Oleh: Neneng Ratnika
Pagi cerah berselimut udara sejuk dan segar. Embun pagi masih menempel di dedaunan teh. Embun itu membuat daun-daun tampak berkilauan tertimpa sinar mentari laksana kilau berlian. Sejauh mata memandang petak-petak kebun teh tampak laksana hamparan permadani hijau nan empuk. Sekelilingnya berpagar barisan pegunungan biru tua dan pepohonan rindang. Sementara itu hamparan langit biru berhiaskan awan gemawan putih bersih berarak memayunginya berpadu pula dengan kepulan asap putih geotermal.
Di sini terdapat pula jembatan kayu dilengkapi dengan menara pandang untuk meneropong keindahan alam sekitarnya. Siapa yang tahan untuk tidak mengabadikan semua keindahan di setiap sudut tempat ini? Inilah Wayang Windu, Panenjoan. Salah satu tempat wisata indah dan eksotis di desa Banjarsari, Pangalengan, Kabupaten Bandung yang telah ada sejak 2019 lalu.
Wayang Windu Panenjoan merupakan bagian dari perkebunan Kertamanah dengan luas 13 hektar. Hanya dengan membayar tiket Rp10.00 setiap orang, kita sudah bisa menikmati keindahan panorama alam di setiap sudut tempat ini, bahkan di sore yang cerah kita juga dapat menikmati sunset di ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut ini.
Jangan khawatir, jika kita lapar di sini juga terdapat tempat-tempat penjual makanan. Mulai dari makanan berat berupa nasi beserta lauk pauknya juga minuman hingga beberapa jajanan seperti gorengan dadakan dan camilan lainnya. Semua makanan dan minuman itu dijual dengan harga bersahabat.
Dengan menempuh jarak sekitar 58 Km dari Kota Bandung dalam waktu tempuh sekitar 2 jam, kami sampai di lokasi. Patokannya, bundaran Pangalengan lalu belok kiri. Sekitar 9 km dari situ kemudian masuk melewati gerbang perkebunan teh PTPN VIII Kertamanah. Namun, kita juga mesti berhati-hati. Sebab, sekitar beberapa ratus meter menuju lokasi yang dituju, kita akan melewati jalanan berbatu yang cukup terjal dan menanjak.
Kiranya infrastruktur yang kurang mendukung tersebut perlu segera ditanggulangi, sebab sangat mengganggu perjalanan terutama bagi yang menggunakan kendaraan beroda empat atau kendaraan umum seperti bus. Sementara animo masyarakat dari dalam maupun luar Bandung, bahkan dari daerah lain semakin meningkat untuk menikmati panorama Wayang Windu Panenjoan, terutama saat akhir pekan atau di hari libur nasional.
Setelah puas bermesraan dengan eksotis Wayang Windu Panenjoan, perjalanan kami berlanjut ke tempat yang berjarak sekitar 13 km dari tempat ini atau 45 km dari kota Bandung. Tujuan kami kali ini bertandang ke rumah seorang Meneer di zaman Belanda yang lebih dikenal dengan julukan “Raja Teh Priangan” (tahun1896). Rumah Bosscha namanya.
Sepanjang perjalanan lagi-lagi kami disuguhi panorama elok berupa hamparan tanaman teh yang menghijau. Kali ini Perkebunan Teh Malabar yang kami lalui. Katanya perkebunan yang berada di ketinggian 1.550 meter dari permukaan laut tersebut merupakan surga di ketinggian cekungan Bandung.
Perkebunan Teh Malabar juga merupakan perkebunan teh tertua di Pangalengan yang diprakarsai oleh pemilik rumah yang akan kami datangi. Setelah itu bermunculan pula perkebunan-perkebunan lainnya, seperti Kertamanah yang kami kunjungi tadi, Pasir Palang, Purbasari, Santosa, Talun, dan Sedep.
Setelah berkendaraan sekitar setengah jam dari Wayang Windu Panenjoan tadi atau 5 menit dari Perkebunan Teh Malabar, kami pun sampai di sebuah pintu gerbang yang dijaga petugas keamanan. Sebelum dipersilakan masuk kami mesti membayar tiket Rp5.000 untuk setiap orang.
Setelah memarkir kendaraan, kami pun menyusuri jalanan setapak yang dipasangi paving blok. Suasana romantis mulai terasa saat memasuki pekarangan rumah berarsitek Belanda tahun 1896 yang diberi nama Rumah Bosscha itu. Pepohonan rindang tampak di seputar rumah. Terdapat pula sebuah taman asri di halaman samping kiri dan lapangan rumput hijau nan apik di halaman samping kanan. Di sekitar teras depan terdapat pula pot-pot yang ditanami tanaman berdaun lebar seperti kuping gajah. Sayang, pintu depan terkunci sehingga kami mesti memutar melalui pintu belakang.
Bisa dibilang kami ini tamu yang kepo alias banyak keingintahuannya tentang kediaman beserta Meneer sang pemilik rumah. Kami telusuri pula setiap sudut rumahnya dengan penuh keingintahuan dari ruang tamu hingga ke ruang bawah tanahnya.
Di atas dinding menuju ruang tengah, terpasang potret hitam putih. Di situ terpampang wajah lelaki gemuk berkumis tengah tersenyum simpul. Dialah Bosscha yang banyak menghabiskan waktunya di rumah ini selain berkeliling mengontrol perkebunan tehnya.
Karel Albart Rudolf Bosscha, demikian nama lengkap pemilik rumah ini. Bosscha lahir di Gravenhage pada 15 Mei 1865. Saat pertama kali tiba di Hindia Belanda pada 1887, pemuda berusia 22 tahun itu bekerja di perkebunan pamannya, Edward Julius Kerkhoven, di Sukabumi, Jawa Barat.
Setelah 9 tahun Bosscha bekerja di pamannya, lalu dia pun memprakarsai berdirinya Perkebunan Teh Malabar. Di situ Bosscha menjabat sebagai administrator (direktur utama). Setelah menjabat direktur utama selama 32 tahun, Bosscha pun sukses mendirikan dua pabrik teh yang produknya mampu bersaing di mancanegara. Sehingga, beberapa produk teh Malabar terutama teh hitamnya kini dapat dijumpai pula di Eropa. Keberhasilannya itu membuat Bosscha dijuluki “Raja Teh Priangan”.
Produk teh unggulannya dihasilkan melalui proses oksidasi sempurna sehingga menghasilkan teh yang khas baik rasa maupun warnanya.
Satu hal penting yang perlu dicatat di sini, sosok Bosscha adalah seorang dermawan dan pecinta ilmu pengetahuan. Sebagian hasil perkebunan lelaki berkumis ini disumbangkan ke berbagai yayasan. Di antaranya untuk membiayai pembangunan Technisce Hogeschool Bandung atau ITB sekarang, Sosieteit Concordia atau Gedung Merdeka, Sekolah Luar Biasa Cicendo, dan pembangunan Observatorium Peneropongan Bintang yang dinamai sesuai namanya, Bosscha, di Lembang.
Setelah mendapat informasi perihal pemilik rumah, kita lanjutkan lagi tur seputar Rumah Bosha. Beberapa properti dari abad ke-18 dan 19 tertata rapi di ruang tengah. Sebuah sofa antik, sebuah meja kayu bundar dan meja persegi panjang bertaplak meja kain yang dilapisi plastik terdapat pula di situ. Sebuah lampu gantung dengan kapnya terbuat dari jalinan kayu terpasang juga di atas meja persegi panjang. Di ruangan ini terdapat pula sebuah perapian yang bagian atasnya disimpan beberapa miniatur wayang golek dan bangunan makam Bosscha.
Sebuah lukisan pemandangan tergantung pula di dinding atas perapian tersebut. Sementara di sudut ruang perapian terdapat pula sepasang angklung serta sepasang kaca lonjong yang dari situ kita bisa mengintip keluar melihat pemandangan di balik dinding ruangan tersebut. Seperangkat kursi makan lengkap dengan meja makannya yang bertaplak putih turut hadir di ruang tengah yang merangkap ruang keluarga dan ruang makan itu.
Tak ketinggalan pula di ruang tengah ini terdapat sebuah piano Zeitter & Winkelmann buatan 1837. Menurut penjaga rumah, piano tersebut masih bisa dimainkan dan suaranya pun masih terdengar baik.
Lewat pintu-pintu berkaca persegi di ruang tengah kita pun bisa melihat hamparan lapangan rumput yang hijau di halaman samping serta bangunan memanjang yang dijadikan sebagai penginapan.
Kini kami beralih ke ruang tamu. Di situ terdapat seperangkat kursi tamu lengkap dengan beberapa meja bundar yang merupakan meja saji. Melihat banyaknya kursi tamu beserta meja sajinya bisa diperkirakan tuan rumah sering menerima dan menjamu banyak tamu. Sebuah lampu sudut kuno dan bufet-bufet jati turut mengisi sudut ruangan itu.
Kini kami kembali ke bagian belakang rumah yang tadi belum sempat kami eksplor saat pertama masuk. Di sini terdapat dapur, sebuah dispenser kuno tampak pula di sudut dapur.
Tempat lain yang menarik perhatian kami adalah ruang bawah tanah. Setelah kami menuruni beberapa anak tangga tembok, sampailah kami di sebuah ruangan. Rupanya ini merupakan ruang biliar. Di sini terdapat meja biliar kayu lengkap dengan tongkatnya dan beberapa bolanya pula. Tampaknya usia perlengkapan biliar itu cukup tua demikian pula sepasang kursi panjang kayu di ruangan itu yang merupakan tempat duduk penonton. Di situ juga terdapat sejumlah pesawat televisi tabung yang tidak terpakai lagi.
Menurut penjaga rumah, ruang bawah tanah tersebut juga sempat menjadi tempat evakuasi penduduk sekitarnya saat terjadi gempa bumi beberapa tahun lalu.
Puas sudah kami berkeliling mengitari setiap sudut ruangan di Rumah Bosscha. Saatnya kami pun berpamitan pulang kepada penjaga rumah. Kami keluar melalui pintu belakang rumah seperti saat kami masuk tadi.
Eit, masih ada satu pemandangan menarik di halaman belakang rumah. Di sini terdapat beberapa bangunan yang arsiteknya berbeda dengan Rumah Bosscha. Sepertinya pondok-pondok tersebut terhitung baru jika dibandingkan bangunan inti di tempat ini. Ternyata itu adalah penginapan yang sengaja dibangun untuk disewakan. Pondok yang terdiri dari dua kamar itu pada hari biasa dibanderol dengan harga sewa Rp400.000 setiap malamnya. Sedangkan pada hari libur biaya sewanya Rp650.000.
Demikian perjalanan kami ke dua tempat eksotis di Pangalengan. Apakah Anda tertarik juga berkunjung ke tempat yang kami kunjungi ini? Semoga saja menjadi pilihan tepat untuk mengisi liburan Anda.
0 Comments