Di antara banyak perempuan, barangkali dialah salah satu perempuan paling kuat, berani, super kreatif, dan berhati lembut. Meski nampak guratan keras di wajah dan ucapannya, tetapi senyumnya selalu terurai dan selalu menyediakan bahu dan dadanya untuk siapapun yang menangis. Hidupnya penuh dengan segala macam tantangan dan ujian berat, tetapi justru membuat sayap Tante Ruth, panggilan saya untuknya, semakin berkembang dan melebar untuk semua.
Setelah beberapa tahun tidak berjumpa dan kehilangan kontak, akhirnya kami berjumpa kembali pada hari Senin (4/10) lalu. Saya datang ke rumah sekaligus tempat usahanya yang unik, tentram, dan damai di daerah Trinity, dekat Kampung Daun, Bandung. Sejak awal ke sana saya sudah sangat suka tempatnya. Penuh dengan hiasan unik, pemandangan luas terbuka, tanaman hijau, bunga-bunga, dan jelas mencerminkan pribadi seorang Tante Ruth.
Barangkali banyak yang tidak tahu bahwa beliaulah yang memiliki konsep dan membangun resto terkenal di Bandung bernama “Kampung Daun”. “Dari tempat jin buang anak kalau kata orang-orang, dan mulai dari tamu hanya 6 orang, sampai kemudian meledak dan ratusan orang datang ke sana,” kenangnya.
Ada banyak lagi tempat yang sudah beliau bangun, dan saya sendiri tidak tahu di mana saja, tetapi tempat yang memiliki papan nama “Ruth” adalah favorit saya. Setiap kali ke sana, kepala saya menjadi liar dan ada banyak sekali ide di kepala. Apalagi setiap perbincangan antara saya dab beliau, menurut saya pribadi, memiliki kualitas. Selalu ada banyak ilmu yang bisa dipetik.
“Waktu muda, saya bercita-cita ingin menjadi seorang perempuan yang bijaksana. Seiring perjalanan waktu dan tambahnya usia, saya sadar bahwa ternyata menjadi bijaksana tidak cukup bila tidak membawa kebajikan,” kata beliau dengan berapi-api.
Bagi saya, ini merupakan catatan penting mengingat kebanyakan orang bercita-cita ingin punya segala kemewahan dunia, lantas lupa dengan jiwanya sendiri. Ditambah lagi, sebagai perempuan dengan tiga orang anak, meski berkarier, sukses, independen, Tante Ruth selalu memasak dan membuat hidangan sendiri, bahkan bagi para tamunya. Tidak pernah saya lihat polesan tebal menutupi wajahnya, selalu apa adanya, natural, dan justru ini yang membuat beliau bersahaja di mata saya.
Soal menulis, beliau juga suka menulis. “Menulis itu penting karena dengan menulis kita bisa menuangkan rasa dan pikiran ke dalam tulisan, yang bisa kemudian kita baca kembali, dan bahkan menjadi solusi atas masalah kita sendiri. Menulis itu adalah rindu, dan bila tidak ada rindu, maka kita mati.
Contohnya saja, ketika kita sedang kesulitan, lalu kita menulis tentang kebutuhan, seperti beras dan nasi. Dari tulisan itu, kita kemudian mendapat ide membuat nasi goreng, yang bisa dibawa ke sekolah anak, untuk kemudian ditawarkan ke yang lain dan dijual. Ini bisa terjadi,” beliau memberikan semangat dan inspirasi.
Tidak cukup satu buku untuk menceritakan seorang perempuan bernama “Ruth” ini. Sepenggal catatan yang saya buat, sebagai tulisan agar selalu ada rindu bagi beliau dan dari beliau untuk semua, semoga berguna dan bermanfaat.
“Semoga Yang Maha Kuasa selalu memberikan yang terbaik untukmu, Tante Ruth!”
Bandung, 7 Oktober 2021
0 Comments