Iman Itu Perenial sedangkan Teks Itu Profan

Aug 13, 2023 | Essai

Artikel ini dimuat kembali dalam rangka acara Kolokium Spiritualis Dunia yang akan dihelat pada 11-13 November 2023 oleh Lembaga Persaudaraan Matahari, Pusaka Indonesia, GMRI dan Nusantara Centre, di Museum Bahari Jakarta.

Acara dahsyat ini didesain sebagai ucapan terimakasih untuk sang jenius Karen Armstrong. Seorang spiritualis yang menulis banyak sekali buku serius tentang agama. Beberapa yang aku koleksi adalah Through the Narrow Gate (1982), The First Christian: Saint Paul’s Impact on Christianity (1983), Beginning the World (1983), Tongues of Fire: An Anthology of Religious and Poetic Experience (1985).

Sejak tahun 1986, ia terus meningkatkan risetnya. Hasilnya lahir buku The Gospel According to Woman: Christianity’s Creation of the Sex War in the West (1986), Holy War: The Crusades and their Impact on Today’s World (1988), Muhammad: A Biography of the Prophet (1991), The English Mystics of the Fourteenth Century (1991), The End of Silence: Women and the Priesthood (1993), A History of God (1993), Jerusalem: One City, Three Faiths (1996), In the Beginning: A New Interpretation of Genesis (1996), Islam: A Short History (2000).

Buku-buku favoritku dari karyanya adalah The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam (2000), Buddha (2001), Faith After September 11 (2002), The Spiral Staircase (2004), A Short History of Myth (2005), Muhammad: A Prophet For Our Time (2006), The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (2006), The Bible: A Biography (2007), The Case for God (2009), Twelve Steps to a Compassionate Life (2010), A Letter to Pakistan  (2011).

Tetapi dari semuanya, yang paling kusuka adalah buku Sejarah Tuhan yang terbit tahun 1993. Tentu semua bukunya dahsyat. Aku tak menemukan penulis sebrilian Karen di Indonesia. Semua ia ketik dengan runtut, tajam, dan kritis tetapi sangat empatik.

Ia menemukan perenial dalam seluruh agama yang dirisetnya. Kita tahu bahwa filsafat perenial (dari bahasa Latin: philosophia perennis), adalah cara pandang dalam filsafat agama yang meyakini bahwa semua agama di dunia memiliki suatu kebenaran tunggal dan universal menjadi dasar bagi semua pengetahuan dan doktrin religius.

Gagasan perenialisme sudah ada sejak purba. Ia dapat ditemui dalam berbagai agama dan filsafat dunia. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Agostino Steuco (1497–1548), yang meneruskan dari tradisi filsafat sebelumnya, yaitu dari Marsilio Ficino (1433–1499) dan Giovanni Pico della Mirandola (1463–1494).

Pada akhir abad ke-19, gagasan ini dipopulerkan kembali oleh pemimpin masyarakat Teosofis seperti H. P. Blavatsky dan Annie Besant dengan nama “Kebijaksanaan-Agama” atau “Kebijaksanaan Kuno.”

Pada abad ke-20, gagasan ini dipopulerkan lagi oleh Aldous Huxley dalam bukunya The Perennial Philosophy (1944). Beberapa tulisan dari mazhab tradisionalis dan postradisionalis ikut menduniakan gagasan ini.

Apa inti dari gagasan tersebut? Intinya adalah kepercayaan pada kebenaran mutlak yang satu, tunggal, tidak terbagi, dan menjadi mula kebenaran-kebenaran lainnya. Yang Satu ini memancarkan berbagai kebenaran baru sebagaimana halnya matahari yang memancarkan cahayanya. Matahari adalah kebenaran, sinar matahari adalah kebenaran, kehangatan adalah kebenaran, terang adalah kebenaran, dst.

Salah satu pikiran perenial dari Karen Armstrong adalah saat ia berhipotesis bahwa setiap kepercayaan atau teologi mengenai Tuhan dalam periode tertentu akan mengalami perubahan dikarenakan situasi dan kondisi manusia itu sendiri.

Buku ini sebuah mahakarya impresif dan mengagumkan yang akan memberikan wawasan dan kepuasan pada ribuan pembaca awam. Hal ini karena Karen Armstrong adalah penulis serius dan terkemuka. Buku ini melacak sejarah persepsi dan pengalaman manusia tentang Tuhan sejak zaman Nabi Ibrahim hingga masa kini. Selain memerinci sejarah tiga agama monoteistik: Yahudi, Kristen, dan Islam. Buku ini juga menampilkan tradisi Buddha, Hindu, dan Konfusius. Evolusi keyakinan manusia tentang Tuhan dilacak dari akar-akar kunonya di Timur Tengah hingga sekarang. 

Melalui narasi yang gurih, ia mengajak kita menelusuri filsafat klasik dan mistisisme abad pertengahan hingga era reformasi, pencerahan, dan skeptisisme zaman modern. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Karen Armstrong telah melakukan upaya luar biasa menyuling sejarah intelektual monoteisme ke dalam satu buku yang memikat dan nikmat dikonsumsi.

Setiap konsep Tuhan, menurutnya akan ditentang pada awalnya, lalu secara lambat laun diterima, lalu digantikan dengan konsep atau keyakinan lain yang lebih sesuai atau mampu beradaptasi atau cocok dengan kondisi masyarakat waktu itu.

Konsep ketuhanan yang lama akan digantikan dengan konsep ketuhanan yang baru apabila dirasa konsep ketuhanan yang lama tidak lagi diterima oleh masyarakat dalam periode tersebut. Singkatnya, Tuhan dan agama adalah produk sejarah kemanusiaan yang berkembang dalam fase-fase yang panjang dan selalu berganti atau menyempurna hingga lebih diterima oleh zaman berikutnya. Itulah sejarah Tuhan sekaligus sejarah agama-agama.

Hipotesis yang lain adalah Karen percaya bahwa agama dapat menjadi sumber perdamaian dan kebahagiaan manusia sekaligus sumber pertikaian dan malapetaka. Hipotesis ini bersumber dari harapannya akan kedamaian dan kebermaknaan hidup antar sesama manusia yang muncul dalam bentuk teologi perdamaian. Singkatnya, agama tetap harus difungsikan sebagai alat bantu utama agar manusia dapat menjalankan rasa saling menyayangi dan mengasihi. Bukan sebaliknya.

Dalam paragraf terakhir dari buku Sejarah Tuhan yang ia tulis, “Manusia tidak bisa menanggung beban kehampaan dan kenestapaan. Mereka akan mengisi kekosongan itu dengan menciptakan lokus baru untuk meraih hidup yang bermakna. Dus, berhala kaum fundamentalis bukanlah pengganti yang baik untuk Tuhan. Sejatinya, jika kita mau menciptakan gairah keimanan yang baru untuk abad baru, kita harus merenungkan dengan seksama sejarah Tuhan ini demi menarik beberapa pelajaran dan peringatan untuk masa depan.”

Inilah capaian perenial dan “passing over” dalam beberapa pemikiran dan buku Karen Armstrong. Kalian kusarankan membaca dan merenungkan temuan-temuan hebatnya.

Oh ya lupa. “Yang paling menarik dari agama di masa genting adalah kepastian mereka memproduksi etika global.” Ini juga tesis terjenius dari Karen Armstrong. Ia menuliskan argumentasinya dalam karya cemerlangnya, The Great Tranformation.

Ia mengakui bahwa kebajikan sebagai nilai fundamental umat manusia merupakan tradisi yang telah menyatu dalam setiap agama sejak zaman Aksial, yaitu era tahun 900 SM. Kebajikan universal itu menganggap setiap orang merupakan replika dari dunia ilahiah. Atas alasan itu setiap orang mempunyai nilai yang kudus dan tidak boleh diganggu, disakiti, dan dilukai sekalipun atas nama agama. Karena itu dalam jantung setiap agama dapat ditarik nilai-nilai yang bersifat objektif sehingga bisa diterima oleh semua penganut agama secara universal. Inilah modal etika global.

Sayangnya kok di tangan elite umat yang miskin mental, minus ide dan defisit gagasan akibat penjajahan, agama islam kini terpuruk sedalam-dalamnya. Hobi mereka dari dulu menjual agama dengan harga yang kelewat murah. Hanya demi sego lan rupo. Bisnis terbaiknya baru menjualkan kurma dan jilbab: itu pun bukan produk sendiri.

Saat negara hancur, mereka ajak sujud dan ziarah. Saat rakyat miskin, mereka kasih kisah-kisah dalam kitab. Saat kota-kota macet dan semrawut, mereka tuliskan fatwa. Saat kehancuran melanda, mereka ajak berdoa. Saat para elite korup, mereka kasih dukungan dengan mengirim proposal pembangunan rumah ibadah dan pergi umrah. Saat kaum muda butuh duit buat sekolah, mereka ajak tahlilan.

Jika saja produsen fatwa agama di negara ini sebanyak riset-riset dan temuan sains iptek, betapa majunya warga kita. Betapa keren martabat negara kita di mata Tuhan dan dunia. Tetapi yang terjadi, kita hanya mengulang-ulang fatwa purba yang diproduksi 1000 tahun lalu di tanah yang tak bisa disamakan dengan tanah-tanah kita. 

Begitulah agama “islam” kini di tangan para begundal lokal yang hidup di parpol-parpol dan ormas. Tidak ada program jenius dan dahsyat yang mereka jalankan selain menggunakan mimbar pengajian untuk menipu, merampok dan takfiri sambil bangga sudah pasti dapat surga.(*)

Yudhie Haryono 

Presidium Forum Negarawan

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This