Sejarah kadang menampilkan peristiwa ironi. Saling bertolak belakang dan berbenturan. Jaya di sana, hancur di sini. Gemilang di sana, kebinasaan di sini. Seperti Revolusi Perancis yang terjadi di daratan Eropa menampakkan wajah gerakan radikal yang mampu mentransformasi kehidupan sosial politik. Namun dalam waktu yang tak jauh berbeda, Revolusi Perancis telah mengakibatkan kebinasaan di bumi Nusantara. Kegemilangan akibat dari Revolusi Perancis kemudian banyak dijadikan rujukan para ahli, politisi, pemikir di banyak negara termasuk Indonesia. Di antaranya kosep-konsep demokrasi, hak asasi manusia, konstitusionalisme lahir dari pengaruh Revolusi Perancis. Tanpa sadar dan memeriksa bahwa Revolusi Perancis pada masa lalu telah membawa kebinasaan di bumi Nusantara.
Herman Willem Daendels seorang tentara pemberontak dan pemberani dari kesatuan Republik Batavia (Batavia berasal dari nama suku di Belanda). Saat pelarian ke Perancis, dia menyaksikan sendiri terjadinya Revolusi Perancis. Jiwa dan panji-panji Revolusi Perancis yang kuat mempengaruhi Daendles. Semboyan liberte, egalite dan fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan) sebagai prinsip kemanusiaan baru mengantikan tradisi dan hierarki monarki absolut.
Tapi apa lacur, saat Daendels menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda atas perintah Napoleon Bonaparte?. Tidak kurang 15 ribu pribumi meninggal dunia akibat kerja paksa pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Suatu jumlah yang hampir sama dengan jatuhnya 16 ribu korban jiwa selama pemerintahan diktator Jacobin dan Robespierre pada tahun 1793-1794, yang menyulut lahirnya Revolusi Perancis. Lalu apa beda Daendels sang pemuja Revolusi Perancis dengan Jacobin dan Robespierre? Deandles “cukup” dengan waktu satu tahun (1808-1809) membunuh 15 ribu rakyat Indonesia lewat kerja rodi.
Raja Luois XVI menangkap warganya dan dieksekusi lewat guillotine. Tapi Daendles sang pembawa panji-panji Revolusi Perancis, menggantung kepala para priyayi dan pekerja di pohon-pohon sepanjang jalan yang menentang kerja rodi. Sistem perbudakan yang dijalankan Deandles dengan tangan besi tak ubahnya kekuasaan monarki Perancis yang ditentang oleh Revolusi Perancis.
Kediktatoran dan kebiadaban Daendles di tanah Jawa dianggap sebuah prestasi dan kegemilangan oleh Napoleon Bonaparte. Karena kesuksesan itu, Napoleon memanggil pulang Daendles untuk bersama menyerang kekuasaan Tsar di Rusia pada tahun 1812.
Wajah monarki dan feodalisme di bumi Nusantara tak dapat disamakan dengan kebiadaban monarki Eropa khususnya Perancis pada era itu. Kesultanan Banten dan Cirebon misalnya. Masih menunjukan tata laku yang lebih manusiawi. Justru VOC dan kekaisaran Napoleon lewat Daendles lebih tidak beradab. Tak pernah dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara sejak abad ke VI hingga abad ke XVI, rakyat mati kelaparan, terserang penyakit mematikan (seperti malaria) dan mati dalam kerja dan tanam paksa dengan sistem perbudakan. Sebagai perbandingan seorang pekerja di galangan kapal di bandar Tuban pada era kejayaan Majapahit, kerja seminggu dapat upah cukup hidup sebulan. Bila dibandingkan saat ini, kerja sebulan hanya cukup makan buat seminggu.
Bahwa Revolusi Perancis telah menimbulkan dampak pertumbuhan republik dan demokrasi liberal, itu benar dalam konteks Eropa. Namun, yang terjadi di bumi Nusantara malah sebaliknya. Kerajaaan dan kesultanan di bumi Nusantara tak mengajarkan perbudakan, kerja paksa dan tanam paksa. Para Sultan, Pangeran dan Raja yang dikuasai oleh pemerintahan kolonial lah yang menjadikan perilaku priyayi dan monarki menjadi penindas. Lewat Sultan, Pangeran dan Raja, penguasa kolonial memaksa rakyat menyerahkan upeti, tenaga kerja dan tanah yang dimiliki.
Sejarah pada dasarnya bukan sekadar catatan manuskrip. Ada hubungan timbal balik di antara pelbagai peristiwa. Ada hubungan sebab dan akibat di antaranya. Bumi Nusantara para era itu merupakan bagian integral dan tak terpisah dari perkembangan global. Misal perjanjian Tordesillas dan Saragoza akibat pertentangan Spanyol dan Portugal merebut kepulauan Maluku. Sehingga Bumi dibelah menjadi dua bagian dengan titik sentral Maluku. Gagasan mare liberium yang dianut dalam hukum laut Internasional diawali oleh peristiwa dirampoknya kapal Portugis oleh armada laut VOC di selat Malaka. Pengusiran Inggris di bandar Banten oleh VOC, mendorong Adam Smith menentang kapitalisme merkantilis dan dimulainya babak kapitalisme liberal. Andai kualitas cengkeh dari Gujarat, kualitas pala dari Turki rendah sebaliknya harga rempah-rempah itu menjadi tinggi di Eropa untuk mengawetkan hasil peternakan, bisa jadi Portugis dan Spanyol tidak menjarah Maluku. Andai jalan sutra tidak diblokade oleh pasukan Mongol di daratan Asia, para pedagang Persia dan India tak akan melewati “jalan rahasia laut” perairan Nusantara.
Pendek kata perkembangan global tak bisa dilepaskan dengan situasi dan kedudukan Nusantara dalam perjalanan sejarahnya. Revolusi Perancis berakibat kebinasaan pada penduduk Jawa di bawah Daendles. Namun Revolusi Industri di Inggris, telah menumbuhkan jalan (rel) kereta api di Jawa lebih awal ketimbang di negeri Belanda sendiri. Itulah mengapa pembacaan atas peristiwa dalam sejarah tak dapat dibaca sekadar teks dan melupakan konteks. Mengaitkan antar peristiwa dalam hubungan sebab akibat. Termasuk masuknya agama-agama samawi seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen di bumi Nusantara, mengapa diterima secara terbuka dan toleran oleh kekuasaan kerajaan dan masyarakat Nusantara saat itu. Tentu ada hubungan sebab akibat dan ada kontekstualitasnya.
Pekalongan, 05 Agustus 2021
Hendra Budiman
Waahhh keren ini tukisanya… yg pada akhirnya Revolusi,Reformasi,nasionalisme dsb. Adalah sebuah gerakan Politik utk mencapai kekuasaan. Nampaknya sejarah akan selalu terulang penguasa akan silih berganti..