Sahdan, sejak dunia kedokteran berkelana di atas samudera raya
Dalam kapal-kapal layar antar pulau dari benua biru
Tahta dan kasta sudah dilekatkan dari negeri atas angin
Walau tak tampak seekor ular berbisapun Masuk ke dalam sloki-sloki anggur rampasan dari dunia baru
Kasta yang berlaku di kulit ari-ari
Yang putih dibayar emas dibanding perak untuk yang kuning
Yang kuning berhak kerja sebentar dibanding yang mata terkantuk coklat
Yang hitam legam bergelimang kuli pemutar kumparan ladang minyak berjelaga
Orang kira, proklamasi merontokkan semua kasta itu
Apalagi dari gedung yang bernama STOVIA sebagai permulaan
Ternyata menjulur bertumbuh subur dalam kastil-kastil yang makin gelap tinggi Hampir tak pernah disentuh cahaya Bermata biru, berambut api, dalam bungkus putih
Entah air tuba apa yang mereka minum Kastil berdarah hingga mencapai bintang Begitu banyak sajen sesembahan diberikan Kepada ketamakan pengumpul harta mewah Berikut leher jenjang perempuan bermodal pantat tersungging dengan tarif berlian
Alat-alat kesehatan mereka makan Ranjang-ranjang rumah sakit mereka telan Berjenis racun dengan nama-nama latin dijajakan dalam iklan-iklan premium Berbentuk butiran, cairan, baluran, pun sekadar liontin bermestika batu-batu goa
Sebutir pasir tertelan perut
Dibawa ke kamar-kamar operasi berbiaya berteknologi tinggi
Tubuh manusia tak lagi emanasi cahaya Illahi dalam tapa suci religi
Hanya sekadar onggokan daging yang terjual makin gendutlah rekening koran
Jangan-jangan, darah mereka tak lagi berdarah merah
Seperti merahnya darah jenderal? Sadiskah?
Tentu, tak semua dokter seragam
Seperti pamanku yang saban Sabtu melayani banyak orang gunung di Pasar Basung Berangkat dari Rumah Sakit Padang Panjang sejak dinihari
Mak Wali namanya Tak panjang usianya
Dimakan penyakit yang datang dari pasien Kami satu kaum meraung-raung kehilangan paman yang paling dulu menempuh pendidikan tinggi
Juga dokter-dokter yang menyambut kelahiran anak-anakku
Perwira tinggi berseragam angkatan udara Dekan fakultas kedokteran universitas Punya rubrikasi media massa
Mayor Jenderal terakhir pangkatnya Orang yang paling kutakuti
Pun kucemburui Kubicara hati-hati
Walau ia tersenyum, menyinggung tulisan- tulisan kerasku terhadap presiden, operasi militer
Kala Aceh belum tsunami, Papua menggeliat, Ambon terbelah menjadi Acan dan Obet
Ketika aku ke Aceh hari kedelapan tsunami Ia pun sudah di sana diangkut perut Hercules Sigap bangun jam berapapun
Guna menghitung denyut jantung anak-istriku
Atau dokter keluarga yang baru saja meninggal dunia
Dokter Suwarna punya nama Berpangkat militer ikut operasi di Papua, hingga Timor Leste
Lulusan fakultas kedokteran UI, ketika aku masih berusia dua tahun
Hanya dengan sentuhan tangan
Ia bisa hilangkan seluruh ngilu tulang- tulangku
Melatih diri
Bukan dengan perpanjangan sulur-sulur teknologi
Berbaur bersama cakra, prana, dan lelaku ala Ibnu Sina yang mampu menyusun bintang
Atau dokter lulusan Korea itu Yang tak pernah memberikan obat
Berkantor di samping Hotel Mulia Senayan Ia tusuk aku pakai jarum-jarum akupuntur panjang bersenti-senti
Ia bisa bikin aku berwajah manis, senyum, atau bagai srigala tiap tampil di televisi Medan energiku ia putar
0 Comments