Kerasnya Hidup

Jul 30, 2021 | Cerpen

Visits: 0

Menarik nafas yang panjang lalu menatap arah jarum jam yang menunjukkan pukul 05.00 pagi. Dhila pun bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Demi menghemat biaya selama di perantauan Dhila menggunakan transportasi Transjakarta untuk menempuh lokasi tempat tinggal sementara menuju lokasi kerja.

Selama di perjalanan Dhila mempersilahkan siapapun yang ingin duduk di tempat duduk Transjakarta meskipun ia mendapatinya terlebih dahulu. Dhila lebih nyaman untuk menikmati keramaian Ibukota dengan berdiri menghadap jendela dari dalam busway Transjakarta.

Jakarta tidak seindah yang disajikan FTV televisi, banyak yang bilang Jakarta itu keras? Ya memang. Terlebih lagi untuk perantau seperti Dhila yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke Ibu Kota. Beragam karakter manusia yang Dhila temui, bermacam-macam mata pencaharian yang dilakoni Masyarakat setempat demi menafkahi hidupnya sendiri dan keluarganya, pedagang jalanan yang menghampiri pengguna jalan dengan berharap dagangannya laris, manusia silver yang mengecat seluruh tubuhnya untuk mendapatkan sumbang asih dari pengguna

jalanan, pedagang gerobak pinggir jalan tepat orang berlalu lalang yang menjual berbagai jenis makanan, pengamen yang membawa gitar sebagai pengiring dari nyanyiannya, driver ojol dan opang yang siap sedia mengantar customer, Ondel-ondel yang berkeliling Jakarta diiringi musik khas Jakarta dan masih banyak lagi

Setiap pagi selain doa keluar rumah dan doa selamat yang dipanjatkan sebagai kewajiban dan rutinitas yang dilakukan Dhila. Dhila menambahkan satu rutinitasnya yaitu, mendoakan sesama yang ia temui pagi itu, “Ya Allah saat ini aku belum cukup untuk membantu melarisi dagangan mereka karena aku belum punya cukup uang, aku belum bisa membantu mereka dari segi materi. Tapi Ya Allah biarkan aku meminta satu hal darimu untuk mereka, Tolong berkahi mereka di setiap harinya dan tolong hadirkan orang-orang baik untuk melarisi dagangan mereka, lancarkan rezeki mereka di setiap harinya, berikan mereka kemudahan dalam berbagai urusannya,”.

Dhila percaya Allah akan mengabulkan doanya dan doa tersebut akan kembali kepada Dhila, jadi jangan pernah lelah untuk mendoakan sesama. Sesungguhnya mendoakan adalah perbuatan baik yang tidak terlihat manusia sehingga jauh dari riya.

Dhila bekerja di salah satu perusahaan retail ternama di Indonesia sebagai store promotion girl yang bertempat di Mall Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ini adalah tempat kerja pertama Dhila setelah Dhila memutuskan untuk gap year. Dhila tidak ingin merepotkan lagi Ibu tercinta sebagai orangtua tunggalnya setelah ayah Dhila berpulang tahun 2014 silam. Langkah ini mantap untuk Dhila ambil demi mewujudkan cita-cita dan memperbaiki kondisi financial keluarganya. Karena Dhila yakin segala sesuatu yang dimulai untuk hal-hal baik akan dapatkan hasil yang baik pula. Maka teruslah perjuangkan niat baik itu dan segera untuk memulainya agar tidak hanya menjadi angan atau wacana belaka.

Bekerja sebagai Sales Promotion Girl sering sekali dipandang rendah oleh kebanyakan orang, padahal Dhila tidak pernah merugikan siapapun dalam menjalankan tugasnya. Mulai dari hinaan, cacian, di perlakukan tidak adil, di remehkan karena status sosial, dan masih banyak lagi. “Ini adalah proses pendewasaanku, bagaimana Allah meneguhkan hatiku melalui hal-hal yang menyakitan ini,” gumam Dhila saat hal-hal menyakitkan melewatinya. Senyuman manis terukir di bibirnya sembari mengusap sedikit air mata yang hampir terjatuh.

Hari Minggu merupakan weekend dimana pengunjung Mall bertambah banyak, sehingga tempat kerja Dhila sebagai perusahaan retail paling banyak dicari dan dikunjungi oleh kebanyakan customer.

Dhila siap sedia melayani sepenuh hati customer yang datang memastikan mereka membeli produk dalam jumlah banyak sehingga target tercapai sempurna. Adzan Magrib pun berkumandang, Dhila meminta izin sebentar pada kepala toko yang sedang bertugas pada saat itu, sayangnya Dhila tidak di izinkan untuk melakukan ibadah sholat Magrib dengan alasan toko masih dalam keadaan ramai, padahal staff yang lain masih sedang bertugas dan berpeluang untuk bisa menggantikan Dhila sementara waktu. Namun sebagai anak baru bekerja selama 2 bulan disana Dhila hanya mengikuti perintah tersebut.

Okta sebagai senior Dhila mengetahui keadaan tersebut dan mempersilahkan Dhila untuk sholat selagi ia dapat menggantikan Dhila, “Dhil, kamu gapapa? Dia emang begitu orangnya, kamu solat aja dulu gih biar aku yang gantiin kamu di floor ya”, Dhila mengiyakan dan tak menunggu lama Dhila bergegas menuju mushola untuk melakukan ibadah sholat magrib. Hingga Dhila kembali ke Store Dhila mendapat teguran dari kepala tokonya karena meninggalkan Store tanpa sepengetahuannya.

“Kamu ini anak baru ya, kok berani-beraninya kamu bantah perintah saya, saya gak mau tau ya hari ini saya keluarin SP 1 buat kamu,” ujar kepala toko bernada tinggi.

“kan saya cuma sekadar sholat pak, untuk melaksanakan kewajiban saya sebagai muslim, tohhh kak Okta udah back up aku kok,” tanpa basa-basi surat SP 1 diberikannya kepada Dhila.

Dhila menyabarkan hati, memeluk diri sendiri, memastikan teman-temannya yang lain tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Begitulah kedewasaan diri berperan. Tidak perlu validitas orang-orang untuk turut membela. Cukup mengadu kepada Sang Pencipta maka segalanya lebih menentramkan.

Keesokan harinya Dhila mengalami demam tinggi, mual dan pusing tujuh keliling, mungkin karena semalam Dhila pulang kerja dalam keadaan kehujanan dan basah kuyup. Hal tersebut tidak memungkinkan bagi Dhila untuk berangkat kerja seperti biasa, maka Dhila meraih handphone dan chat kepala toko untuk meminta izin tidak dapat bekerja seperti biasa dikarenakan sakit. Namun jawaban dari Kepala Toko Dhila sangat tidak manusiawi “Masih bisa jalan kan? Masih bisa nafas kan? Semua organ badan tubuh kamu masih utuh kan? Masuk, jangan lemah!”

sontak hal ini sangat membuat Dhila di ambang perasaan dilema. Berangkat kerja atau mengistirahatkan badannya yang sudah kesakitan. Namun siapa yang peduli terhadap gadis perantauan yang malang ini? Saat itulah Dhila mulai menghargai dirinya sendiri dan melakukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri yaitu beristirahat dan mengabaikan ocehan kepala tokonya di whatsapp.

Di tanggal tua ini Dhila berusaha untuk hemat karena uang yang tersisa di saldo ATM dan di dompetnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan dan transportasi Dhila sampai dengan gajian bulan depan. Dalam kondisi sakit ini Dhila ingin sekali berobat namun apa daya uang yang ia miliki hanya cukup untuk memenuhi hidupnya enam hari kedepan. Ditambah lagi Dhila belum dapat BPJS kesehatan dari tempatnya bekerja. Mau tidak mau Dhila harus menahan diri dulu untuk berobat.

Simpan saja semuanya sendiri, rasa sakit, rasa pedih di hati dan kekacauan yang ada dalam diri hanya Dhila dan Allah saja yang tahu. Karena orang lain tidak pernah mengerti selagi tak merasakan, dihamparkannya sajadah, bergegas mensucikan diri dengan berwudhu dan menunaikan sholat, berserah diri sepenuhnya kepada sang Ilahi. Sujud terakhir adalah yang paling menggetarkan hati, dimana semua kesakitan ditumpahkannya dalam bentuk air mata yang terserap di kain sajadah. “Sekali lagi ya Allah aku meminta kekuatan hati dan kelapangan hati yang lebih luas. Aku hampir menyerah namun rasanya tidak pantas melakukan itu sebagai hamba yang bertaut kepadamu,” isaknya dalam tangis di sujud terakhir.

Memang tidak ada yang lebih menenangkan selain mengadu kepada yang memiliki kendali dari segala zat dan berbagai hal. Seusai berdoa, Dhila mendapati satu panggilan telefon dari Ibunda tercinta.
“Assallamualaikum, nak apa kabar kamu di sana? Baik-baik saja nak di sana?” ucap ibunda tercinta,
“walaikumsalam bu, allhamdulilah Dhila baik-baik saja bu, sehat,” jawab Dhila
“ibu gak enak. Kepikiran kamu terus, Allhamdulilah dil, ibu hari ini ada sedikt rezeki dari hasil panen padi di kampung. Ibu sudah kirim uang barusan ke rekening kamu. Tolong gunakan baik-baik ya nak, jangan sampai telat makan, jaga kesehatan,” ucap ibunda Dhila dengan nada lirih.

Dhila pun menangis dan mensilent kan telefon karena tidak ingin ibu nya tahu bahwa ia sedang menangis. Dhila sangat bersyukur bahwasanya di kondisi tersulit ini Allah selalu memudahkannya dengan segala cara yang tidak terduga. “La tahzan inallaha ma’ana” Janganlah bersedih sesungguhnya Allah bersama kita.

Jakarta, Juni 2021
Widya Ismiriadi

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This