Pertanyaan menggelitik yang dilontarkan seiring kekesalan terhadap terkikisnya nasionalisme dan kepedulian terhadap rakyat, bangsa, dan negara sendiri. “Seperti ikut berjuang saja, untuk peduli dengan nasib para veteran yang sungguh-sungguh bertarung nyawa dengan ikhlas pun tidak. Enak-enakkan dan malah asyik rebutan menjadi penguasa,” kata anak seorang pejuang yang mempertanyakan kepemilikan Indonesia.
Sebuah pertanyaan yang wajar dilontarkan oleh siapapun yang ingin Indonesia menjadi sebuah negeri yang sesuai dengan cita-cita dan tujuan mencapai kemerdekaan, dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah negara dan UUD ’45 dengan penerapannya yang sungguh-sungguh. Saat ini sepertinya Indonesia hanya dikuasai oleh segelitir orang saja dan bahkan Pemilu masih lama pun sudah pada sibuk mencari popularitas dan rebutan posisi. Keadaaan ekonomi dan pendidikan yang sedang hancur dan berantakan seolah “ditutup”, bukan diakui untuk segera diselesaikan masalah yang ada tanpa banyak alasan.
Belum lagi soal adab dan etika, banyak yang “kebablaaan”. Sopan santun dikalahkan oleh alasan kemerdekaan, hak azasi, dan kebebasan. Seolah semua boleh seenaknya saja tanpa ada batasan norma, adat, dan etika. Apapun bisa dibolak-balik dan dirasionalisasikan sesuai dengan kepentingan. Pembodohan dan kebodohan yang merajalela dengam bukti tidak adanya lagi adab dan etika yang santun, keluhuran budi pekerti, dan sopan santun sudah menjadi bukti.
Anak yang sudah jelas salah, tidak membuat pekerjaan rumah dan tidak membawa buku, bisa membuat gurunya menjadi kehilangan masa depan. Guru menegur siswa yang salah, siswa melaporkan ke orang tua, orang tua tidak terima. Berhubung orang tua siswa ini adalah “orang penting”, maka bisa seenaknya saja melakukan tindakan yang menghambat karier guru yang semestinya dihargai karena sudah menegur. Apa karena punya uang dan jabatan maka anak sendiri pun dihancurkan dengan dibuat tidak pernah bisa berbuat salah?!
Sudah bukan rahasia umum atau sesuatu yang perlu disembunyikan juga, banyak anak orang berduit dan anak pejabat yang mendapatkan fasilitas lebih dari anak-anak yang lain. Dengan mudah bisa membeli bahkan gelar dan jabatan kemudian karena banyak “koneksi”. Anak yang masih bau kencur pun bisa dapat jabatan tinggi karena “bapaknya”, walau tidak akan pernah bernyali untuk jujur mengakui.
Kembali kepada pertanyaan, “Indonesia milik siapa?”, maka memang patut dipertanyakan kepada diri masing-masing. Indonesia yang diberikan anugerah rahmat kekayaan alam dan keragaman yang luar biasa ini, kenapa masih banyak yang kesulitan bahkan untuk usaha kecil. Untuk mendapatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai saja tidak mudah, padahal pemerintah dan pegawai negeri digaji oleh rakyat. Masa rakyat yang menggaji tapi rakyat yang lebih susah dan menderita?! Terbalik semua sudah.
Menjadi orang asing malah nampaknya lebih mudah berkuasa di Indonesia. Fasilitas dan kemudahan yang diberikan melebihi kaum pribumi yang jelas lahir dan merupakan pemilik dari negeri Indonesia ini. Sedikit-sedikit asing, apa-apa import, sampai untuk bangga menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar saja sudah susah. Bahasa diubah-ubah terus hingga tak karuan, entah sengaja atau memang tidak mengerti, ya tidak jelas juga. Kalau tidak sengaja, kebangetan bodohnya, kalau sengaja berarti sudah melakukan kejahatan penghancuran pola dan struktur berpikir rakyat Indonesia dengan sengaja. Pantas kehilangan adab dan etika.
Pertanyaan ini tidak perlu dijawab buru-buru dan hanya sekedar lisan dan tulisan tanpa arti dan makna sesungguhnya. Jika benar tahu siapa pemilik Indonesia, maka buktikan saja dengan perilaku dan perbuatan. Tidak perlu butuh pengakuan tetapu lakukan saja dengan ikhlas.
Bandung, 23 Oktober 2021
0 Comments