Maret lalu saya sempat mampir ke gedung kebudayaan Sabilulungan di Soreang, Kabupaten Bandung. Gedung yang kerapkali difungsikan sebagai tempat pertunjukan musik, teater, pelatihan seni, dan berbagai kegiatan ini merupakan salah satu gedung termegah di Jawa Barat. Berbagai warisan khas kebudayaan Sunda dapat kita temui di sana. Tentu sangat menarik untuk dikunjungi. Ternyata di sekitar situ juga ada yang tak kalah menariknya yakni sebuah menara lengkap dengan “skywalk” yang menghubungkan menara dengan masjid Al-Fathu yang tepat berada di seberangnya. Walaupun belum rampung 100% namun keberadaan menara tersebut cukup menyita perhatian dan membuat saya berdecak kagum akan keindahan dan kemegahannya. Jadi penasaran untuk segera melihat wujud bangunan itu setelah rampung keseluruhannya. Namun, di samping rasa kagum dan penasaran ada terselip juga kekakhawatiran, “mampukah kita memelihara bangunan semegah ini?” Khawatir kita hanya bisa membangun namun tidak bisa memeliharanya.
Kekhawatiran saya itu pun bukan tanpa alasan. Banyak bangunan megah khususnya di Jawa Barat ini yang akhirnya tak berfungsi optimal atau bahkan hanya menjadi ongokan bangunan tak terpakai yang lama kelamaan hancur digerus musim. Hal ini disebabkan karena tidak sanggup memeliharanya. Sebagai contoh, Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) yang diresmikan tahun 2016 lalu bersamaan dengan PON yang diselenggarakan di Bandung ketika itu. Sayang, Setelah itu gedung olah raga megah kebanggaan warga Jawa Barat itu tidak berfungsi optimal. Kabarnya disebabkan oleh biaya pemeliharaan yang sangat tinggi. Untuk itu, menurut kabar terbaru pemerintah Kota Bandung akan mempercepat proses lelang bangunan yang telah menelan biaya Rp545 miliar itu kepada pihak ketiga atau swasta dalam rangka meringankan biaya pemeliharaan sekaligus mengoptimalkan kembali fungsi GBLA yang telah menelan 40% pembiayaan dari provinsi Jabar dan 60% oleh Kota Bandung.
Kekhawatiran akan pemeliharaan gedung itu juga berkaitan dengan kemampuan menjaga kebersihan gedung dari sampah. Bukan rahasia lagi bila kesadaran bangsa Indonesia akan kebersihan sangat rendah. Hasil riset Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa hanya 20% penduduk Indonesia yang sadar akan kebersihan. Ini erat pula kaitannya dengan masalah sampah. Sebagian besar bangsa kita masih suka membuang sampah sembarangan.
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono mengungkapkan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa masyarakat masih membuang sampah di sembarang tempat. Bagi sebagian orang, sampah adalah sisa yang tidak memiliki nilai sehingga tidak berguna dan tidak berarti bagi dirinya. Padahal, ada jenis-jenis sampah tertentu apabila diolah dengan cermat dapat memiliki nilai ekonomi yang menguntungkan bagi masyarakat.
Menurut Dradjat, ketika orang-orang itu membuang sampah misalnya di jalan raya atau tempat-tempat umum lainnya, menurut mereka karena tempat-tempat tadi bukan milik mereka, melainkan milik pemerintah.
Ini bisa dibuktikan ketika saya menghadiri suatu event olah raga di gedung olah raga KONI yang letaknya masih di Kabupaten Bandung beberapa tahun lalu. Sekitar gedung tersebut dipenuhi oleh sampah-sampah yang berserakan. Kebanyakan sampah dari jajanan berupa botol minuman, plastik, dan kertas kemasan makanan. Padahal di sekitar situ banyak terdapat tempat sampah bahkan dipisahkan antara tempat sampah organik dan anorganik.
Akankah hal itu dialami pula oleh bangunan baru yang tengah merampungkan pembangunannya itu? Apalagi letaknya pun tidak jauh dari gedung KONI tersebut.
Hari Minggu lalu saya kembali berkunjung ke Soreang untuk melihat bangunan baru yang beberapa bulan lalu katanya telah rampung dan dibuka untuk umum.
Kini bangunan tersebut tepat di depan mata. Saya dibuatnya tertegun dan lagi-lagi berdecak kagum sambil memandangi menara megah dan unik dengan tiang-tiang keemasan serta puncaknya berhiaskan kujang, senjata tradisional khas masyarakat Sunda. Tak kalah uniknya juga bentuk skywalk yang menghubungkan bangunan menara dan masjid Al-Fathu.
Bangunan baru yang bernama Gedong Munara 99 Sabilulungan (GMS) ini menjadi icon baru di Kabupaten Bandung. Lokasinya berada di dekat pusat pemerintahan Kabupaten Bandung, berdekatan dengan pintu tol Soreang – Pasirkoja. Gedung yang diresmikan pada 10 Februari lalu oleh Bupati Bandung Dadang M. Naser ini merupakan karya terakhir sang Bupati selama 10 tahun menjabat Bupati Bandung.
GMS beserta skywalknya menghabiskan dana Rp45 miliar dan dialokasikan pada APBD tahun 2019 dan tahun 2020 lalu. GMS yang dibangun di atas lahan seluas 1.400 meter ini memang terlihat unik. Bukan cuma bentuk bangunannya tapi juga namanya yang “Nyunda pisan”. Sementara angka 99 juga ternyata mengandung makna khusus terutama bagi yang umat Islam. Gedong dalam bahasa Indonesia artinya gedung, munara berarti menara, dan sabilulungan artinya gotong royong. Angka 99 mengandung arti Asmaul Husna atau 99 nama baik dan agung Allah Swt. Angka 99 juga menandakan ketinggian menara tersebut hingga ke ujung kujang yakni 99 m.
Menurut berita di koran gedung yang memiliki enam lantai ini di lantai limanya terdapat menara pandang di mana pengunjung bisa melihat 360 derajat Kota Soreang dari ketinggian. Dari ketinggian 75 meter itu pula kita dapat menyaksikan pemandangan birunya pegunungan dan pesawahan yang nampak terlihat jelas. Belum lagi dari sana kita juga bisa melihat wajah perkotaan. Katanya di lantai enam atau ruangan paling atas akan dijadikan spot foto yang dilengkapi dengan kaligrafi Asmaul Husna serta kalimat-kalimat Jalalah. Sementara Skywalk Sabilulungan akan menjadi penghubung kawasan Masjid Al-Fathu sebagai pusat kegiatan umat dengan kawasan GMS sebagai pusat kegiatan seni dan budaya.
Selain itu di lantai pertama juga dilengkapi dengan foodcourt. Etalase 1000 kampung UMKM unggulan Bandung. Ada juga berbagai produk kopi kelas dunia yang dihasilkan Kabupaten Bandung dari 14 gunung, seperti Gunung Tilu, Malabar dan Gunung Manglayang.
Semua pemberitaan itu semakin membuat saya penasaran untuk “menjajal” semua sudut GSM, terutama skywalknya. Untuk itu dengan penuh semangat saya pun bergegas menuju anak tangga yang menuju skywalk.
Namun apa yang terjadi? Baru saja saya melewati beberapa anak tangga, pemandangan tak nyaman seketika tertangkap mata. Sampah plastik dan kertas bekas kemasan makanan dan minuman berserakan. Pot-pot bunga plastik yang semestinya tergantung menghiasi tiang anak tangga pun tergeletak begitu saja bukan pada tempatnya. Bunganya pun entah ke mana.
Saya pun bergegas terus naik hingga sampai di skywalk. Lagi- lagi pemandangan tak nyaman menyergap, taman-taman kecil yang sengaja dibuat di tengah skywalk pun dipenuhi beraneka sampah. Padahal di sekitar situ banyak tersedia tempat sampah.
Tidak cukup sampai di situ beberapa anak tangga yang terbuat dari kayu pun kedapatan telah rusak dan bolong-bolong. Lagi dan lagi saya mengelus dada dibuatnya. Sungguh disayangkan bangunan yang seindah dan semegah ini dikotori oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab yang membuang sampah sembarangan.
Lantas bagaimana ini solusinya? Jika para tokoh pendahulu kita tanggal 28 Oktober tahun 1928 silam menggelorakan semangat persatuan melalui Sumpah Pemuda: Satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yakni Indonesia. Haruskah kita penerusnya di jaman sekarang ini menyerukan.
Semangat persatuan juga yakni semangat bersatu untuk memerangi sampah? Demi kelangsungan dan keselamatan negeri kita tercinta ini dari penjajahan bernama sampah. Menggelorakan untuk sadar dan membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya yang dimulai dari diri kita sendiri. Jika perlu diterapkan sanksi berupa denda materi atau sosial kepada para pembuang sampah sembarangan agar mereka jera.
Sebuah ungkapan mengatakan bahwa kebersihan itu pangkal kesehatan. Dan dalam sebuah hadits pun dinyatakan bahwa kebersihan itu sebagian dari iman. Ayolah, bukankah bangsa Indonesia ini bangsa yang beriman yang cinta akan kebersihan?
Mari kita buktikan bersama-sama!
(NR/Oktober 2021)
0 Comments