Selembar poster undangan pameran lukisan potret diri dikirimkan lewat media sosial. Membuat diri tertarik untuk memperhatikan isi undangan tersebut. Terlebih lagi, wajah yang nampak ditampilkan di poster tersebut tidak asing lagi, meski tertutup oleh gerai rambut panjang.
“Mau ikut!” jawab saya segera.
“Teteh harus ikut!” jawab kawan yang mengirimkan undangan tersebut.
Kawan saya itu bernama Wildan, seorang seniman sekaligus alumni santri yang selalu semangat berkegiatan di bidang seni tentunya. Dia lulusan Pesantren Gontor, sekaligus lulusan Fakultas Seni Rupa ITB, yang terus juga melanjutkan pendidikan di bidang seni.
Karya-karyanya unik, terkadang membuat merinding, namun yang lebih unik lagi adalah kepribadian dan cara berpikirnya. Inilah yang membuat saya senang memperhatikan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya.
Singkat cerita, akhirnya saya mulai memikirkan apa yang mau saya lukis di atas kanvas berukuran 30×30 cm, karena persyaratannya demikian. Tidak mudah melukiskan wajah diri sendiri di atas kanvas, paling tidak menurut saya pribadi.
Dilema ingin kelihatan mirip, cantik, tapi ingin juga ada identitas diri dalam lukisan berupa teknik dan warna, memberi banyak pertimbangan dalam imajinasi. Apalagi yang dituangkan bukan kata-kata, tetapi berupa lukisan. Saya membayangkan kanvas adalah cermin yang memantulkan bayangan wajah diri dengan goresan warna tumpang tindih.
Setelah jadi dan setelah ribet sebelumnya, karena saya lupa ukuran kanvas; saya melukis di kanvas berukuran 30×40 cm, sehingga harus dipotong dan diperbaiki dulu; saya pun berangkat ke Galeri Sanggar Olah Seni, di Bumi Siliwangi Bandung untuk menyerahkan lukisan.

“Ke sana saja, Teh! Di sana ada Kang Freddy,” kata Wildan.
Benar saja, setiba di sana ada Kang Freddy, seorang seniman dari jaman “baheula” yang bertugas menerima lukisan-lukisan peserta. Ada juga Kang Tony dan beberapa seniman lainnya. Rupanya bukan hanya saya yang menyerahkan di detik-detik terakhir. Malam itu, ada banyak seniman lain yang baru menyerahkan karya mereka.
“Apa judul lukisannya?” tanya Kang Freddy.
Pertanyaan yang jujur saja, membuat saya gelagapan. Saya bahkan tidak terpikir apa judul lukisan saya, karena yang saya pikirkan adalah tulisan yang saya buat, yang menjadi inspirasi lukisan wajah diri tersebut.
“Mawar merah,” akhirnya saya jawab demikian, sebab memang ada mawar merah yang lebih memukau menutupi wajah saya dalam lukisan itu.
Di hari pembukaan, tanggal 20 Agustus 2023 sore, akhirnya saya berjumpa lagi dengan Wildan. Saya baru tahu bahwa sebenarnya dia baru setahun bergabung dengan bdgconnex (www.bdgconnex.net) yang dimotori oleh Kang Tony dan dipimpin oleh Rifky Goro Effendy. Bdgconnex ini sangat aktif melakukan berbagai kegiatan seni, mulai dari pameran, seminar, dan diskusi seni serta budaya. Website mereka bahkan disediakan bagi para pegiat dan pelaku seni untuk menyajikan kegiatan dan aktivitas yang dilakukan oleh para pelaku seni.
Sementara kegiatan pameran serupa sebenarnya sudah berjalan enam tahun, dan tahun ini (2023) bertema “Self Portrait #2 Ingsun”, yang juga merupakan rangkaian dari acara “Bandung Art Month ke-6” dan dijadikan sebagai acara pembuka. Baru tahun ini pula kegiatan ini mendapat dukungan dari pemerintah.
Kemenparekraf/Baparekraf Sandiaga Uno memberikan pidatonya, dan pada pembukaan acara pameran yang berlangsung dari tanggal 20 Agustus – 20 September 2023, Kepala Dinas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung, Arief Syaifudin dan perwakilan dari Kemenparekraf turut hadir dan memeriahkan acara.
Bisa dibilang, acara pembukaan pameran tersebut sukses berat, banyak peserta yang turut pameran dan banyak sekali pengunjung yang hadir. Saya pun berjumpa dengan banyak kawan lama yang selama ini tidak pernah berjumpa. Begitu ruang pameran dibuka, pengunjung bahkan berebut masuk untuk melihat.
Namun, dari semua yang ada malam itu, yang paling membuat saya tertarik adalah sebuah papan besar berisi tulisan yang berada tepat di pintu masuk pameran. Di sana ditulis penjelasan kata “Ingsun”, yang dikenal dari ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar, dengan makna menemukan dan mengenal “diri”.
Cukup kalimat itu saja membuat saya berpikir dan kilas balik pengalaman saya pribadi. Wajar bila tidak mudah untuk membuat lukisan “self portrait“, sebab untuk menemukan dan mengenal diri membutuhkan proses panjang yang sungguh sangat tidak mudah. Apalagi kemudian untuk menguraikannya secara jujur dan gamblang dalam bentuk visual, ada banyak problematik di dalamnya.

Ketika saya memutuskan untuk melukis mawar merah di depan lukisan wajah saya sendiri, saya memang berpikir bahwa orang mudah terpesona dengan keindahan memukaunya, lupa akan duri-duri yang melindungi mawar merah agar tidak mudah dipetik. Dan saya sendiri, bukan pribadi yang mudah ditebak.
Banyak yang salah menduga hanya dari penampilan, sekedar baca atau melihat karya-karya saya tanpa memaknai lebih lanjut, dan tidak tahu banyak tentang diri saya. Saya memang tidak terlalu suka juga diketahui banyak orang atas apa yang saya pikirkan, lakukan, dan apalagi soal bagaimana kehidupan saya pribadi yang sesungguhnya.
Saya pun akhirnya jadi terdiam sejenak karena ada banyak kata-kata tanpa suara yang bersahutan di dalam hati dan benak. Pameran ini, membuat saya merenung dan berpikir. Bukan hanya pada saat itu saja, tetapi hingga saat saya menulis tulisan ini, dan entah kapan berhentinya.
Terima kasih saya ucapkan kepada Wildan, Kang Tonny, Kang Freddy, bdgconnex, para seniman dan panitia acara, dan semua tamu yang hadir.
“Ingsun”, wajah diri di cermin kanvas, apa yang akan saya lukis kemudian bila membuat lagi wajah diri di atas kanvas? Apakah tetap sama atau berubah?! Sudahkah saya menemukan diri saya sendiri?!
Bandung, 29 Agustus 2023
Mariska Lubis
0 Comments