Jembatan Sadu Riwayatnya Dulu

Oct 13, 2021 | Jalan Jalan

Visits: 0

“Semoga kami Selamat”, kata Johan sambil memegang bahu Oeroeg sahabatnya. “Tawalatu tawalana, jauh dekat tetap saudara,” jawab Oeroeg.

Itulah sepenggal dialog pada agedan terakhir Film “Oeroeg” di sebuah jembatan saat pertukaran tawanan perang antara TNI dan Tentara Kerajaan Belanda. “Oeroeg”(going home) adalah judul film drama yang dirilis tahun 1993, disutradarai sutradara Belanda Hans Hylkema yang diadaptasi dari novel terkenal berjudul sama karya penulis Belanda Hella S. Haasse yang pertama terbit tahun 1948, di tengah masa-masa Perang Kemerdekaan Indonesia. Yang menarik di sini jembatan tempat adegan pada film itu berlangsung. Jembatan tersebut tak lain adalah Jembatan Sadu atau masyarakat menyebutnya Leuwi Banen.

Jembatan Sadu merupakan perlintasan jembatan rel kereta api jalur Bandung-Ciwidey yang kini non aktif, di atas Sungai Sungapan. Jembatan ini berada di ketinggian 1106 M-Dpl dan terletak di kampung Cijagara, Desa Cilame, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Jembatan Sadu yang ikonik ini menyimpan sebuah kisah masa lalu tentang bagaimana penjajah Belanda waktu itu begitu bernafsu dengan kekayaan alam di Bandung Selatan dan berusaha keras untuk menguasainya, salah satu caranya dengan membangun sarana transportasi.

Alkisah, Belanda yang saat itu berkuasa mengincar produk-produk perkebunan dari wilayah Bandung Selatan, untuk diangkut ke Kota Bandung dan Batavia. Karena itu dibutuhkan sarana transportasi terpadu yang lebih murah dan cepat. Mengingat waktu itu pengangkutan hasil-hasil kebun untuk dikirim ke berbagai jurusan dari wilayah ini harus menggunakan pedati dengan biaya sebesar 15 hingga 18 sen tiap ton. Kelemahan pengangkutan dengan pedati adalah akses menuju Kota Bandung sangat sukar mengingat jaraknya relatif jauh.

Untuk keperluan tersebut maka tanggal 1 juni 1918 dibangunlah jalur kereta api Bandung-Soreang oleh Staatsspoorwegen (SS) berdasarkan Undang-undang yang tercantum dalam lembar negara (Staatsblad) No.345. Sedangkan jalur KA Soreang-Ciwidey dibangun SS berdasarkan UU tanggal 18 Maret 1921 yang tercantum dalam Lembar Negara No. 204.

Pembangunan jalur kereta api ini ditaksir menelan biaya sebesar ƒ1.776.000,00.

Jalur kereta apinya sendiri terdiri atas segmen Bandung–Kopo (Soreang) dilanjut menuju Ciwidey dan dibuatkan pula jalur cabang dari Dayeuhkolot menuju Majalaya. Dalam verslag yang dibuat oleh Staatsspoorwegen, jalurnya sendiri dibuka untuk Bandung–Kopo (Soreang) dibuka pada tanggal 13 Februari 1921, dan Soreang–Ciwidey pada tanggal 17 Juni 1924.

Selain sebagai angkutan Massal kereta api kerap digunakan untuk membawa hasil bumi seperti teh, kina, rempah-rempah, kayu dan lain sebagainya. Bagi penumpang yang naik kerta api Ciwidey-Soreang akan melewati 3 stasiun yaitu Stasiun Pasir Jambu, Stasiun Cukanghaur, dan Stasiun Cibeureum.

Meski jalan Raya Soreang-Ciwidey telah lama ada, namun masyarakat lebih memilih menggunakan kereta api sebagai moda transportasi waktu itu. Pasalnya kereta api dinilai murah dan cepat. Dengan membayar ticket 10 Rupiah perjalanan Soreang – Ciwidey hanya ditempuh sekitar 30 menit. Selain itu angkutan andong dan bus masih minim.

Namun, jalur kereta api tersebut ditutup total pada tahun 1982. Katanya sih karena kalah bersaing dengan mobil pribadi dan angkutan umum. Namun ada desas-desus pula bahwa jalur itu ditutup paska tragedi kecelakaan Desa Cukang Haur, Ciwidey tahun 1972. Kabarnya rel kereta bengkok, sehingga gerbong anjok. Masinisnya pun tewas.

Walaupun Direktorat Jenderal Perkeretaapian sudah membuat masterplan reaktivasi jalur KA Bandung-Ciwidey, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda jalur ini akan digusur dan dikerjakan. Bangunan-bangunan stasiun masih ada, tetapi kondisinya ada yang terawat dan ada pula yang rusak. Asetnya dikuasai oleh PT Kereta Api Indonesia dan sebagian tanah bekas jalurnya sendiri sudah dibangun hunian penduduk baik semipermanen maupun permanen.

Bagaimana nasib Jembatan Sadu sekarang? Kini jembatan Sadu hanya dilintasi pejalan kaki dan kendaraan beroda dua. Meski agak membahayakan namun keberadaan jembatan Sadu yang ikonik ini menjadi daya tarik tersendiri untuk sekedar berfoto di atas ketinggian Sungai Sungapan. Tetap berhati-hati ya kalau selfie di tempat ini karena sebagian jembatan belum ada penghalangnya😊

(Disarikan dari berbagai referensi)

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This