Jenang Sengkala: Media Tolak Bala Masyarakat Jawa

Oct 4, 2021 | Ragam

Makanan tradisional adalah makanan rakyat yang tidak terhalang oleh batas kasta. Makanan tradisional menjadi kepemilikan bersama dari sebuah kelompok masyarakat. Hal ini merupakan hasil dari budaya kolektif dari para leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Makanan tradisional selalu erat dengan suatu siklus hidup atau tata adat dalam kehidupan budaya masyarakat. Kaitan makanan dan tata adat banyak dibahas dalam naskah-naskah kuna Jawa seperti Serat Centhini yang membahas makanan tradisional serta tata cara penyajian hingga fungsinya dalam masyarakat.

Masyarakat Jawa memiliki kepercayaan bahwa lingkungan hidup perlu untuk dilestarikan melalui bentuk ritual-ritual keagamaan yang mengandung nilai kearifan lokal. Hal ini membuat makanan tradisional menjadi makanan yang sarat dengan kearifan lokal, karena banyaknya makna tersebut merupakan hasil pemikiran nenek moyang masyarakat Jawa yang penuh dengan pemaknaan filosofis terhadap lingkungan. Makanan tradisional menjadi bagian yang selalu ada dalam upacara ritual masyarakat Jawa, karena sajian makanan diperlukan untuk melengkapi upacara. Makanan tradisional termasuk dalam kajian folklor karena berkaitan dengan makanan rakyat yang pengetahuannya diwariskan secara turun temurun. Materi kebudayaan tersebut sifatnya kolektif (kepemilikan bersama) dalam menentukan makanan dapat dimakan atau tidak, sekaligus memberikan cap untuk mengesahkan makanan melalui bentuk ritual. Pengetahuan lokal mengenai makanan dipengaruhi oleh gambaran mengenai sifat, pengaruh dan reaksi lingkungan hidup terhadap manusia dan aktivitasnya (Purwadi, 2005 dalam Dewi : 2011).

Gambaran mengenai makanan tradisional dan kaitannya dengan siklus kehidupan dapat ditemukan pada makanan tradisional Jenang Sengkala. Makanan ini biasa disajikan saat aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan hal seperti kelahiran, pendirian rumah hingga perayaan (selamatan). Dalam hal ini Jenang Sengkala atau Bubur Merah Putih merupakan makanan yang biasa disiapkan untuk acara selamatan dalam tradisi Jawa. Jenang Sengkala terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan gula aren dan santan.

Pembuatan jenang dimulai dari beras ketan direndam selama satu jam dan dicuci hingga bersih. Kemudian gula aren direbus bersama dengan pandan hingga larut. Setelah membersihkan beras ketan dan merebus gula aren, beras bersama air larutan gula dan daun pandan dimasak pada panci hingga beras ketan menjadi lunak. Kemudian untuk pembuatan kuah santan perlu disiapkan santan, air, garam dan pandan. Bahan-bahan tersebut direbus hingga mendidih dan matang. Ketika kuah sudah matang, beras ketan yang sudah melunak dan memerah sebab gula aren akan disiram dengan kuah santan (Setyorini, 2020).

Jenang Sengkala dipercaya sebagai bentuk tolak bala dalam masyarakat Jawa. Hal ini diungkapkan melalui adat yang menuntun masyarakat untuk mewujudkan doanya melalui manifestasi sajian yakni Jenang Sengkala.

Jenang ini memiliki arti ngilangna barang sing ala atau menghilangkan perkara yang buruk (Ahwan and Marzuki, 2020). Adapun macam makna yang lain yaitu kalis ing sambikala yang berarti terlepas dari segala mara bahaya, baik untuk diri sendiri atau orang lain (keluarga hingga kelompok masyarakat). Jenang Sengkala ditujukan kepada Tuhan dengan harapan selamat dari gangguan dari segala hal yang tidak baik (Wafiqoh, 2019). Juga ada yang mengartikan Jenang Sengkala sebagai murwakala yang berarti menolak bala yang akan tiba (dianggo nulak kacilakan kang bakal tumiba (Poerwadarminta, 2015)). Perbedaan dalam menafsirkan Jenang Sengkala berbeda pada tiap daerahnya, namun semuanya memiliki inti yang sama yakni menolak hal buruk yang nanti menimpa.

Hadirnya Jenang Sengkala dalam adat masyarakat Jawa merupakan bentuk dari kesungguhan harapan dari masyarakat Jawa yang diwujudkan dalam manifestasi sajian makanan. Hal ini ditampakkan dalam bentuk selamatan yang ditujukan sebagai panyuwunan atau permohonan yang dipanjatkan melalui sajian makanan. Bentuk selamatan tersebut dimaksudkan untuk menciptakan dimensi sosial dalam panyuwunan. Jenang Sengkala yang hadir dalam selamatan merupakan bentuk dari kesatuan yang melambangkan kehidupan manusia yang tidak bisa lepas dari peran kedua orang tua yang digambarkan dalam jenang yakni ketan merah dan kuah santan (Damayanti, 2019).

Dengan demikian, Jenang Sengkala merupakan bentuk dari manifestasi dari harapan dan permohonan dari masyarakat Jawa yang memuat penolakan bala dan segala yang memberikan hal buruk. Jenang Sengkala di masa kini masih bertahan sebagai jajanan pasar, namun tidak sedikit yang masih memerlukan kehadiran Jenang Sengkala dalam peringatan kelahiran atau dalam rangka selamatan yang sifatnya umum. Kehadiran Jenang Sengkala memuat kesungguhan manusia Jawa dalam berdoa. Hal ini berada dalam alam bawah sadar masyarakat Jawa yang senantiasa menghormati alam dan berterima kasih kepada Sang Pencipta.

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This