Fitnah Diri dan Elektabilitas Politik

Dec 10, 2021 | Opini

Tahun 2024 masih jauh, tapi suhu politik sudah mulai meningkat. Kontestasi kandidat presiden sudah mulai terasa kembali.

Dalam sistem demokrasi politik ultra liberal semacam Indonesia saat ini, tiap-tiap kandidat biasanya akan sibuk lakukan promosi diri.

Promosi diri yang dilakukan bermacam-macam. Ada yang memasang baliho foto diri besar-besar, membuat biografi, sosialisasi diri melalui sosial media, ekspos prestasi program dan lain lain.

Disadari atau tidak oleh masyarakat, selama ini ada juga yang terapkan strategi fitnah diri (self-slander), yaitu lakukan fitnah terhadap diri sendiri dengan tujuan untuk menggenjot popularitas dan diharapkan menaikkan elektabilitas diri.

Dalam model strategi ini, seorang calon presiden akan mendesain strategi dengan menciptakan aktor antagonis di luar dirinya yang akan bertugas melakukan celaan, caci maki, umpatan, mengunjingkan calon presiden sebagai tokoh protagonis.

Strategi ini cukup menarik karena akan lebih mudah untuk mendapatkan respon cepat dari masyarakat. Respon ini akan meningkat cepat bilamana isu yang diangkat itu menyangkut isu sensitif di masyarakat.

Dalam fitnah-diri ini, tokoh protagonis akan bertindak sebagai korban fitnah. Padahal sebetulnya dia sendiri yang sedang merancangnya bersama tokoh antagonis.

Isu yang diangkat juga harus berkesesuaian dengan karakter yang melekat pada dirinya. Tidak semua orang cocok untuk semua isu.

Sebut misalnya, masyarakat Indonesia ini sensitif terhadap isu komunisme. Jadi pengembangan tuduhan bahwa sang tokoh itu bagian dari anggota keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI) tentu harus disesuaikan dengan karakter dan latar belakang tokoh protagonis.

Seorang kandidat presiden M tentu tidak cocok untuk isu komunisme apabila dia berlatar bekakang sebagai Pimpinan Nadhatul Ulama (NU), dan seorang muslim taat. Tapi sebaliknya, J yang berlatar belakang seorang muslim sekuler atau abangan akan lebih cocok.

Dalam desain strateginya, fitnah diri ini biasanya dimulai dari propaganda pamflet dengan sumber abu-abu, melalui desas desus isu dikembangkan aktor antagonis dan dinaikkan terus melalui berbagai media terutama sosial media.

Begitu isu direspon masyarakat dan eskalasinya meningkat maka tokoh protagonis akan bermain sandiwara sebagai korban. Dia mungkin hanya akan mereaksi dengan landai untuk tunjukkan sikap “bijak” agar dapat simpati masyarakat.

Jadi isu yang diangkat selain harus berkesesuaian dengan sang tokoh juga harus ada strategi media propagandanya yang pas serta kendali eskalasi isu. Kerja-kerja yang dilakukan sifatnya klandestin, di bawah tanah.

Wahai para bakal bakal calon presiden Indonesia, sudahkah anda siapkan strategi memfitnah diri sendiri?. Jangan sampai salah isu karena bisa gatot, gagal total!.

Jakarta, 7 Desember 2021

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This