Kelistrikan PLN : Pakar ITB Yang Terbelah!

Sep 6, 2021 | Opini

Adalah fakta antara 2001-2008, gara-gara “The Power Sector Restructuring Program” (PSRP) nya IFIs (WB,ADB, IMF), penulis dipanggil ITB sampai 5 kali untuk bicara pada Seminar dalam konteks Sistem ketenagalistrikan. Dari situ harus di akui bahwa ITB adalah “gudang”nya pakar elektro sekaligus menaruh perhatian besar atas kelangsungan kelistrikan bangsa kedepan. Terlepas adanya perbedaan ideologi, dimana satu pihak masih menginginkan System kelistrikan yang konstitusional (Prof. Ir. Yanuarsyah Harun dkk) sedang dipihak lain mengikuti kemauan IFIs kearah liberalisasi System (Prof. Ir. Sudjana Shapei).

Pengalaman pertama bertemu dengan Tim ITB Prof.Ir.Sudjana Saphei ketika adanya undangan dari Komisi VII DPR RI pada September 2001 (Pimpinan Irwan Prayitno dan Agusman Effendy). Di mana kala itu SP PLN diadu dengan Tim ITB dan Tim UI (Pimpinan Dr. Ir. Reynaldy Dalimi).

RDPU di atas membahas Rencana Undang-undang Ketenagalistrikan (RUUK) yang akhirnya menjadi UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Terlihat ITB saat itu menginginkan Sistem liberal sesuai PSRP, SP PLN tetap pada jalur Konstitusi, sedang UI berada pada posisi netral.

Pengalaman menarik ketika sidang Judicial Review UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan, di mana pihak Pemerintah antara lain menghadirkan Prof. Ir. Sudjana Shapei (ITB) sebagai Ahlinya. Sedang penulis sebagai penggugat bersama Sekjen Yunan Lubis SH (mewakili SP PLN) menghadirkan antara lain Prof. Ir. Yanuarsyah Harun (ITB). Artinya dalam Sidang MK tersebut bertemulah dua pakar ITB dengan pandangan terhadap Sistem ketenagalistrikan yang berbeda!

Adu argumentasi terkait Sistem Ketenagalistrikan berulang lagi ketika ITB adakan Seminar Sehari bertema “Ketahanan Energi Nasional” pada 2008, yang saat itu hadir pula Fahmi Mochtar (Dirut PLN), Eddie Widdiono (sbg anggota DEN), dan Prof. Ir. Sudjana Shapei sebagai moderator. Saat itu penulis dicecar pertanyaan moderator mengapa saya masih bersikeras terhadap referensi Konstitusi? Ya penulis jawab saja bahwa sebagai rakyat patokannya adalah Konstitusi. Tetapi kalau kelistrikan mau diliberalkan, sebagai rakyat saya harus tunduk! dan saya bilang, “tetapi lambang burung Garuda ini (saya tunjuk burung Garuda Pancasila di Aula Timur ITB itu) turunkan saja dan diganti burung emprit saja!” Seketika itu ruangan seminar gaduh, dan ada peserta yang menyuruh penulis turun dari podium pembicara.

Yang menarik, saat sebelum Seminar dimulai, penulis sempat mampir ke ruang Rektor ITB, yang ternyata saat itu sang Rektor adalah Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso yang notabene kakak kelas di SMAN I Magelang. Pada kesempatan itu sempat diskusi tentang draft UUK yang penulis bawa serta sempat berucap, “Ini gimana tho dik, kok ada pasal ngomongnya “dapat”, kata “dapat” itu kan gak tegas!”

Dari diskusi singkat dengan pak Rektor itu penulis berkesimpulan bahwa ada perbedaan tajam di ITB dalam konteks Sektor Ketenagalistrikan, dan ditampakkan dalam sikap resmi!

Kesimpulan
Artinya, dari pengalaman di atas, permasalahan sektor ketenagalistrikan ketika masih dalam tataran program/konsep/regulasi/UU, baru menyentuh kalangan Akademisi, itupun bidang yang terkait langsung, yaitu elektro.

Sehingga benarlah apa yang dikatakan Prof. David Hall di depan Sidang MK, bahwa masalah kelistrikan yang selama ini diamanahkan kepada PLN adalah masalah “elitis”. Sehingga meskipun nantinya akan membawa dampak yang luas, rakyat baru akan merasakan setelah tarip listrik naik secara berlipat-lipat!

Magelang, 4 September 2021.

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This