Keteladanan Ibrahim Dalam Konteks Keumatan Dan Kebangsaan -1

by | Jul 10, 2022 | Essai

Oleh: Imam Shamsi Ali*

Di Hari Raya yang mulia dan penuh berkah ini, mari kita semua menundukkan wajah kita yang mulia, merendahkan jiwa kita yang hanif, merenungkan “azhomatullah” (keagungan Allah) seraya mensyukuri segala nikmat-Nya yang tiada batas yang dikaruniakan kepada kita semua.

Kebesaran Ilahi yang kita kumandangkan di pagi hari ini dengan alunan “takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil” adalah ekspresi iman, sekaligus bentuk komitmen kita untuk menjadikan Allah “Jalla Jalaaluh” sebagai “sentra kehidupan” yang hadir pada setiap tarikan nafas kita.

Bahwa dalam hidup ini semuanya bermuara dari Sumber Tunggal; Allahus Shomad. Kita ada dan kita berada atau tidak berada, kita kuat atau lemah, menguasai atau dikuasai, bahkan kita hidup dan pasti pada waktunya nanti kita mati, semuanya karena kuasa Allah SWT.

Esensi filsafat hidup seperti inilah yang tersimpulkan dalam pengakuan iman kita: “لا اله الا الله”. Bahwa tiada yang punya hak kekuasaan, pengagungan, pujian dan pengabdian kecuali Allah, Tuhan Pemilik langit dan bumi.

Inilah ikrar awal jamaah haji ketika memulai niat manasiknya:

لبيك اللهم لبيك لا شريك لك ان الحمد والنعمة لك والملك لإشراك لك

“Kami datang ya Tuhan memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya seluruh pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu”.

Ini pulalah yang menjadi falsafah hidup sejati seorang Mukmin:

 انا لله وانا اليه راجعون

Bahwasanya kita, dan segala yang ada pada kita, anak istri, harta benda, kekuasaan dan kehormatan duniawi kita, semuanya adalah milik Allah yang menjadi titipan sementara kepada kita dan pada akhirnya akan kembali kepada-Nya jua.

Hadirnya Allah dalam hidup kita, baik pada tataran individu maupun kolektif, melahirkan kekuatan yang maha dahsyat. Manusia lemah dengan dirinya. Tapi menjadi kuat dengan “ma’iyatullah” (kebersamaan dengan Allah SWT). Dunia dengan segala tantangan dan godaannya menjadi ringan, bahkan kecil ketika “azhomatullah” (keagungan Allah) telah hadir dalam hidup manusia.

Sungguh “ma’iyatullah” (kebersamaan dengan Allah) adalah sebuah pegangan yang tak akan goyah. Pegangan yang dalam istilah Al-Quran  disebut “al-urwatul wutsqa” inilah yang menjadikan manusia stabil dalam hidupnya, apa pun warna dan bagaimanapun pergerakan yang terjadi.

“فمن يكفر بالطاغوت ويومن بالله فقداستمسك بالعروة الوثقي لاانفصام لها”

Kebesaran Allah dalam hati Rasul-Nya inilah yang menjadikannya tenang menghadapi tantangan, bahkan di saat-saat upaya pembunuhan oleh musuh-musuh sekalipun. Hal itu dikisahkan dalam Al-Quran al-Karim:

اذ هما في الغار اذ يقول لصاحبه لاتحزن ان الله معنا فانزل الله سكينته عليه وايده بجنود لن تروها

Kemahabesaran sang Pencipta itulah yang terefleksi dalam keagungan ragam nikmat-Nya pada kita. Allah SWT mengaruniakan kepada kita nikmat yang luar biasa, lahir maupun batin: ظاهرة وباطنة

Sedemikian besarnya nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita, menjadikan sangat sedikit di antara hamba-hamba-Nya yang mampu bersyukur:

وقليل من عبادي الشكور

Penciptaan kita sebagai manusia (insan, basyar atau Bani Adam) itu sendiri sungguh sebuah kenikmatan dan kemuliaan yang luar biasa:

ولقد كرمنا بني  ادم

“Sesunggguhnya Kami telah muliakan anak cucu Adam (manusia)”.

Penciptaan kita sebagai ciptaan terbaik, “the best design” (احسن تقويم) merupakan bentuk kenikmatan yang luar biasa. Keindahan, kenyamanan dan kesempurnaan penciptaan kita sebagai manusia, sungguh kenikmatan yang menuntut kesadaran syukur dari kita semua.

Dijadikannya manusia sebagai makhluk yang memiliki kapasitas akal atau pikir, menjadikan makhluk lain iri hati. Dengan kemampuan inilah manusia mampu mengemban tugas-tugas “kekhalifahannya” dalam memakmurkan bumi ini.

وعلم آدم الأسماء كلها ثم عرضهم علي الملائكة فقال أنبئوني بأسماء هؤلاء ان كُنتُم صادقين.

Namun dari semua nikmat yang Allah karuniakan itu, nikmat iman dan Islamlah yang menjadi penentu. Karunia apa pun akan menjadi nikmat jika dibangun di atas fondasi iman. Karunia tanpa didasari iman boleh jadi justru menjadi “niqmah” atau musibah kehidupan.

Dunia Barat dengan segala kemajuan materialnya, perkembangan sains dan teknologi, khususnya dunia informasi saat ini gagal memberikan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Di tengah kegemilangan duniawi itu ada jiwa-jiwa yang menjerit. Bukti bahwa hidup tanpa iman dan Islam adalah hidup yang gagal, walau bergelimang dengan kemajuan materi.

Realita ini harus menyadarkan kita untuk mensyukuri dan selalu meninggikan “value” atau nilai iman dan Islam kita.

ولكن الله حبب إليكم الإيمان وزينه في قلوبكم وكزه إليكم الكفر والفسوق والعصيان أولائك هم الراشدون. فضلا منالله ونعمة والله عليم حكيم

“Akan tetapi Allah menjadikan engkau mencintai keimanan, membenci kekufuran, kefasikan dan dosa-dosa. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. Itulah keutamaan dan kenikmatan dari Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana”.

Perayaan Idul Adha yang kita laksanakan pada hari ini sarat dengan makna dan nilai-nilai kehidupan yang sangat luar biasa. Ada makna hidup dan ujian, makna ketaatan dan pengorbanan, makna soliditas mental dan kekokohan iman, sekaligus mengajarkan nilai-nilai kehidupan kolektif dan kepemimpinan.

Keteladanan Ibrahim AS

Dan yang teristimewa dari semua itu adalah kenyataan bahwa semua ini sangat erat dengan sejarah hidup Ibrahim AS. Maka sangat wajar, jika perayaan Idul Adha ini adalah bentuk kenangan sekaligus keteladanan kita kepada nabi Allah, Ibrahim alaihis-salam.

Haji dan Ibrahim memang menjadi tema utama dari Idul Adha yang kita rayakan. Karena Ibrahim menjadi simbol kesempurnaan (Al-kamaaliyah) dalam pengabdian dan kemuliaan akhlak. Sementara haji adalah ibadah yang menjadi miniatur kehidupan manusia.

Ibrahimlah yang pertama kali diperintah untuk mengumandangkan kewajiban haji kepada umat manusia:

 واذذن في الناس بالحج يأتوك رجالا وعلي كل ضامر يأتين من كل فج عميق

“Dan kumandangkan kepada manusia (kewajiban) haji. Niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kali dan mengendarai onta, datang dari berbagai penjuru yang jauh”.

Pelajaran awal dari sejarah perjalanan hidup Ibrahim AS adalah bahwa dalam proses menemukan “mutiara iman” diperlukan pencarian yang sungguh-sungguh. Tapi dengan kesungguhan dua instrumen yang Allah berikan kepada manusia: akal dan hati.

Kesungguhan hati itulah yang diekspresikan dalam Al-Quran:

والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وان الله لمع المحسنين.

“Dan mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang muhsinin”.

Tapi manusia memang diciptakan dengan daya nalar. Karenanya pada diri manusia ada kuriositas (keingintahuan) yang tinggi. Karenanya proses menemukan hakikat iman memerlukan pemikiran dan akal yang tajam pula. Kisah pencarian Tuhan oleh Ibrahim di tengah rimba kuriositas (keingintahuan) itu dikisahkan dengan sangat indah dalam Al-Quran, Surah al-An’am: 76-79.

Dari proses analisa dan pengamatan panjang melalui metode “at-tafkiir fil-khalq”, (merenungi ciptaan), dari bintang-bintang, bulan, hingga matahari. Pada akhirnya Ibrahim AS sampai kepada kesimpulan:

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb Yang menciptakan langit dan bumi, menerima agama yang lurus. Dan aku tidak termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”.

Maka keyakinan bukanlah perasaan (sentimen) atau bentuk emosi semata. Tapi sebuah kemantapan jiwa melalui cerna rasionalitas yang kokoh. Keimanan yang dilandasi oleh rasa emosi semata akan melahirkan karakter keagamaan yang sempit, dan kerap kali melahirkan perilaku emosional yang destruktif.

Di sinilah rahasianya kenapa ayat-ayat Al-Quran pertama yang diwahyukan kepada baginda Rasul adalah perintah untuk memaksimalkan daya nalar. Perintah membaca: اقرأ.

Rasionalitas ini sesungguhnya memang menjadi salah satu karakter ajaran Islam, sekaligus kunci kekuatannya. Dengan pemikiran dan rasionalitas yang luas akan tumbuh “al-yaqiin” atau keyakinan hati yang solid.

Suasana hati dengan keyakinan seperti inilah yang digambarkan oleh Al-Quran: “كشجرةطيبة اصلها ثابت وفرعها في السماء تؤتي أكلها كل حين باذن ربها (bagaikan pohon yang bagus, akarnya menghunjam ke dalam tanah, memberikan buah-buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya).

Sungguh di zaman sekarang ini umat dituntut untuk membangun keseimbangan “iman” dan  rasionalitas. Berbagai perilaku destruktif yang terjadi akhir-akhir ini sering kali disebabkan oleh emosi yang diakibatkan oleh pemikiran sempit.

Keimanan yang solid melahirkan kekuatan dan kematangan hidup. Rasionalitas berpikir yang mapan melahirkan kedewasaan dan kebijaksanaan dalam berpikir dan bersikap. Saya sangat yakin, bangsa dan dunia kita saat ini memerlukan manusia-manusia seperti ini.

Pelajaran penting kedua dari Ibrahim AS adalah bahwa hidup ini merupakan perjalanan dari satu titik ke titik yang sama. Bagaikan tawaf, berputar berkeliling dengan irama dan tujuan yang sama. Namun perlu diingat, Kabah harus selalu menjadi sentra perputaran itu.

Allah harus menjadi pusat perputaran hidup manusia. Kaya atau miskin Allah menjadi pusat kehidupan. Kuat atau lemah Allah menjadi pusat kehidupan. Merasakan kemudahan atau kesulitan hidup Allah tetap menjadi pusat kehidupan.

Realita hidup ini menuntut kematangan atau kedewasaan dalam menjalaninya. Tanpa kedewasaan manusia akan menjadi “cengeng” dan lemah.

Untuk menumbuhkan kematangan dan kedewasaan hidup itulah manusia akan ditempa dengan berbagai ujian.

Di sinilah Ibrahim AS tampil sebagai sosok teladan yang sangat luar biasa. Ibrahim AS mengalami tempaan itu dari awal perjalanan hingga mencapai tingkat kematangan hidupnya.

Ragam bentuk ujian Allah SWT berikan kepada Ibrahim AS, bukan karena ketidaksukaan. Tapi karena kecintaan-Nya kepadanya. Bahkan Ibrahim AS adalah sosok hamba-Nya yang “khalilullah” (kekasih Allah).

Dari ujian keluarga, ke sahabat, hingga ujian publik dan kekuasaan. Ujian yang bersifat emosional, spiritual keimanan, hingga kepada yang bersifat fisik dan material.

Cobaan besar pertama yang Ibrahim harus lalui adalah ketika menyampaikan kebenaran kepada masyarakatnya. Ketika Ibrahim dengan keyakinan yang solid menyampaikan “Kalimah Tauhid”, kepada umatnya. Konsekuensinya beliau ditangkap bahkan dieksekusi dengan hukuman dibakar hidup-hidup.

Tapi kematangan mentalitas dengan iman yang  solid itu tidak menjadikannya gentar sedikit pun. Di saat tawaran bantuan para malaikat silih berganti,  semuanya ditampik dengan keyakinan penuh bahwa hanya Allah yang punya kuasa sejati.

Karena keyakinan Ibrahim inilah Allah memerintahkan api yang menggunung itu menjadi dingin dan menyenangkan bagi Ibrahim: “يا نار كوني بردا و سلاما علي ابراهيم (Wahai api, dinginlah dan menjadilah keselamatan bagi Ibrahim).

Kuasa Allah berlaku. Api yang panas menjadi dingin dan menyenangkan dengan kehendak Allah. Kemampuan daya nalar manusia dibatasi oleh segala keterbatasannya. Hanya Allah yang tiada batas dalam segala kuasa dan kehendak.

Ada satu catatan menarik yang perlu dicermati ketika Ibrahim ditanya oleh sang raja sebelum eksekusi tadi.

“Kamukah yang merusak tuhan-tuhan kami?”, tanya sang rana.

Ibrahim menjawab: “Patung besar itu sendiri yang melakukannya. Tanyakan kepada mereka jika mereka mampu berbicara”.

Sang raja menjawab: “Engkau tahu kalau mereka itu tidak berbicara”.

Ibrahim dengan kecerdikan dan kemampuan logikanya merespon: “Lalu wajarkah kalian menyembah selain Allah. Sedangkan mereka tidak memberi manfaat apa-apa?”.

Pelajaran terpenting dari petikan dialog antara Ibrahim dan raja itu adalah bahwa seorang Muslim, apalagi pada ulama dan dai harus memiliki ketajaman logika, sekaligus kemampuan komunikasi yang mumpuni.

Kelemahan logika dan ketidakmampuan mengkomunikasikan kebenaran melahirkan dai-dai yang kerap bermain dogma, mudah menyalahkan, bahkan mengkafirkan. Yang lebih berbahaya ketika para dai melakukan komunikasi dakwah “buldoser”. Komunikasi yang menghancurkan harapan hidayah. Bahkan lebih berbahaya mencoreng keindahan wajah Islam itu sendiri.

Setelah settle atau menetap di negeri yang barakah Jerusalem, dan dengan proses panjang, Allah kembali mendatangkan ujian besar kepada Ibrahim.

Setelah sekian lama Ibrahim dan istrinya Sarah menikah, mereka tak kunjung juga dikaruniai anak. Bahkan keduanya telah mencapai umur uzur. Ibrahim pun semakin khawatir akan sustainabilitas dan masa depan dakwahnya. Hal ini disadari oleh istrinya, Sarah. Maka Ibrahim pun dianjurkan olehnya untuk menikahi hamba sahaya mereka, Hajar.

Melalui Hajar, Allah mengaruniakan seorang putra yang diberi nama Ismail AS. Tentu alangkah bahagianya Ibrahim dengan karunia anak yang telah lama ditunggu-tunggu itu.

Ternyata ujian besar dari Allah kembali diterimanya. Ibrahim diperintah untuk membawa anaknya yang baru lahir, (Ismail) bersama ibunya (Hajar) ke sebuah lembah yang tiada menumbuhkan tumbuhan: بواد غير ذي زرع عند بيتك المحرمً.

Tiada tumbuhan berarti tiada air. Tanpa air berarti tiada kehidupan. Tapi Ibrahim yang semakin matang dalam keyakinan dan hidup itu kembali tidak mempertanyakan perintah Allah SWT. Ibrahim meninggalkan mereka berdua tanpa siapa pun dan dengan perbekalan sekadarnya. Ibrahim sangat yakin akan penjagaan Allah kepada anak dan istrinya pastinya lebih hebat dan pasti dari penjagaan dirinya sendiri.

Hajar yang sebelum menikah dengan Ibrahim hanya seorang hamba sahaya ternyata juga memiliki iman yang sangat kuat. Di saat dia tanya ke suaminya apakah dia meninggalkan dirinya dan anaknya di tempat itu atas perintah Allah? Ibrahim yang hanya mampu menjawab dengan anggukan kepala itu, direspons oleh Ibu Hajar: “berangkatlah, tinggalkanlah kami, karena saya lebih yakin dengan penjagaan Allah SWT”.

Bertahun-tahun Ibrahim meninggalkan anak dan istri tercinta di tempat itu. Tapi dari masa ke masa Ibrahim yakin dengan penjagaan Allah. Hingga suatu ketika datanglah ujian terbesar dalam hidupnya. Anak satu-satunya, yang lama ditunggu-tunggu dan sangat disayangi itu, diperintahkan oleh Allah untuk disembelih.

Dalam Al-Quran disebutkan:

فلما بلغ معه السعي قال يا بني اني اري في المنام أني أذبحك فانظر ماذا ترا؟ قال يا أبتي افعل ما تؤمرستجدني ان شاء الله من الصابرين.

“Maka ketika anaknya mencapai umur balig dia berkata: Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi jika aku menyembelihmu. Lalu bagaimana pendapatmu? Dia (sang anak) berkata: Wahai ayahku lakukan apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang bersabar”.

Tapi Allah Maha bijaksana dan Maha Kasih Sayang. Sembelihan itu diganti dengan seekor domba. Itulah praktik atau tradisi agama yang kita lanjutkan melalui syariatnya Rasulullah, Muhammad SAW, dengan korban atau udhiyah ini.

Ujian demi ujian Allah berikan kepada Ibrahim. Dan Ibrahim lalui semuanya dengan penuh iman dan tawakal. Ternyata ujian itu menjadi tangga bagi “Khalilullah” (kekasih Allah) ini untuk menaiki tingkatan tertinggi dalam hidupnya.

واذابتلي ابراهيم ربه بكلمات فاتمهن

“Dan ingatlah ketika Allah menguji Ibrahim dengan Kalimaat (berbagai ujian) lalu dia menyempurnakannya”.

Keberhasilan Ibrahim melalui berbagai ujian itu menjadikannya matang dalam menjalani kehidupan ini. Dengan kematangan hidup itulah Allah mengangkat Ibrahim menjadi pemimpin bagi manusia (اماما للناس)

*Presiden Nusantara Foundation

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This