“Kan sudah Ibu bilang, kalau pulang sekolah itu langsung bersih-bersih,” protes beliau.
Aku yang mendengarnya protes seperti itu langsung memutar bola mataku dengan malas. Masalahnya hampir setiap hari beliau seperti itu. Coba bayangkan, setiap aku pulang sekolah selalu saja ada masalah yang bisa dia protes. Kakakku saja yang berbeda 7 tahun denganku tidak pernah digubris, mau dia pulang tengah malam ataupun pagi. Aku juga ingin bebas.
“Kau ini dengar Ibu atau tidak?!” teriak Ibu.
Aku berdecak kecil.”Dengar,” balasku singkat.
Ibu menghembuskan nafas kecil, ”tidurlah sebentar, jika kau ingin. Ibu akan menyiapkan makan siangmu sebentar.”
Sebentar, apa aku salah dengar? Tidak biasanya Ibu mengijinkan aku untuk tidur dan jika ingin makan pastinya aku harus memanaskan makanan sendiri. Baru ingin membalas ucapannya, beliau mengatakan sesuatu yang singkat namun terdengar aneh.
“Ibu ingin pulang”.
Setelah itu yang aku dengar hanya suara pintu terbuka dan tertutup kembali. Aku berpikir keras maksudnya Ibu bilang seperti itu apa? Ingin pulang? Kampung halaman Ibu kan disini. ”Ah sudahlah, Ibu mungkin hanya ngelantur,” setelah itu awan-awan kecil datang menyambutku tidur. Aku tertidur kurang lebih satu jam.
Matahari sedikit turun karena jam sudah menunjukan pukul 4 sore. Dengan langkah gontai sambil mengucek mata, aku membuka pintu kamarku. Pertama kali yang aku lihat adalah Ibu yang sedang duduk di sofa dengan mata tertutup dan sambil memegang foto aku dan Abang. Aku membangunkan Ibu dengan sangat pelan,”Bu… bangun Bu.”
Ibu menyipitkan kedua matanya lalu mengusap pelan wajahnya. ”Ini sudah sampai dirumah ya?”
Ini sungguh aneh.
“Ibu ini di rumah, Ibu tertidur di sofa. Ayo ke kamar, Lyra antar,” Ibu mengangguk, sesampainya di kamar aku menyelimuti Ibu dengan selimut tipis. Ibu menatapku lalu tersenyum tipis, ”Terima kasih Anakku Lyra.. Ibu menyayangimu sampai Ibu pulang ke rumah,” ucapnya sedikit parau. Sungguh, aku pusing. Maksud dari kata “Pulang” Itu apa? Aku mengambil ponselku lalu menelpon Abangku.
“Ya Ra,” ucap Bang Ryan.
Aku sedikit menghembuskan nafas kecil, ”Anu…Ibu dari tadi bilang sesuatu yang aneh Bang,”
Ryan mengkerutkan alisnya, ”Hah? Aneh bagaimana?”, “Ibu bilang mau pulang ke rumah, lalu setelah itu Ibu bilang sayang Lyra sampai dia sampai pulang ke rumah. ”Aku menjelaskan semua dengan nada yang sedikit takut. Takut kalau Ibu sedang tidak baik-baik saja.
“Abang pulang sebentar lagi, kita bicarakan di rumah ya,” ucap Bang Ryan.
Menunggu Bang Ryan dengan makan yang Ibu masak tadi sedikit membuatku tidak terlalu bernafsu. Aku takut, semenjak Ayah meninggal, Ibu selalu murung dan bekerja keras. Ibu melarangku untuk pulang malam. Ibu benar-benar menggantikan peran Ayah. Ibu sudah jarang keluar untuk bertemu dengan teman-temannya. Apa Ibu sedang sakit? Ah tidak, sepertinya hanya perasaanku saja. Tapi aku juga mengingat bagaimana Ibu jatuh sakit setelah pemakaman Ayah, dokter bilang Ibu mengalami depresi. Ah aku benci ketika mengingat ini kembali tapi kurasa, kalian perlu tahu sedikit.
Ayah kami berselingkuh dan menikah secara diam-diam dengan wanita yang umurnya jauh lebih muda dari Ibu. Ibu yang mengetahuinya langsung terpukul. Aku? Rasanya aku ingin memukul wanita murahan itu, kalau Abang dia hanya mengasingkan dirinya dari Ayah. Lebih sakit dan kecewa saat kami mengetahui bila Ayah memiliki seorang puteri yang sudah berumur 3 tahun. Bisa kalian bayangkan bagaimana rasa kecewa yang kami alami? Saat itu aku yang berumur 15 tahun membentak wanita murahan itu dan menjambaknya. Bang Ryan menghentikanku dan membawaku pergi dari hadapan wanita itu.
Ibu sudah menahan rasa sakit yang begitu dalam. Ibu kami sudah cukup tersakiti, beliau tidak akan mau berkenalan ataupun dekat dengan pria lagi. Saat aku sedang menghabiskan minumku Abang tiba di rumah. Aku langsung menceritakan semua kronologi yang terjadi. Abang juga langsung khawatir. Kami berdua memutuskan untuk menghampiri Ibu. Baru saja membuka pintu, Ibu sudah duduk bersender. Dia menengok ke arah kami lalu tersenyum sendu.
“Anak-anakku…”
Kami mendekat, lalu Ibu memeluk kami. ”Maaf, Ibu akan memberitahu kalian satu rahasia yang sudah lama Ibu pendam,” kata Ibu yang membuat jantung kami berdegup kencang.
“Ibu…sudah lama terkena tumor otak, waktu Ibu di dunia tidaklah banyak, maafkan Ibu, ya?” ucapnya dengan senyum sendu.
“Ibu…” Bang Ryan mulai menangis. Aku masih mematung.
“Maafkan Ibu belum bisa menjadi orang tua yang baik untuk kalian. Ibu minta kalian jaga diri, Ryan…jaga Lyra, jangan pulang malam dan pagi terus ya? Kasihan Lyra…maafkan Ibu tapi Ibu sudah tidak kuat, Ibu mau pulang, ijinkan Ibu pulang ke rumah, ya?”
Setelah itu Ibu benar-benar pergi, beliau menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan kami. Aku menangis hebat sedangkan Bang Ryan memeluk Ibu untuk yang terakhir kalinya. Sekarang aku mengerti perkataan, “Ibu ingin pulang ke rumah.” Hari ini, Ibu. Hari ini, Ibu pulang ke rumah selama-lamanya.
Selamat Tinggal, Ibu. Abang Ryan dan Lyra mencintaimu…selalu.
Denpasar, 28 Juli 2021
Aqila Cancera
0 Comments