Hari Museum Nasional dan Tragedi Bom Bali

Oct 16, 2021 | Opini

Tanggal 12 Oktober diperingati sebagai “Hari Museum Nasional”. Tonggaknya adalah penyelenggaraan Musyawarah Museum se-Indonesia pertama pada 12 Oktober 1961 di Yogyakarta. Tema peringatannya pada tahun ini adalah “Bersama Museum Membangun Ketangguhan Bangsa”.

Siapa yang tak kenal museum. Sejak SD kita sudah akrab dengan bangunan bersejarah ini. Begitu banyak museum di Indonesia, baik yang dibangun dari masa lalu maupun di masa modern. Ada semacam kesadaran sejarah untuk melestarikan peninggalan sejarah di negeri kita dengan membangun museum. Tapi apakah museum itu telah menjadi sarana edukasi sejarah? Itu soal lain.

Hingga kini museum di Indonesia identik dengan gedung tua dengan barang-barang kuno berdebu yang sepi pengunjung. Alias kosong melompong. Datang saja ke Museum Nasional dan berbagai museum yang ada di TMII. Dulu hanya ramai oleh rombongan anak sekolah, yang pada masa pandemi sudah tidak ada lagi.
Penulis sendiri merasakan pada masa pandemi, tahun 2020 lalu, berkunjung ke museum sangat aman dari segi “physical distancing”… karena begitu sepinya. Tahun lalu Penulis berkunjung ke 10 museum di Jakarta, dari Museum Bahari sampai Museum Satria Mandala, dari Museum Kebangkitan Nasional sampai Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Menyusuri sejarah perjuangan bangsa seakan kembali ke dimensi masa lalu. Dari kesemua museum itu yang paling berkesan adalah Museum Taman Prasasti di Tanah Abang, Jakarta karena satu-satunya yang outdoor dan merupakan kombinasi peninggalan makam kolonial dan taman yang asri menjadikannya unik dan estetik. Tak heran tempat ini sering dijadikan pemotretan foto, bahkan prewedding.

Dibandingkan dengan kondisi museum di negara bekas penjajah, Belanda dan negara tetangga, Singapura, kondisi museum di Indonesia bisa dibilang memprihatinkan. Di kedua negara itu, museum ramai dikunjungi, termasuk oleh wisatawan asing.

Sedang di tanah air, museum bukan menjadi tempat yang menarik sebagai rekreasi keluarga, apalagi bagi generasi milenial. Bukan juga menjadi lokasi favorit pariwisata. Melihat perbandingan ini, masalahnya bukan pada daya tarik Museum itu sendiri, tapi pada cara pengelolaannya. Bagaimana menjadikannya sebagai lokasi pendidikan sejarah yang menghibur (edu-tainment) dan aktual pada masa kini.

Pada “Hari Museum Nasional” 12 Oktober 2021, Penulis yang sedang di Bali berkesempatan mengunjungi “Museum Agung Bung Karno” di Renon, Denpasar. Bung Karno (1901-1971) memang memiliki tempat yang istimewa bagi masyarakat Bali. Ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai (1881-1958) adalah orang Bali kelahiran Buleleng. Sejumlah patung dan museum Bung Karno didirikan di Bali. Ketika bicara Bung Karno teringat ucapannya “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” yang sering disingkat “Jasmerah”. Beliau juga pernah menuturkan pengalaman berkesannya ketika mengunjungi Museum di Meksiko.

Pada gerbang keluar museum itu tertulis prasasti dikutip beliau pada pidato 17 Agustus 1961 : “Kita meninggalkan museum, akan tetapi tidak meninggalkan sejarah, oleh karena sejarah berjalan terus dengan penghidupan kita. Tanah tumpah darah merupakan suatu kelangsungan, dan kita semua adalah pekerja yang bekerja untuk kebenarannya. Dari zaman lampau kita menerima kekuatan yang dibutuhkan untuk zaman sekarang, dari zaman lampau kita menerima niat dan dorongan buat hari depan…” Kutipan itu mencerminkan apresiasi Sang Proklamator pada keberadaan Museum.

12 Oktober juga merupakan peringatan Tragedi Bom Bali. Tadi malam Penulis berkesempatan mengikuti acara peringatan dan doa bersama mengenang 19 tahun tragedi itu. Berlokasi di “Monumen Tragedi Kemanusiaan” di Legian, Bali; begitu banyak orang yang datang untuk berdoa dan menunjukkan simpati pada korban jiwa dari berbagai kebangsaan yang mencapai 200-an orang. Suasana hening dan khidmat mewarnai lokasi yang pada malam itu dipenuhi rangkaian bunga, lilin dan canang doa tradisional Bali.
12 Oktober sebagai “Hari Museum Nasional” sekaligus Peringatan Bom Bali mengandung beberapa catatan menarik.

Pertama, monumen sejarah didirikan bukan hanya untuk mengglorifikasi (mengagungkan) masa lalu (motif utama pendirian banyak museum), tapi juga untuk mengenang tragedi di masa lalu. Monumen Bom Bali serupa dengan monumen “killing fields” di Kamboja atau Holocaust merupakan pengingat tentang tragedi kemanusiaan yang harus terus diingat agar tak berulang di masa depan. “Historia vitae Magistra” (Sejarah sebagai Guru Kehidupan) bukan hanya menginspirasikan keteladanan masa lalu yang perlu diikuti, tapi juga mencegah berulangnya kesalahan serupa. Itulah “belajar dari pengalaman” agar kita “tak jatuh di lubang yang sama”.

Kedua, “Monumen Tragedi Kemanusiaan” di Legian yang didirikan 2 tahun sesudah peristiwa (2004) dibuat menarik, apalagi dengan air mancur dan tata lampu yang warna warni di waktu malam, menjadikannya sebagai spot favorit bagi wisatawan untuk mampir dan berfoto. Transformasi dari lokasi tragedi memilukan menjadi spot selfie dan berfoto ria menjadi inspirasi bahwa museum di Indonesiapun bisa menjadi tempat yang menarik bagi milenial. Asal ada terobosan “out of the box”.

Ketiga, dampak dahsyat dari Pandemi Covid-19. Masyarakat Bali sendiri bersaksi bahwa dampak dari Bom Bali 2002 memang memukul pariwisata Bali selama beberapa bulan. Tapi itu bukan apa-apa dibanding Pandemi selama lebih dari 1,5 tahun ini yang begitu memukul industri wisata Bali, terutama dengan ditutupnya pariwisata internasional. Museum juga sangat terpukul dengan pandemi ini. Museum yang sepi semakin menjadi kosong melompong. Inilah “titik nadir” permuseuman di Indonesia.

Jika masyarakat “jauh” dengan museum, bagaimana mewujudkan slogan “Museum di Hatiku” atau merealisasikan peringatan Hari Museum tahun ini “Bersama Museum Membangun Ketangguhan Bangsa”? Inilah PR kita bersama agar masyarakat kita menjadi “Cerdas Sejarah” dan mencegah agar “Museum tidak di-museumkan”(dianggap usang dan tidak relevan dengan masa kini).

Pandji Kiansantang, 13 Oktober 2021 di Denpasar, Bali

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This