Pada Senin 20 September 2021, Prof. Fauzul Iman, mantan Rektor UIN Banten menulis Kolom Hikmah di Harian Republika, “Daun Jatuh Pun Tuhan Tahu.” Spontan saya berpikir, adakah orang Indonesia yang notabene mengaku berketuhanan Yang Maha Esa, menyangkal statemen tersebut?
Di sana Fauzul Iman mengutip ayat Al-Quran surat al-An’am/6:59:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia Sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) …
Ayat tersebut menyingkap kebesaran Tuhan dalam mentransendensi alam di satu sisi dan menunjukkan kelemahan manusia yang harus melakukan pembelajaran diri. Daun jatuh tak luput dari intaian Tuhan untuk pembelajaran manusia.
Pertama, pada diri Tuhan terhimpun kuasa yang tak dapat ditandingi oleh siapa pun. Peristiwa yang terjadi kini maupun kelak, hanya Tuhan yang mengetahui dan menetapkannya. Ketika detik ini (seorang) manusia dipuja meraih kedudukan, detik yang berbeda terjatuh bagai daun disapu angin kesengsaraan.
Pertanyaan kritisnya, apakah ketetapan Tuhan sama-dan-sebangun dengan pengetahuannya?
Kedua, teladanilah Tuhan Yang Mahateliti melihat sesuatu betapa pun kecilnya. Tidak gegabah memberi keputusan, karena mengenali yang besar dan yang kecil. Pertanyaan kritisnya, beda dari Tuhan, mampukah manusia merencanakan segala sesuai sedetail-detailnya dan merealisasikan semuanya dengan saksama?
Ketiga, manusia perlu belajar dari kelemahan daun yang tidak selamanya segar. Manusia tak boleh arogan dengan gelar, posisi, dan kejayaan yang diraih hari ini, karena pada saatnya akan seperti daun, jatuh terguncang angin dan kering tersengat matahari.
Pertanyaan kritisnya, maukah manusia mengendalikan diri dari keinginan untuk tetap bertahan pada posisinya walaupun ia menyadari hal itu akal menerjang pagar konstitusi?
Prof. Azyumardi Azra pun merespons demikian. Ustadz, ini perdebatan yang belum selesai di kalangan mutakallimun (teolog Muslim) faylasuf (para filosof); apakah Tuhan tahu ‘kulliyat’ (global) atau ‘juz’iyat’ (rinci).
Atau Tuhan membuat ‘sunnatullah’ (iron law of nature) secara kulliyat, yg menjadikan hal ihwal ‘juz’iyat’ berjalan secara alamiah, tanpa ‘menyibukkan’ atau ‘merepotkan’ Tuhan.
Saya pun menimpali, Tuhan tahu segala yang terdetik dalam kalbu, tapi Diakah yang mendetikkannya?
Antara pengetahuan Tuhan yang kulliyat dan juz’iyat; antara jabariyah (pandangan teologi bahwa perbuatan manusia serba ditentukan Tuhan) dan qadariyah (manusia mampu menentukan pilihan perbuatannya).
Prof. Fauzul Iman pun menambahkan, bahwa ini pemikiran Ibnu Rusyd yang dibantah al-Gazali. Tuhan menurut Ibnu Rusyd sebagai ilat (Sebab) lahirnya juz’iyat, karena Dia Qadim (azali). Bagi Ibnu Rusyd manusia menjadi pengubah (perbuatannya) bukan pasif (seperti boneka).
Profesor yang lain menambahkan. Betul Prof. Perdebatan dalam Ilmu Kalam tak pernah selesai. Ada ‘aksi’, ada ‘reaksi’. Dialektika Ilmu Pengetahuan. Perlu reaktualisasi Ilmu Kalam dari konvensional ke dalam kehidupan kontemporer, seperti teologi lingkungan, wabah, tanah, dan lain-lain.
Itu sebabnya, berteologi itu jangan larut mengikuti pendapat para ahli kalam yang sering menampilkan perdebatan teologi skolastik; lebih baik memahami teologi dengan cara tematik saja. Masa Nabi Muhammad saw orang bisa bertauhid tanpa dengan melakukan perdebatan, meski diakui ada kepuasan memahami bagaimana para ahli ilmu kalam menampilkan logika dalam memahami teks-teks teologi dari Al-Quran dan Hadis. Yang penting kita tidak terlena dengan pembentangan logika dari ahli-ahli kalam yang mereka juga sering berbuat syafsyathah dalam logikanya…
Saya menyimpulkan dengan mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah, “Perdebatan ilmu kalam habis-habisan sekalipun itu tidak menambah iman.”
Tentang takdir Tuhan dan ikhtiar manusia, Mohammad Iqbal menulis, “Berusahalah sehebat-hebatnya, hingga ketika hendak menetapkan takdirmu, Tuhan perlu bertanya, takdir macam apa yang kau inginkan.”
rof. Amin Nurdin mengulas demikian. Filsafat dan Ilmu Kalam sama-sama mencari kebenaran. Kebenaran dalam filsafat tentang makna hidup tidak memberikan arah bagi kehidupan itu sendiri. Karena itu kemudian agama wahyu mengambil alih fungsi filsafat sebagai pedoman hidup, seperti pernah diungkap Prof. Magnis Suseno. Namun akibatnya muncul otoritas agama, antara lain dalam bentuk teologi. Ini melahirkan pola-pola atau corak-corak pemikiran yang berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan. Sejatinya Ilmu Kalam justru memperkuat keimanan, karena mencari kebenaran, namun tetap memberikan kebebasan berpikir tanpa harus menyimpang dari ajaran dasar agama.
Saya pun memberikan catatan tambahan, bahwa ilmu kalam itu Teologi Islam yang telah meninggalkan jejak perselisihan berdarah-darah dalam sejarah. Contohnya, peristiwa mihnah, pengujian aqidah seseorang, apakah sejalan dengan pandangan teologi resmi penguasa (Mu’tazilah -qadariyah) atau bukan-pandangan resmi (Asy’ariyah- jabariyah). Teolog yang tidak sepaham dengan penguasa disiksa.
Berteologi dalam konteks keindonesiaan, salah satu kepastian sejarah, bahwa Jokowi-Ma’ruf Amin telah memenangkan perhelatan Pilpres atas Prabowo-Sandi. Dan Pilpres itu telah menelan korban meninggal dunia tidak kurang dari 700 orang petugas KPPS.
Kini Prabowo-Sandi bergabung dengan rival Pilpres yang dulu mereka gugat kecurangannya. Pertanyaan teologisnya, apakah Prabowo-Sandi bergabung dalam barisan Jokowi-Makruf atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa? Andaikata itu memang kehendak Allah swt, layakkah para pendukungnya kecewa lalu memutuskan untuk melupakannya?
Sebuah meme mencatat sejumlah janji Jokowi yang tak kunjung terealisasi, sehingga mencapnya sebagai hoax.
Besarkan Pertamina kalahkan Petronas dalam 5 tahun.
- Bangun 50.000 Puskesmas.
- Mengurangi impor pangan.
- Cetak 10 juta lapangan kerja.
- Buka 3 juta lahan pertanian baru.
- Beri anggaran Pendidikan berapa pun.
- Perkuat pemberantasan Korupsi.
- Pertumbuhan Ekonomi 8 persen.
- Beri dana 1,4 miliar per Desa setiap tahun.
- Menetapkan kepemilikan tanah pertanian untuk 4,5 juta Kepala Keluarga.
- Perbaikan irigasi 3 juta hektar sawah.
- Tidak bagi-bagi kursi Menteri ke Partai pendukungnya.
- Menghapus subsidi BBM.
- Perbaikan 5 ribu pasar tradisional.
- Memperkuat KPK dengan menambah jumlah penyidik.
- Meningkatkan anggaran pertahansn 3x lipat.
- Memberikan gaji besar bagi para ahli asli Indonesia.
- Menaikkan gaji guru.
- Membeli kembali Indosat.
- Menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu.
- Menjadikan Perangkat Desa PNS secara bertahap.
- Meningkatkan Industri Kreatif sebagai salah satu kunci kesejahteraan masyarakat.
- Mengusut tuntas kasus penculikan aktivis 1998.
Saya berpendapat, bahwa janji-janji Jokowi (yang sebagiannya) tersebut amat sangat baik sekali bila ditepati.
Apakah tidak/belum terealisasikannya janji-janji tersebut atas kehendak Jokowi sendiri atau atas ketetapan Ilahi Rabi?
Satu saja permintaan Jokowi kepada DPR yang saya tidak setuju: memindahkan Ibu Kota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan!
0 Comments