Esensi Bubuk Kopi

Dec 11, 2021 | Cerpen

“Masih ada Tuhan di atas sana. Ingat, kamu tidak sendiri. Namun, kamu harus beradaptasi, sebab dunia tak selamanya teduh.”

Ucapan itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Masuk ke pelosok telinga. Lantas, diputar berulang-ulang di dalam sana. Suara serak-serak basah yang biasanya renyah untuk didengar. Kini membuatku sedikit bergidik ngeri. Menyergap dalam rasa panik.

Namun, cepat atau lambat, sementara atau selamanya. Aku bisa mencerna dengan baik kalimat itu.
Terima kasih, Kakek.

**
“Baiklah, pertemuan hari ini sampai di sini saja. Jaga kesehatan kalian selalu. Wassalamualaikum …” Video conferensi hari ini selesai lebih cepat dari biasanya.

Lebih dari sepekan lalu, bukan sepekan lalu, lebih tepatnya lebih dari setahun yang lalu. Pandemi menyergap seluruh penjuru dunia. Pendidikan harus terhambat. Mengharuskan pembelajaran dilaksanakan secara online. Meski semuanya terasa lambat, tapi inilah kehidupan saat ini. Hendak mengingkarinya sudah tak kuasa. Munafik.

“Syukurlah tidak ada tenggat tugas terdekat. Aku bisa merebahkan diri sejenak,” gumamku seraya menjentikkan jari.

Seseorang menarik tuas pintu kamarku. Terbuka. Menampilkan seorang wanita kepala dua tengah berdiri di depan sana, Kakakku.

“Kamu dipanggil Ayah, suruh turun,” ujarnya dengan raut wajah datar. Bola matanya yang bulat menatapku tajam.

Membuatku menghela napas dan segera bangkit dari tempat tidur. Melintasi bingkai pintu. “Ada apa, Yah?” Aku menghampiri pria paruh baya yang tengah duduk di teras sembari membaca koran.

Lelaki itu mengalihkan netra padaku. “Duduk sini, Nak. Ayah mau ngomong sesuatu sama kamu.”

“Mau ngomong apa, Yah? Teramat penting, kah?”

“Begini, Nak. Janji kamu jangan terkejut, ya?” Ayah mengatakan itu dengan tersenyum.

Kedua matanya sayu. Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku mengangguk patah-patah.

“Kantor Ayah baru saja menelepon. Bos perusahaan mengatakan bahwa beberapa karyawan harus dirumahkan terlebih dahulu. Mengingat penyebaran virus ini terus melonjak,” suara Ayah parau.

Tiga lekuk kerutan terbentuk di dahiku, “Lantas?”

“Ayah juga turut dirumahkan. Entah sampai kapan. Ayah belum tahu pasti. Selama itu terjadi, Ayah juga tidak akan menerima gaji dari perusahaan. Karyawan yang dimasukkan adalah anak- anak muda. Jadi, mungkin kita harus berhemat sampai perusahaan memasukkan Ayah kembali,” ujar Ayah.

Aku tertegun. Bibirku terkunci rapat.

“Kamu bisa, kan, berhemat untuk sementara waktu? Ayah juga akan menurunkan kualitas internet wifi bulan ini,” lanjutnya.

Melihat kedua matanya yang sayu. Aku juga tidak akan pernah berkata ‘tidak bisa’.

Aku menggeleng, “Berhemat? Sekolah secara jarak jauh butuh biaya lebih, Yah. Jaringan internet dan fasilitas lainnya. Aku juga butuh tambahan belajar. Banyak hal yang tidak bisa aku pahami dari metode sekolah ini. Kenapa aku harus ikut berhemat?”

Astaga, aku tidak akan pernah mengatakan itu. Terdiam sejenak sembari mengolah kata-kata di dalam pikiranku. Separuh hatiku memang menentangku untuk mengangguk sepakat dengan permintaan Ayah, tetapi separuh hatiku yang lain mendukungku untuk mengangguk saja.

“Iya, Yah. Aku bisa berhemat. Ayah jangan khawatir soal itu. Liburkan dulu guru les private- ku juga tidak apa-apa, Yah. Aku bisa belajar sendiri,” tukasku mantap. Melukiskan senyuman lebar agar Ayah tidak merasa bersalah.

Ayah menghela napas. “Maafkan Ayah harus melibatkanmu dalam situasi sulit ini, Nak.” Kedua mata Ayah tertunduk.

Aku menggeleng. Menggenggam salah satu tangannya. “Nggak, Yah. Nggak apa-apa. Aku yakin Ayah sudah melakukan yang terbaik. Lagi pula semua yang kubutuhkan sudah ada di rumah ini. Hanya tinggal bagaimana aku mengolahnya.

“Ayah nggak usah kebanyakan mikir. Itu malah membuat aku nggak nyaman. Percaya, berdoa, dan berusaha. Kita bisa melewati semua ini.” Sekali lagi, aku melukiskan senyum.

Semoga perkataanku benar.

**

Selang seminggu berlalu. Semuanya terasa berat.

Kedua mataku berputar, lalu terkunci pada atap kamar. Kapan semua ini akan berakhir?

Bisakah aku melewatinya?

“Anjang!” teriakan Ibuk terdengar jelas, masuk ke dalam lorong telingaku. Gawat. “Anjangsana Putra Dewangga!”

Aku bangkit dari kasur. “Iya, Ibuk. Anjang datang.” Kalau Ibuk sudah memanggil dengan nama lengkap, itu tandanya tidak bisa diganggu gugat.

“Ada apa, Ibuk? Anjang baru saja selesai sekolah,” ujarku seraya berjalan mendekat. Mendapati Ibuk tengah duduk di atas sofa, mengenakan setelan daster. Matanya terkunci pada televisi yang menyiarkan sinetron kesukaannya.

Ibuk beranjak dari tempat duduknya, mengambil kantong plastik berwarna hitam. “Antarkan
ini!”

Aku mengangguk sepakat, mengabaikan perasaanku yang tengah gundah gulana. “Ke mana,
Buk?”

“Rumah Nenek Ami. Ini pesenan catering beliau. Nenek Ami tinggal sendirian, anak- anaknya menitipkan urusan makanan ke catering Ibuk,” ujarnya.

“Eh? Anak-anaknya yang S3 semua itu?” celetukku.

Ibuk mengangguk. Kantong plastik di tangannya beralih ke genggamanku. “Iya, anak- anaknya yang udah pada lulus S3. Begitulah mayoritas sekarang. Pekerjaan dinomorsatukan, tetapi urusan mengasuh orang tua dinomorsekiankan. Meski orang tua bilang “Kejar masa depanmu saja, Nak,” itu tidak berarti seorang anak lalai terhadap mengasihi orang tua.”

Aku termangu mendengar celotehan Ibuk. Selain jago bermain pisau, mulut Ibuk itu sama tajamnya dengan pisau yang terasah. Menusuk, tapi ada benarnya.

Realita sekarang, memang begitu.

“Yasudah, Buk. Anjang pergi dulu. Mumpung belum hujan. Anjang bawa sepeda kayuh, ya,” ujarku berpamitan. Mencium tangan Ibuk dan segera mempercepat langkah, pergi.

“Hati-hati.”

**

Sepersekian menit lalu, misi dari Ibuk sudah kuselesaikan. Aku meninggalkan halaman rumah Nenek Ami. Memang seperti Ibuk tadi, Nenek Ami tinggal sendirian. Beliau memintaku duduk sejenak menemaninya makan.

“Tidak enak makan kalau tidak ada temannya.” Begitu katanya tadi. Apa boleh buat, menolak pun terasa durhaka.

Aku menutup pagar bercat biru itu. Masih baik warnanya biru. Jika hitam, mungkin orang yang sekelebat lewat di depan rumah Nenek Ami akan mengira rumah itu kosong. Berhantu. Padahal ada wanita kepala tujuh tengah tinggal sendirian di dalam sana, menghabiskan hari-harinya dengan duduk menonton televisi.

Kunaiki sepeda yang kubawa dari rumah tadi. Jarak rumah kami cukup jauh jika dilalui dengan berjalan kaki. Bersepeda pun pegalnya terasa. Atau karena aku akhir-akhir ini jarang gerak?
Sepanjang mata memandang, awan gelap mulai menggumpal di atasku. Aku mempercepat kayuhan sepedaku. Namun, kehendak Tuhan lebih cepat dari usahaku. Air hujan turun dengan sangat cepat, langsung deras.

“Astaga. Baru juga setengah jalan.” Aku memutuskan menepi ke bibir jalan. Tepat di depat rumah dengan kanopi menutup hingga ke depan pagar.

Dingin.

Angin bertiup kencang, membawa tempias air hujan. Aku bersandar ke pagar di belakangku.

Eh? Tidak dikunci? Pagar itu terbuka selepas mendapat sedikit dorongan dari punggungku.

Hujan semakin deras. Aku memutuskan masuk, membawa sepeda kayuhku ikut bersamaku. Aku menuntun sepeda itu melewati jalan bebatuan yang menyibak halaman penuh dengan rumput.

Apakah rumah ini berpenghuni?

Seolah langsung menjawab rasa penasaranku. Asap mengepul dari cerobong rumah.

Sepertinya itu dari dapur.

“Siapa di sana?” suara serak-serak basah itu melintas masuk ke pendengaranku. Aku reflek mengalihkan netra menuju sumber suara. Mendapati seorang pria paruh baya sekitar kepala 8 tengah berdiri persis di teras rumah. Berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri mematung membawa sepeda kayuh di samping.

“Eh? Silakan masuk, Anak Muda!” Lelaki tua itu melambaikan tangan padaku. Pikiranku berkeliaran ke mana-mana.

Rumah yang ditumbuhi semak-semak belukar ini menambah atmosfer mengerikan dalam imajinasiku. Apa ini salah satu bentuk kejahatan?

“Hujan masih deras. Mari berkunjung! Apa Kakek tua seusia saya akan menyiksamu di dalam rumah?” Pria itu membujukku.

Benar juga. Lebih baik membuat sugesti positif terlebih dahulu. Siapa tahu niat beliau baik. Aku menyandarkan sepeda kayuhku di dinding paling dekat dari tempatku berdiri.

Melangkah masuk ke dalam rumah, mengikuti Kakek itu.

“Silakan duduk. Rumah saya sederhana. Tidak ada yang unik dari rumah seorang pria berkepala enam yang tinggal sendirian,” ujar beliau merendah.

Padahal banyak lukisan antik di sepanjang mataku, itu baru di ruang tamu. Eh, lukisan Ki Hajar Dewantoro?

“Sembari menunggu hujan reda. Apa kamu tidak mau memulai percakapan dengan saya?” Kakek itu melontarkan pertanyaan dengan sedikit bumbu lelucon menggoda.

Aku meringis.

“Em … saya belum pernah melihat Kakek di kompleks ini sebelumnya. Eh, atau mungkin main saya yang kurang jauh,” ujarku memulai percakapan.

Kakek itu terkekeh, “Saya lebih setuju dengan kalimat kedua.” Tawanya semakin membesar, renyah di telinga. Aku ikut tertawa kecil.

“Saya Sujono. Kakek Sujono. Anak muda ini namanya siapa?”

“Eh, saya Anjangsana Putra Dewangga.” Aku mengangguk dalam sebagai tanda rasa hormat.

Kakek Sujono mengangguk. “Masa-masa seperti ini berat, bukan? Apalagi bagi kalian generasi penerus bangsa.”

“Sangat berat, Kek.” Lagi-lagi aku hanya meringis.

“Semuanya terserang oleh pandemi ini. Ekonomi melemah, pendidikan terhambat, politik tidak karuan. Di awal dulu banyak demo, bukan? Menyerang pemerintah yang katanya tidak tanggap dalam menangani masalah pandemi ini. Mengapa demikian?”

Aku tersentak. Pembicaraan tidak berarah ini mulai berbobot. Kakek Sujono yang membuatnya berbobot.

“Masyarakat saat itu tengah mencari target pelampiasan. Namun, apa boleh buat, ini yang bisa dilakukan. Bertahan. Tapi, apa kamu tahu, Anak Muda? Bahwa bukan hanya ekonomi saja yang menunjukkan kemiskinan di pandemi ini. Kemiskinan di dunia milenial juga ada,” celoteh Kakek Sujono.

Tiga lekukan di dahiku terbentuk. “Maksudnya, Kek?”

“Miskin moral. Lihat zaman sekarang, banyak anak-anak yang tidak bertuah. Mengagung- agungkan bahwa mereka adalah yang paling benar karena memiliki wawasan, tetapi yang luput adalah mereka jarang punya etika. Menghargai orang lain saja belum tentu bisa. Apatis.”

Aku tersentak, tetapi kurasa aku juga sepakat. Ada benarnya.

“Tidak heran kalau banyak anak muda zaman sekarang yang tertimpa musibah sedikit saja sudah menyerah. Apalagi musibah sebesar pandemi ini. Banyak yang gugur, bukan? Apa yang mereka salahkan?” Kakek itu menyeletuk.

Otakku berputar, tetapi tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya.

“Kondisi. Ada orang pintar yang bilang, ‘Usianya masih muda, tapi malas-malasannya seperti orang pensiunan.’ Kamu tahu itu siapa?” tukas Kakek di depanku.

“A-anak muda zaman sekarang, Kek?”

Kakek itu menelan seteguk kopi hitam miliknya sebelum menjawabku, “Inggih leres. Benar sekali.”

“Kalau Kakek analogikan begini, hidup itu seperti meneguk kopi hitam ini. Kelihatannya memang pahit. Namun, masih ada manis-manisnya kalau kita berusaha menambahkan gula dan meraciknya dengan pas. Jadi yang perlu dimengerti bahwa hidup selalu berlaku adil bagi siapa pun mereka yang berusaha.

Kamu tahu, sebelum menjadi kopi yang siap diminum. Ini berbentuk apa?” “Bubuk kopi, Pak?” Aku mengernyitkan dahi.

“Tepat sekali! Bubuk kopi bisa berubah menjadi kopi, setelah diseduh dengan air panas. Semakin panas airnya, semakin sempurna bubuk kopi larut menjadi minuman kopi yang nikmat. Bayangkan jika diseduh dengan air biasa, pasti mereka tidak akan larut dengan sempurna, bukan? Ibaratkan saja air panas yang menerpamu saat ini adalah cobaan-cobaan hidupmu. Entah itu rintangan yang kamu hadapi dalam menimba ilmu atau masalah keluarga dan sebagainya.”

Sekali lagi, aku menangkap maksud Kakek itu.

Netraku terarah pada hiasan dinding di ruang tamu Kakek itu yang bertuliskan, “Meski kedua kakiku telah direnggut. Aku masih punya napas. Tekad akan membawaku lanjut. Mengikuti alunan kehidupan dan skenario terindah yang telah Engkau buat, Tuhan. Aku tidak akan hancur semudah ini” Sedetik setelahnya tulisan itu berhasil membuatku terpukau.

Hujan mereda. “Eh, hujan sudah berhenti. Maaf, saya pulang dulu boleh, ya, Kek?”

Kakek itu mengangguk. “Anjangsana, ingat pesan saya. Hidup tidak berhenti. Meski pandemi tenga menjajah, tetapi pendidikan bukanlah penjara. Orang tidak pintar belum tentu sengsara, tapi orang tanpa etika tidak akan terarah. Kamu harus temukan tempat teduh versimu di dunia yang terik ini. Masa depan tengah mengajak kita bertaruh. Kuatkan pundakmu, kita harus berani.”

Aku mengangguk mantap dan tersenyum pada Kakek Sujono. Lantas melangkah pergi.
Mengayuh sepeda beroda dua itu, meninggalkan komplek rumah Kakek Sujono.

**

Keesokan harinya.

“Anjangsana!” Ibuk memanggil namaku. Aku bersemangat menghampirinya. “Nganter catering lagi, Buk?” Aku tersenyum riang.

Ibuk keheranan. “Kenapa kamu seneng banget?”

“Anjangsana boleh minta satu porsi dikemas kayak punya Nenek Ami nggak, Buk? Buat Kakek Sujono. Kemarin beliau ngasih tempat neduh buat Anjangsana.” Kedua mataku berbinar- binar.

Ibuk mengernyitkan dahi, terdiam beberapa saat. “Kakek Sujono?” Aku mengangguk.
“Rumah blok C-6?”

“Eh, iya. Ibuk kenal?”

Wajah Ibuk pucat. “Beliau adalah guru yang meninggal karena kekerasan dari muridnya sendiri. Kejadian itu sudah dua puluh tahun lalu.”

Deg! Aku menatap Ibuk datar. Air mukaku ikut pucat saat ini.

Lalu, kemarin itu apa?

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This