Gendam

Sep 15, 2021 | Cerpen

Hitungan Detik.
Lebih lima ribu detik dia duduk di sana. Termenung menatap lampu kota yang kian lama kian kelabu. Memudar dalam pendar. Seperti bayangan ketika akan pingsan. Samar.

Tubuhnya cukup kekar untuk ukuran remaja. Dari kejauhan nampak otot lengannya keras, terbungkus jaket tipis semi transparan. Wajahnya bersih walau tak terlalu tampan. Tapi jiwanya kosong, melayang atau tertinggal di mana, tak ada yang tahu. Jadilah tubuh atletisnya seperti balon kehabisan udara. Lemah lunglai tanpa daya.

Lebih lima ribu detik dia duduk di sana. Otaknya kerja rodi mengingat apa yang baru saja terjadi. Namun arus listrik tak juga terpercik. Pikirannya buntu. Seperti langit kota yang mulai berubah warna jadi ungu.

**
Seorang wanita paruh baya mengejutkannya. Paras cantik, bulu mata lentik, kisaran usia sama seperti ibunya.

“Dek, kamu kemana aja dari tadi? Dicariin sampai bingung orang se kampung, taunya nongkrong di sini main HP. Di rumahmu ada musibah kamunya nyantai aja. Gimana sih, Dek!”

Mata si wanita melotot tapi tetap cantik. Kalimatnya keluar berjejalan dengan nada tinggi, membuat informasi semakin susah dimengerti. Seperti tersihir, si remaja terpesona menatap matanya.

“Lah, malah bengong! Udah sana buruan pulang! Nanti keduluan makmu pingsan lagi, tambah runyam urusan.”

Si wanita memerintah tanpa memberi celah.

“Eeh.. bentar-bentar. Sini mana HPmu, biar kuhubungi dulu orang rumahmu, biar mereka nggak bingung nyari kamu lagi. Udah sana, kamu cepet pulang duluan. Aku tak beli titipan bapakmu di warung pojok itu. Nanti aku nyusul.”

Kalimat wanita masih panjang lebar dan susah dipahami. Tapi sang remaja hanya menangkap pesan pentingnya. Di rumah ada musibah, harus segera pulang.

Antara bingung, linglung, kaget, khawatir, cemas, dia mencoba menerka kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Dia berjalan setengah gontai. Ingin rasanya berlari, tapi lututnya gemetar. Seperti dua hari tidak makan.

Dia terus berjalan di atas trotoar yang masih hingar. Kendaraan tak pernah lelah lalu lalang, di kota metropolitan.

Sampai langkah keberapa perjalanan pulangnya, dia kembali terkejut. Sebuah klakson sepeda motor mengagetkannya. Si pengendara ngomel-ngomel, “Woooi.. kalo mau nyebrang pake mata dong! Main nyelonong aja!”

Dia terhenyak. Seperti bangun dari mimpi buruk. Memutar kembali memori jangka pendeknya. Sejenak terkesiap. Badannya tegak seperti tersengat. Tersadar akan musibah yang sebenarnya.

Sang remaja balik kanan. Berusaha mengejar wanita paruh baya seumuran ibunya yang bukan siapa-siapa. Sama sekali tak dikenalnya. Wajahnya kian pucat. Keringat mengucur lebat. Dadanya naik turun. Logikanya balapan dengan emosi yang mendominasi.

**

Entah ini sudah detik keberapa ribu. Dia masih duduk terpaku. Ingin pulang tapi takut sapu melayang. Ibunya pasti tak cuma marah, bisa-bisa kalap jika tau musibah yang terjadi dalam hitungan detik.

Di sudut perempatan depan gereja, lalu lalang orang dan kendaraan tak menghiraukannya. Dia sampai di satu kesimpulan.

Dia digendam.

Malang, 130921

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This