Catatan Menyambut Pembukaan Wisata Internasional Bali

Oct 15, 2021 | Opini

Akhirnya yang ditunggu-tunggu selama setahun ini semoga terwujud. Setelah kondisi pandemi melandai, Pemerintah akhirnya memutuskan membuka penerbangan internasional Bali pada 14 Oktober 2021.
Kabar pembukaan wisata internasional Bali bukan barang baru. Sudah beberapa kali diwacanakan tapi tak pernah terwujud.

Termasuk pada awal tahun 2021 dan bulan Juni 2021. Memburuknya pandemi Covid 19 dan diberlakukannya PPKM di Bali membuat rencana itu berantakan. Bagi sebagian masyarakat Bali, berita itu bagai PHP (Pemberi Harapan Palsu).

Bali menjadi propinsi yang paling terpukul perekonomianya saat pandemi. 85% perekonomian Bali tergantung pariwisata internasional. Hampir di setiap keluarga Bali ada anggota keluarga yang bekerja di hotel, restoran atau travel. Pandemi selama lebih dari 1,5 tahun ini mengakibatkan industri pariwisata lumpuh. Banyak bisnis bangkrut dan pekerja di sektor pariwisata di-PHK. Muncul fenomena orang miskin baru. Banyak pekerja di kota yang pulang kampung. Kuta, Legian dan Nusa Dua sempat menjadi “kota mati” yang banyak hotel, restoran dan toko tutup karena sepinya wisatawan.

Parahnya kondisi sosial ekonomi Bali nyaris tak bergaung keluar karena karakter masyarakat Bali. Mereka cenderung sabar dan legowo menerima “cobaan” ini. Filosofi agama dan budaya mereka yang melatarbelakangi sikap ini. Sangat jarang ditemukan protes atau keluhan terbuka masyarakat. Padahal ketidakpuasan pada kebijakan pemerintah daerah selama pandemi yang dianggap “tidak memihak” masyarakat Bali begitu nyata ada di berbagai kalangan. Kita menganggap jika orang tak mengeluh atau meminta bantuan, maka hidupnya “baik-baik saja”. Sikap “diam” masyarakat Bali menutupi parahnya kondisi sosial ekonomi di “Pulau Dewata” ini. Seakan-akan “baik-baik saja” padahal tidak. Tapi sikap legowo yang merupakan rasa bersyukur ini juga yang akan memudahkan masyarakat Bali melewati masa sulit ini.

12 Oktober adalah peringatan tragedi Bom Bali pada tahun 2002. Tadi malam, Penulis mengikuti acara peringatan dan doa bersama mengenang 19 tahun peristiwa itu di “Monunen Tragedi Kemanusiaan” di Legian. Trauma atas peristiwa itu begitu membekas pada masyarakat Bali, tapi para pelaku wisata sepakat. Dampak Tragedi Bom Bali pada pariwisata bisa dibilang tak seberapa dibanding pandemi Covid 19. Gegara bom Bali, wisatawan asing sepi hanya beberapa bulan. Beda dengan pandemi yang melumpuhkan pariwisata internasional.

Turis Australia di Kuta dan turis Jepang di Sanur yang merupakan pelanggan tetap menghilang. Pemerintah kedua negara mengevakuasi warganya ketika Indonesia menjadi episentrum pandemi pada pertengahan tahun ini. Turis China yang sempat membludak di Bali juga menghilang di saat virus yang bermula di Wuhan, China ini. Warga asing yang bertahan di Bali hanyalah turis Rusia, yang kusebut “Bali-Russ” (Bali Russia). Mereka banyak long-stay dan bekerja (sebagian secara online) di Denpasar, Canggu dan Ubud.

Saat ini wisatawan di Bali terdiri dari 3 kelompok :
1). Wisatawan Lokal, dari Denpasar yang banyak berlibur di lokasi-lokasi wisata Bali
2). Wisatawan Domestik (disingkat “Wisdom”) terutama dari Jakarta dan Surabaya. Belakangan ada trend mobil-mobil berpelat B berseliweran di Denpasar. Rupanya mereka naik mobil bersama kawan-kawan dari Jakarta dan menyetir secara bergantian. Dengan rangkaian jalan tol di Jawa, jika nonstop bisa berangkat pagi dan tiba malam di Bali setelah menyeberangi feri di Gilimanuk. Ini lebih murah dibanding naik pesawat.
3). Wisatawan Mancanegara (disingkat “Wisman”) terutama dari Rusia.
Bagi traveler, ini adalah saat terbaik untuk Traveling di Bali. Penulis yang sudah hampir 4 bulan tinggal di Bali mengalami ini. Harga hotel turun drastis, bisa setengah harga. Jika kita long-stay dengan menginap sebulan, dapat lebih murah lagi. Uang Rp.1.000 yang di Jakarta terasa tak ada harganya, kini di Bali dihargai. Nasi Jinggo (semacam “nasi kucing” khas Bali dengan varian suwiran daging ayam, ikan atau babi) yang cukup bikin kenyang harganya hanya Rp 5.000. Jika kita beri tips seribu atau dua ribu rupiah pada driver online di Bali, mereka begitu berterimakasih.

Wisatawan asing jelas merindukan Bali yang selama ini dikenal sebagai “Paradise Island”. Apakah Bali telah siap menerima kembali wisatawan internasional pada 14 Oktober? Semoga masa vakum lebih dari 1,5 tahun dari wisatawan asing, dimanfaatkan pemerintah Bali dan pelaku industri pariwisata untuk membenahi diri. Yang Penulis rasakan sebagai Wisatawan Domestik (Wisdom), masa pandemi membuat Bali “lebih ramah” pada “Wisdom”. Pada masa sebelum pandemi (2020-2021), Wisman terutama turis bule selalu dinomorsatukan oleh banyak pelaku wisata Bali karena dianggap “lebih banyak duit”. Dollar yang mereka belanjakan juga lebih berharga dari Rupiah… “Dollar berkuasa”… Beberapa tahun lalu Penulis menyaksikan sendiri beberapa bar dan hotel di Kuta menggunakan rate US Dollar, bukan Rupiah. Penggunaan istilah “K” (Kilo : Ribu) untuk menyebut nominal Rupiah (misal : 100 K untuk Rp 100.000) juga berasal dari Bali. Itulah masa dimana “saudara sebangsa” (Wisatawan Domestik) dipandang sebelah mata, diremehkan… saat “karpet merah” diberikan pada wisatawan asing.

Tak usah jauh-jauh mencari contoh. Saat ini saja di Terminal Kedatangan Bandara Ngurah Rai terdapat sejumlah penjelasan filosofi budaya Bali (seperti “Tri Hita Karana”) yang tercantum dalam Bahasa Inggris. Seakan-akan hanya ditujukan sebagai “edukasi budaya” bagi turis asing. Padahal orang Indonesia banyak yang kurang paham bahasa Inggris dan mereka juga perlu memahami filosofi budaya Bali!

Syukurlah, pada masa Pandemi, “Wisdom” dari Jakarta, Surabaya dan lain-lain “naik klas” di Bali. Mereka mengisi kekosongan turis asing. Walaupun tak banyak, keberadaan mereka bagai sedikit air di saat “kemarau panjang” pariwisata Bali.

Tentunya harapan kita semua, pembukaan Wisata Internasional Bali dalam prokes ketat pada 14 Oktober ini membawa angin segar pada perekonomian Bali yang bagai “mati suri” pada masa pandemi. Membuka lembaran baru parawisata Bali yang “lebih baik” dalam berbagai hal termasuk “equal treatment” pada wisdom dan wisman… menuju “Bali yang lebih baik”.

Pandji Kiansantang, 13 Oktober 2021 di Denpasar, Bali

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This