Jujur ialah sebuah kata-kata yang indah, sakral merasuk di jiwa. Alangkah bahagianya jika kejujuran terbangun dengan kelandaian, kerendahan hati terdalam, yang di ukir dan terukir dengan benar. Tanpa ada basa-basi supaya diakui, dipercaya, dan menarik simpati. Kejujuran sifat subjektif, masih dalam alam pemikiran dan alam kalbu penyatuan pengelolaan pada keduanya lahirlah sebuah rangkaian kalimat yang terkumandangkan didengar penuh kepastian.
Diolah di bagian titik atas dan titik tengah pada garis vertikal, jika terjadi signal yang tepat akan menjadi pertanggungjawaban apa yang disampaikan melalui getaran dua katup bibir. Entah yang dilantunkan benar dan tidaknya, perlu ada waktu dan menjadi pemikiran dikemudian hari. Melalui proses penilaian pada setiap kurun waktu akan teruji dengan sendirinya. Bukanlah pada saat dibicarakan awal menjadi kebenaran, kepercayaan, dan kemudian percaya pada saat itu juga walaupun dianggap tepat dan benar?
Kejujuran, tingkat nilainya sangat tinggi. Apakah ada kriteria lain di atas kejujuran?!. Pada kenyataannya, kejujuran menjadi objek pencarian dan berupaya dengan metode lain dalam pengujiannya. Berpikir terbalik, sifat kejujuran yakni sudah melekat di jiwa raga dan yang memiliki hanya Sang Maha Gusti. Ditiupkan atas kehendak-Nya saat di alam kandungan hal ini menjadi dasar yang hakiki.
Cuplikan, terdapat sebuah kasus pembunuhan berencana yang melibatkan ART juga sebagai driver. Saat dalam pemeriksaan tingkat awal dan seterusnya sampai tingkat persidangan, untuk mendapatkan hasil otentik maka dilakukan pengujian tingkat jujur dan atau bohong melalui “alat kebohongan” (uji polygraf). Bukannya yang tepat “alat kejujuran”, alhasil menimbulkan kelucuan saat di depan persidangan. Apa yang dihasilkan tidak sesuai apa yang disampaikan, sehingga terkesan lucu dan membuat tertawa di dalam ruang sidang.
Sebagaimana kasus penipuan, penggelapan, hutang piutang, percintaan dan permasalahan lainnya, sepertinya kembali pada persoalan “kejujuran” yaitu sebagai parameter yang utama dan pertama dalam kehidupan di dunia fana.
Kejujuran yang hakiki kiranya setelah kematian dan kembali ke alam baka, menghadap kepada Sang Khaliq. Sungguhlah sangat berat terkait kejujuran. Bila dipikirkan dalam hubungan interaksi sosial di dalam semua lini kehidupan, maka seperti makan buah simalakama “Dimakan ibu mati, tidak dimakan ayah mati”.
Apakah hidup dan kehidupan dalam hal kejujuran merupakan skenario halus dan kehalusan atas kehendak-Nya?!. Sepertinya secara individual ada beban yang sangat berat, salah satunya yang melekat pada jiwa raga atas kodrat-Nya dan kedua bagaimana mengasah, mengukir, dan mematrikan kejujuran agar tidak terarah kebohongan.
Satu hal saja, apakah bisa diwujudkan, diimplementasikan, dan diterapkan dalam kehidupan sesuai tingkatannya?!. Wallahu a’lam hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
***
Kejujuran bagaikan awan membentang, tanpa simpul dan pembatas
Sekilas mata memandang, warna terang, redup dan gelap
Menyimpan kerahasiaan, di setiap titik empat penjuru mata angin
Tiada terjangkau detik per detik, alur perlintasan
Kejujuran terselip rapat, di relung pemikiran dan kalbu
Berputar-putar rasa saling menikam, menjadi satu atau terbelah
Pembeban semakin mendesak, pernik-pernik mencari alur
Bermuara, mengurai, mencari jalan celah terlewati
Kejujuran, bagaikan ujung belati, nilai sangatlah tinggi
Ringan tersampaikan, dari getaran dua katup bibir atas bawah
Menutup kebenaran hakiki, ruh, sukma mengkhianati
Setiap seruas jari mengikuti alur, tak akan terhenti
Kejujuran, bagaikan pundi-pundi, setetes air hujan, sepuluh tetes air comberan
Rasa berat terucap hal yang benar, entah dalam benak dan pikiran
Rasa bangga tersembunyi, rasa takut, malu bila terurai
Kembali berbalik, garis vertikal isi kepala, isi kalbu, menyatu ataukah berseteru
Surabaya, 18 Juni 2023
Yudi Ento Handoyo
0 Comments