Karya: Mariska Lubis
Angin kencang menerpa sejak pagi hingga kini. Lautan malam menjadi riuh rendah oleh teriakan gesekan daun dan ranting-ranting. Gelap menjadi-jadi tanpa bintang dan bulan yang nampak seperti biasa. Angin meniupkan mega-mega kelam di setiap sudut langit.
Di pelupuk mata terbayang sosok seorang perempuan kecil berusia sembilan tahun yang sedang berdiri sambil menangis di depan pagar sekolah. Rambut dan rok seragamnya terbang-terbang tertiup angin, namun tidak dihiraukan olehnya. Dingin yang menyengat pun seolah tidak terasa. Hanya tangannya saja yang terlipat di dada menampung air mata yang terus mengalir dalam-dalam di wajahnya yang tertunduk.
Bayangan yang terlalu menyedihkan untuk diteruskan. Kopi susu hangat diseruput untuk menghilangkannya.
Sebatang rokok turut diambil dan dinyalakan, lalu dihisap dengan harapan dapat menghapus sosok perempuan kecil tadi.
Hanya sejenak saja. Sosok perempuan kecil berambut hitam legam panjang kembali muncul. Kali ini dia sedang terdiam menggigit jari di depan sekolah yang sama. Matanya tidak dipenuhi air mata, namun nampak kosong dan nanar menatap anak-anak kecil yang keluar dari sekolah dijemput orang tua mereka. Ada yang langsung memeluk ibunya, ada yang berlari-lari ke mobil setelah melihat lambaian tangan ayahnya, dan ada pula yang sibuk mendengar omelan ibunya. Tidak ada yang datang menjemput dia, tidak ada yang menghampirinya, tidak ada orang tua yang bahkan mungkin menyadari keberadaan sosoknya di antara mereka.
Hati tersayat merasakan apa yang dirasakan perempuan kecil itu. Kesedihan sudah begitu mendalam dan membekas. Sebagai anak kecil yang mencoba tegar dan sabar, menepis keinginan dan iri hati, dengan tetap berharap orang tuanya datang dan hadir menjemputnya. Apalagi, ternyata hari itu adalah hari pembagian rapor di sekolah. Kebanyakan orang tua hadir dan keluar menenteng rapor anak-anak mereka.
Seorang perempuan berusia kurang lebih menjelang empat puluh tahun, dengan gaun berbunga biru muda dan putih, datang menghampiri perempuan kecil itu. “Mana ayah atau ibumu? Kok, rapormu belum diambil?” tanya perempuan itu yang ternyata adalah wali kelasnya.
Perempuan kecil itu hanya menggelengkan kepala dan lirih menjawab, “Mereka nggak ada.”
“Kalau begitu, siapa yang biasa ambil rapormu? Kakek? Nenek? Oom? Tante?” tanya wali kelasnya lagi.
“Ganti-ganti, siapa saja yang mau ambil,” jawab perempuan kecil itu sambil tertunduk.
“Yang biasa jemput kamu siapa?” tanya wali kelasnya dengan wajah ingin tahu.
“Sopir jemputan,” kata perempuan kecil itu perlahan dan dengan nada sedikit ragu.
“Oh, baiklah. Apa kamu sudah dijemput? Sudah mau pulang?” tanya wali kelasnya sambil memeluk perempuan kecil itu. Sepertinya dia merasakan kesedihan murid yang sedang dipeluknya. “Sini ibu antar ke jemputanmu.”
Tak terasa sebatang rokok sudah terbakar habis di bibir asbak. Abunya panjang dan hanya tersisa filternya saja. Kopi susu pun sudah tidak lagi hangat. Udara dingin membuat panasnya terbang terbawa angin dengan cepat.
Sudah empat puluh tahun kejadian itu terlewat, semestinya tidak perlu muncul kembali. “Yang sudah ya sudah, mengapa sangat sulit untuk dilupakan,” kataku dalam hati.
Diriku memang iri dengan kebanyakan teman-teman lain, yang bisa setiap hari berjumpa dan tinggal dengan orang tua mereka. Bisa bercerita, bermanja, dan paling tidak, membuat rasa lebih tenang dan nyaman. Walau sebetulnya mereka tinggal tidak begitu jauh, tetapi diriku harus tinggal terpisah dan tidak bisa setiap hari berjumpa. Segala kebutuhan yang tersedia dan mampu dinilai sebatas rupiah mungkin ada, tetapi yang tidak ternilai tidak pernah ada.
Banyak yang menyarankan dan memberi nasehat agar tidak perlu lagi mengingat apa yang sudah berlalu. Mudah berkata tetapi tidak mudah untuk benar dilakukan. Fakta dan kenyataan, mereka yang memberi saran dan nasehat pun tidak semudah itu melupakan masa lalu. Segala ingatan yang ada itu tidak selalu berarti buruk, meski tetap pahit dan sakit dirasa. Selalu ada maksud baik dari segala peristiwa, termasuk yang pahit dan menyakitkan.
Kubuka galeri foto anak-anak di dalam telepon genggamku. Kupandangi satu-satu foto mereka yang terus kusimpan sejak mereka masih bayi. Kukatakan pada mereka di dalam hati, “Nak, aku bukan ibu yang terbaik, aku pun banyak melakukan kesalahan. Namun, aku rela meninggalkan semua, termasuk pekerjaan dan karierku, segala kesempatan yang bisa membawaku dianggap sukses dan hebat, untuk kalian. Meski sering kali aku harus pergi jauh dan lama, tetapi aku selalu kembali.
Aku tidak ingin kehilangan waktu dan beralasan demi dan untuk kalian, lalu meninggalkan kalian tanpa mengenalku dengan baik. Aku belajar bahwa semua menjadi sia-sia bila hanya dinilai dengan angka dan Rupiah. Aku tidak ingin kalian tidak merasakan cinta dan kasih sayangku yang kuberikan tanpa berharap apa pun sebagai kembali.
Cinta dan sayangku kuberikan agar kalian kelak mampu menjadi pribadi-pribadi yang juga dipenuhi cinta dan kasih sayang. Aku tidak mampu beralasan apa pun juga atas nama dan karena kalian. Kalian bukan milikku namun kalian memiliku.”
Rembulan sedikit menyembulkan wajahnya di atas kepala. Angin tetap bertiup kencang, ranting dan dahan terus mendesah bergemuruh menghidupkan lautan malam. Semoga mentari cepat segera meninggi.
13 Februari 2023
0 Comments