Tinta Emas Negeri – Ibarat sebuah mobil, Indonesia perlu mendapatkan perawatan dalam hal demokrasi, tatanan hukum, hingga ekonomi. Tujuannya adalah agar kendaraan ini mampu membawa penumpangnya ke arah kesejahteraan dan keadilan sosial.
“Jika tidak ada perawatan, maka mobil itu akan menjadi rongsokan. Penumpangnya merasa tidak nyaman, mendapat ketidakadilan. Para akademisi menyebutnya sebagai negara gagal,” sebut Dr Wijayanto Samirin, MPP, dalam Forum Diskusi Universitas Paramadina dan Institut Kebijakan Publik Paramadina, pada Rabu (15/3/2023). Diskusi tersebut membawa tajuk “Etika Pejabat Publik dan Demoralisasi Birokrasi.
Masalah Hutang Indonesia
Dr Wijayanto menilai bahwa saat ini situasi hutang Indonesia telah menggelembung dalam angka Rp7.700 triliun. Setiap tahun negara harus membayar bunga Rp430 triliun atau 13 persen dari APBN.
“Kita juga harus membayar pokok sekitar Rp700-800 triliun per tahun. Itu 25 persen dari APBN. Jika di-combine saving the depth, maka kita akan mengeluarkan 38 persen dari APBN. Karena tidak punya uang, maka kita tidak pernah membayar hutang dan selalu di-recycle. Kita membayar dengan hutang baru,” ujar ahli kebijakan publik itu.
Dr Wijayanto menilai kalau situasi tersebut terus berlangsung maka Indonesia akan berjalan dalam timbunan hutang. Untuk keluar dari masalah tersebut, perlu pendapatan negara yang memadai.
Kepercayaan yang Menurun pada Lembaga Keuangan Negara
“Timbul masalah pada institusi ditjen pajak, di mana seorang Eselon 3 punya 30 akun dan total nilainya Rp500 miliar, dengan perkiraan total aset Rp2,5 triliun. Tingkat kepercayaan kepada lembaga negara praktis jatuh di mata masyarakat,” sebutnya.
Ketika tingkat kepercayaan menurun, muncul suara untuk menunda pembayaran pajak. Suara tersebut bisa mempengaruhi situasi fiskal yang memburuk menjadi lebih mengkhawatirkan.
Dosen Universitas Paramadina itu menyebutkan bahwa pihak Kementerian Keuangan seharusnya memberikan respons dengan kolaborasi dengan KPK. Karena ini menyangkut indikasi korupsi dan di atas kapasitas para pengelola keuangan negara.
“Jika ingin memperbaiki angka penerimaan pajak negara, maka yang didisiplinkan bukan hanya supply side atau para pegawai pajak. Tapi juga dari sisi demand side, yakni para pengusaha besar, oligarki dan tokoh berpengaruh. Itu semua di luar kapasitas pegawai pajak. Maka dari itu, kolaborasi para pihak mutlak diperlukan untuk mencapai solusi,” ungkap Dr Wijayanto.
Solusi terhadap Masalah Lembaga Keuangan
Ahli kebijakan publik itu menambahkan bahwa terdapat tiga solusi terhadap masalah tersebut, yaitu penegakan hukum, pendekatan insentif, dan pendekatan budaya. Ia menilai bahwa solusi pertama sangat rumit untuk diterapkan di Indonesia.
Untuk pendekatan insentif, ia menyebutkan negara sudah mencobanya. Tapi, Dr Wijayanto menilai tidak cukup untuk mengatasi masalah.
”Pada pendekatan budaya, maka di tengah masyarakat kita masih terjangkit budaya feodal, yaitu mencontoh perilaku atasan. Seharusnya penerapan hidup sederhana dilakukan dengan konsisten. Tetapi, di situ masalahnya. Banyak pimpinan lembaga terlebih di lembaga keuangan tidak sanggup mengelola perilaku pribadi dan keluarganya,” ungkap Dr Wijayanto. (nr)
0 Comments