Malam ini aku sengaja melakukan semacam tetirah, berjalan kaki malam menyusuri kota Jakarta. Malam yang begitu syahdu. Tiang lampu kota yang berjejer tegak berjarak rapi sepanjang jalan seperti memberi isyarat hidup yang harus tegas sebagai orang kota.
Kursi-kursi panjang penuh dengan orang yang sedang duduk dan berbaring, kulihat seperti anak-anak yang sedang melepas lelah di pangkuan ibukota. Dalam hatiku, mungkin mereka kelelahan setelah seharian penuh bermain, berkejaran dengan waktu.
Suasana Jakarta di malam hari ini tentu jauh berbeda dengan malam di kampungku sesungguhnya. Tidak ada saut suara kodok dan cengeret nong, atau kelap-kelip kunang dan juga bau kepik yang khas. Tapi menurutku sama-sama syahdunya.
Aku juga sesekali singgah di kursi taman. Di bawah lampu yang cukup terang aku duduk dan membaca buku yang beberapa hari ini aku ingin segera habiskan halamanya. Sesekali aku selingi dengan menghisap keretek yang kunyala matikan sesuai kebutuhan mengusir dingin malam.
Malam ini aku juga merasa bahagia mendapatkan kenalan seorang teman mengobrol. Sebagai teman yang sepertinya sedang sama-sama santai menikmati malam.
Dia seorang pemuda paruh baya, Misman namanya. Dia mengaku sebagai akamsi, anak kampung sini. Rumahnya dekat di daerah Menteng tempat kami duduk-duduk.
Entah bagaimana, dari obrolan mengalir, Misman lalu bercerita tentang hidupnya. Hidup sehari-hari ditemani istri dan dua anaknya yang masing-masing masih duduk di Sekolah Dasar ditopang penghasilan berjualan cilok. Semacam bakso tapi terbuat dari aci dan dibumbui. Aku juga tidak begitu paham ketika dia menjelaskannya padaku apa isi makanan cilok itu.
Dia tidak mengeluh sebagai penjual cilok, tapi dia membuka pembicaraan yang jujur dan bahkan terasa sangat intelek. Dia terlihat sangat kecewa dengan perangai para pemimpin di republik ini. Kenapa mereka itu intinya tidak menjalankan cita-cita para pendiri republik, leluhur yang dulu telah berjuang habis-habisan korbankan harta, air mata, dan bahkan nyawa demi kemerdekaan anak cucunya. Dia juga katakan kenapa masih saja terus ada korupsi, kolusi, dan nepotisme padahal sudah ada reformasi.
Aku menimpali pernyataan pernyataan dia seperlunya. Aku katakan bahwa mental pemimpin-pemimpin bangsa kita itu masih diselimuti mental feodalisme. Mereka sebagian memang lebih suka pada slogan, tapi miskin tindakan ketika bicara demokrasi atau kepentingan rakyat banyak. Mereka itu adalah pewaris sistem kolonialisme. Itu kenapa Bung Karno katakan kelak kita akan mengalami kesulitan yang lebih berat karena harus berhadapan dengan pemimpin bangsa sendiri yang pikiranya tetap lakukan eksploitasi pada rakyatnya sendiri.
Mereka itu masih berpikir cupet dan penuh basa-basi ketika bicara soal demokrasi. Sesungguhnya mereka tidak serius berdemokrasi. Di pikiran mereka itu aji mumpung saja ketika diberikan kepercayaan rakyat.
Aku katakan, ketaatan yang tak terucap dari gestur tubuh mereka itu kepentinganya adalah tunduk pada yang memiliki kuasa lebih tinggi dari dirinya, yaitu kepada para elit kaya. Kepada mereka sesungguhnya para pemimpin republik ini mengabdi.
Saat kampanye itu hanya seperti buih-buih busa mulut, lain perkataan lain perbuatannya. Giliran jadi tindakan, yang dilakukan demi kepentingan diri dan keluarganya semata. Ya nepotisme, ya kolusi dan korupsi.
Misman lalu menimpali balik, dia seperti sedang mempertanyakan kadar keimanan dalam beragama para pemimpin. Dia sebut calon-calon presiden misalnya. Kenapa mereka itu begitu akan mencalonkan diri musti terlihat alim dan naik haji atau umroh.
Aku terhenyak, baru kusadari apa yang dikatakan Misman memang selama ini benar adanya. Lalu aku katakan jika soal cita-cita bangsa yang gagal ini juga dikarenakan cara beragama para pemimpin yang gagal. Mereka lebih memilih membangun pencitraan untuk merebut kekuasaan ketimbang merenungi pikiran dan tindakanya dalam memimpin itu apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan agama yang mereka yakini.
Aku katakan mereka itu tidak punya cita-cita jangka panjang untuk bangsanya. Itulah yang menyebabkan mereka begitu mudah kehilangan kecintaan dan kesetiaan pada bangsa dan negara ini. Mereka hanya akhirnya pedulikan pada soal pemuasan nafsu sesaat bagi dirinya dan keluarganya.
Lalu Misman mulai bertanya padaku sebaiknya ketika Pemilu mendatang itu bagaimana menyikapi para pemimpin-pemimpin yang seperti itu. Aku memilih tak memberikan jawaban.
Malam semakin larut, obrolan kami telah terasa sangat panjang. Lalu dia berpamitan pulang. Aku masih merenung sejenak di kursi trotoar. Kretek ditanganku sudah lama mati rupanya. Lalu aku nyalakan dan kuteruskan perjalanan. Menghampiri malam yang sesekali terasa gelap tanpa penerangan.
Jakarta, 7 Juli 2023
Suroto
Pejalan Kaki Malam
0 Comments