Saya menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI selama 4 tahun (1978 – 1982). Fungsinya yang antara lain membidangi lingkungan hidup. Lima tahun berikutnya saya masih di Komisi X tetapi hanya sebagai anggota.
Selama di Komisi X saya akrab dengan pak Emil Salim selaku Menteri Lingkungan Hidup. Sembilan tahun kami berbeda pendapat, namun tetap bersahabat. Ini menunjukkan behaviour elit politik masa itu sangat bagus.
Laksamana Soedomo yang waktu itu sebagai kepala Komando Operasi Pemulihan Keamanan Ketertiban (Kopkamtib) pun jika berbicara tak kehilangan humor. Ketika ada yang mengajukan pertanyaan berkaitan dengan pemerintah yang tak pernah menegur perokok, yang dimungkinkan karena penerimaan cukai tembakau menguntungkan negara.
Pak Domo menjawab bahwa terkait penerimaan negara dari cukai tembakau merupakan wewenang Menteri Keuangan untuk menjawabnya. “Saya hanya mencoba memahami kenapa banyak orang merokok.” seloroh Pak Domo. “Saya tinjau home industry rokok di Jateng, pekerjanya kaum wanita. Mereka melinting rokok manual sambil garuk-garuk kéték.” Lanjut Pak Domo sambil menirukan kelakuan wanita itu. “Rupanya ini sebab orang suka merokok.” Tawa hadirin pun meledak mendengar seloroh pak Domo.
Saya sangat sedih ketika suatu hari menyaksikan acara debat di televisi. Saat itu pak Emil sedang berbicara tetapi dipotong terus oleh seorang anggota DPR. Hal ini tak pantas, apalagi dilakukan oleh orang yang usianya lebih muda.
Hal tersebut tidak akan terjadi pada pertunjukan wayang golek karena sumber suara hanya satu, yakni Ki dalang.
Wayang golek juga bila berbicara tangannya harus sambil menuding agar penonton mengetahui siapa yang sedang berbicara, Gatotkaca atau Arjuna.
Baru-baru ini media mewartakan angggota DPR yang pernah debat dengan pak Emil. Ibu anggota DPR itu terlibat percekcokan dengan seorang wanita muda sejak pesawat landing hingga ke tempat pengambilan barang di bandara. Saya tak berhak menjudge mana yang benar dan mana yang salah. Kesan saya berkesan terhadap keributan itu sangat tidak mengenakkan baik untuk anak maupun ibunya. Terlebih bagi sang anak, kejadian ini mungkin sulit dilupakan.
Bahasa Indonesia dan bahasa daerah tidak mempunyai kata asli untuk alat kelamin dan hubungan seks. Semua bahasa serapan. Pada dasarnya peradaban Indonesia itu halus. Menjadi kasar, terutama dalam kepolitikan. Selama 20 tahun terakhir, kekasaran itu merusak keseimbangan semesta alam. Maka akan terjadi re-equilibrium. Bisa berskala personal, bisa juga nasional.
RSaidi
0 Comments