Doa

Aug 23, 2021 | Opini

Sebagai pengamal Tasawuf dalam tradisi Islam sejak 12 tahun lalu, kadang saya suka heran ketika beberapa guru ngaji saya menganjurkan amalan dzikir ini dan itu, sebelum tidur. “Kenapa harus sebelum tidur?” begitu kata saya dalam hati. Karena saya maklum betul dalam adab guru-murid dalam laku spiritual, yang penting lakukan dan amalkan, nggak usah banyak nanya. Namun oleh perkembangan waktu, semesta sendiri yang sedikit2 membuka tabirnya kepada saya, meski melalui jalan menyamping dan memutar.

Baru-baru ini baca buku Richard J Foster bertajuk: Prayer: Finding the Heart’s True Home, bahwa doa itu juga harus mengingat keinginan-keinginan alam bawah sadar selain memohon keinginan-keinginan yang kita sadari dalam keadaan terjaga.

Maka kata Foster, berdoalah terus-menerus baik saat sadar dan terjaga maupun saat mau tidur. Orang yang mencapai keadaan ini, lanjut Foster, sejatinya bukan sekadar berdoa, melainkan “didoakan”. Konteks dari didoakan ini bukan didoakan orang lain, melainkan suasana penuh doa yang bukan saja merasuki alam sadar melainkan alam bawah sadar, termasuk ketika tertidur dan bermimpi.

Doa bagi masyarakat modern sekarang ini, kerap diartikan sebagai aktivitas yang erat kaitannya dengan rasionalitas dan kesadaran sewaktu terjaga, melalui perantaraan bahasa. Padahal kata Forester, doa itu sejatinya meski jauh di mata, namun dekat di hati.

Berarti kalau saya selami dari pandangan ini, berdoa juga harus memberi ruang pada alam bawah sadar kita untuk mewujudkan agenda-agendanya melalui diri kita. Maka anjuran para guru ngaji saya agar jangan lupa berzikir atau bersholawat jelang tidur, nampaknya jadi sangat masuk akal.

Pandangan ini sepertinya sejalan dengan psikolog Gustave Jung, yang mengatakan bahwa dorongan manusia ke arah keutuhan dan kesatuan dengan Yang Mutlak, merupakan sifat dari doa. Thus artinya, bersifat spiritual. Bukan sesuatu yang rasional dan di alam sadar. Dan keadaan doa yang paling mendasar, lanjut Jung, perasaan bahwa seseorang ditarik menuju sesuatu yang lebih tinggi, lebih besar, dan lebih dalam.

Berzikir dan bersholawat baik dalam keadaan terjaga maupun jelang tidur, meski tak ada permintaan khusus pada Allah Swt, dan hanya afirmasi pada sifat-sifat Allah, maupun bersholawat salam kepada Kanjeng Rasul Muhammad, bisa menyelaraskan keinginan sadar dan apa yang di alam bawah sadar.

Gambaran yang disampaikan psikolog Lawrance LeShan kiranya patut direnungkan. “Kejadian kebetulan mempunyai tangan yang amat panjang dan hal-hal yang tak terduga pun seringkali terjadi”.

Pertanyaan pentingnya di sini, benarkah hal itu semata-mata karena kejadian kebetulan? Mungkinkah hal itu merupakan buah dari suasana doa yang terbangun saat kita berzikir dan bersholawat baik saat terjaga maupun saat jelang tidur?

Inilah yang kerap diabaikan oleh orang-orang modern, apapun agamanya. Ketika berdoa, hakekatnya juga dalam suasana didoakan, artinya dikuasai oleh doa. Atau berada di dalam kekuatan medan doa (spiritual).

Dalam suasana demikian, tak jarang kita suka terkejut oleh timbulnya suasana kebetulan, yang kelak membawa perubahan hidup kita yang tak terduga. Termasuk keinginan-keinginan kita terwujud padahal tidak secara lisan kita bermohon.

Kerja alam bawah sadar yang kemudian mewujudkannya jadi kenyataan pada diri kita, dan menghasilkan peristiwa-peristiwa kebetulan, sejatinya merupakan resonansi keinginan-keinginan terpendam atau tak terkatakan dari diri kita selama ini sebagai organisme hidup, yang lantas kemudian direspon oleh lingkungan alam maupun lingkunan sosial.

Jakarta, 31 Juli 2021
Hendrajit

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This