekolah tingkat menengah bagi pelajar kurang mampu yang diberikan secara gratis.
Akhirul kalam, masa depan generasi penerus terletak di tangan para pengelola negara, sekolah dan orang tua. Adalah hasil olah pikir dan olah budaya yang dikreasikan kembali sebagai hasil pemikiran cerdas dan mau turun pada tingkat eksekusi, menjadi kunci keberhasilan untuk mengeliminasi budaya tawuran. Bekerja keras dan tak bosan berpikir, adalah kunci keberhasilan bersama. (017)
0 Comments