Ketika Keledai Ingin Menjadi Kuda

by | Sep 13, 2021 | Pojok

Pada suatu hari, seekor keledai muda sedang bersedih hati. Matanya hampa memandang rerumputan yang terhampar di hadapannya. Tidak ada nafsu untuk makan seperti biasanya. Dia hanya termenung dalam diam.

Ibu keledai memperhatikan anaknya ini dari kejauhan. Risau juga hatinya dan bertanya-tanya dalam hati. Tidak biasanya, anaknya bersikap seperti itu. Biasanya, dia selalu rajin, ceria, dan banyak sekali kegiatan.

Ketika keledai muda ini pada akhirnya kembali pulang di senja hari, ibu keledai bertanya, “Ada apa, Nak? Apa yang membuatmu sedih?”.

“Nggak ada apa-apa, Bu. Biasa-biasa saja,” jawabnya datar.

Ibunya tersenyum dan berusaha menggoda, “Lagi jatuh cinta ya? Naksir siapa, ayo?”.

Keledai muda malah membuang wajahnya dan menghembuskan nafas dalam-dalam. “Saya nggak apa-apa, Bu. Nggak ada yang saya taksir. Saya hanya malas saja”.

“Malas apa malas?! Kok malas wajahnya sedih banget, seperti mau menangis?!”

Keledai muda tersipu malu karena ketahuan sedang sedih.

“Bu, kenapa, sih, saya seperti ini? Buntet, pendek, jelek. Kenapa saya tidak seperti kuda?!

Lagipula, orang-orang senang sekali meledek saya. Mereka bilang saya adalah keledai dungu.”

“Memangnya kenapa kalau buntet, pendek? Jelek? Nggak, ah! Siapa yang bilang kamu jelek?!”.

Keledai muda diam saja, tidak menjawab. Dia merasa tidak nyaman memberitahu ibunya. Takut kalau ibunya marah lalu langsung mendamprat mereka yang mengatainya jelek.

“Kuda yang mengatai kamu jelek?!”, Ibunya bertanya penasaran.

“Bukan, Bu! Manusia-manusia itu. Setiap hari saya selalu dibandingkan dengan kuda-kuda peliharaan mereka. Mereka selalu membanggakan kuda-kuda itu, dan saya selalu mereka jadikan bulan-bulanan. Saya sedih, kenapa saya tidak seperti kuda-kuda itu?”.

“Ooohhhh! Ya, bagaimana kamu mau menjadi kuda, kamu memang bukan kuda! Ayah dan ibumu keledai, dan anak kami pasti keledai juga. Kalau mau jadi kuda, kamu harus punya ayah dan ibu kuda juga”.

“Kenapa saya ditakdirkan menjadi anak keledai? Kenapa bukan kuda?! Saya capek dan malu, Bu!”, teriak keledai muda sambil berlari masuk ke kamarnya.

Ibu keledai hanya bisa mengurut dada. Dibiarkan anaknya itu pergi. “Biarlah, dia butuh waktu untuk merenung. Nanti juga dia akan sadar sendiri, betapa beruntungnya dia menjadi keledai,” katanya dalam hati.

Keesokan harinya, terjadilah keramaian di tengah kota. Semua berlarian ke alun-alun kota untuk mengetahui apa yang terjadi. Manusia dan para hewan turut serta. Mereka bergegas berebutan ke sana.

Ternyata, di sana ada seorang petinggi yang datang dari Ibu Kota. Dia datang bersama pasukannya. Mereka sedang mencari bala bantuan logistik untuk pertahanan di batas negeri. Bukan hanya makanan tetapi juga hewan yang paling berguna dan bermafaat dalam tugas penuh resiko dan tantangan itu. Hewan yang bisa diandalkan dan menjadi pahlawan.

Para kuda langsung semangat! Mereka merasa bahwa merekalah yang paling tepat dan dibutuhkan. Mereka tinggi, besar, kuat, dan pandai berlari kencang. Sementara keledai muda hanya lagi-lagi menghela nafas dalam-dalam. “Apalah yang bisa dilakukan seekor keledai jelek dan dungu ini? Seandainya saya kuda, saya akan segera maju dan mendaftarkan diri”, katanya dalam hati. Keledai muda ini pun segera membalikkan badannya. Namun, tiba-tiba….

“Hai keledai! Kemarilah! Bantulah kami! Engkaulah yang paling kami butuhkan. Engkaulah yang bisa menjadi pahlawan kami!”, petinggi itu berteriak dari kejauhan.

“Saya?!”, keledai muda tidak percaya.

“Ya kamu, keledai!”

Keledai muda kebingungan, tidak sebersit pun ada di dalam benaknya bahwa dia bisa terpilih. Kuda-kuda juga keheranan. Orang-orang juga tidak mengerti. Keledai pun pelan-pelan maju ke depan menghampiri petinggi itu. Wajah-wajah keheranan mengiringinya. Mereka yang selalu meledeknya, menatap dengan wajah sinis.

“Tahukah kenapa saya memilih keledai ini?”, tanya petinggi itu kepada semua.

Tidak ada yang bisa menjawab, semuanya diam saja.

“Keledai lebih kuat daripada kuda, dia bisa mengangkut lebih banyak beban daripada kuda. Meskipun dia tidak bisa berlari sekencang kuda, tetapi dia lebih efisien. Keledai punya mata yang hebat, matanya punya kekuatan infra merah, sehingga dia bisa lebih hati-hati dan aman dalam perjalanan. Bisa melihat musuh dari kegelapan. Dia juga bisa berperang sendirian, tidak perlu dituntun untuk mencapai tujuan. Berani pula! Keledai tidak takut pada ledakan dan suara keras. Pasukan elite berani mati, menggunakan keledai sebagai pasukan terdepan. Keledai tidak bodoh, keledai itu hebat sekali! Kalau kami kelaparan pun, susu keledai bisa memberikan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan sapi dan kuda,” kata petinggi itu menjelaskan.

Mendengar semua itu, keledai muda gemetar. Dia ternyata lebih hebat dari kuda!

“Uhuy!”, soraknya bergembira, “Untung saya keledai, bukan kuda!”.

Setelah pamit dengan ibunya, keledai muda bersama beberapa teman keledainya turut serta dalam berjuang dengan penuh semangat. Sebelum pergi, tak lupa dia berterima kasih kepada ibunya.

“Ibu, terima kasih karena ibu saya terlahir menjadi keledai. Maafkan saya bila selama ini saya salah dan ingin menjadi kuda. Sekarang, saya bangga menjadi keledai, Bu!”.

Tamat.

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This