Menulis menjadi saksi bahwa kita hidup dan dengan menulis hidup kita akan menjadi semakin menarik, karena kita menciptakan tajuk bincang dari sudut pandang subjektivitas pribadi. Pasalnya tulisan kita menjadi bagian dari pemahaman publik yang memantik ide-ide pribadi yang bersifat samar sehingga menambah spekulasi pemahaman yang semakin beragam.
Meski tak sedikit di antaranya yang bernada sumbang, namun saya justru merasa mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi lebih jauh sehingga pengembaraan intelektual dapat menuntun saya untuk bisa melihat panorama yang lebih luas dan mungkin juga lebih indah daripada yang sudah pernah dilihat sebelumnya.
Persis semacam pengembaraan di kampung sufi semua yang tidak terlihat justru tampak terang benderang dan yang tidak terdengar pun diharap semakin merdu dan syahdu menimang suka cita kemanjaan yang manusiawi sifatnya.
Judul āmenulis sebagai kesaksian bahwa kita pun pernah hidupā dalam bahasa kawan penyair yang tengah asyik meniti jalan sufisme itu dia ibaratkan semacam upaya mengukir batu nisan untuk diri sendiri. Sehingga kelak siapa pun yang hendak ziarah cukup membaca kesaksian jujur yang pernah ditulis semasa hidup dahulu itu.
Harapan terbaik tentu saja semua yang menjadi kesaksian dalam bentuk tulisan itu ada manfaatnya. Meski tidak sebesar bola dunia yang pernah dituliskan oleh semua penulis yang pernah ada di bumi ini. Maka biar sedikit atau kecil manfaatnya yang bisa dipetik, toh dia akan terus menumbuhkan putik bunga yang wangi dan indah. Meski tak semerbak kasturi yang acap jadi khayalan banyak orang ketika membayang taman indah di surga.
Untuk sahabat dan sobat yang sempat ikut berkomentar miring, biarlah semua itu menjadi kaca benggala bagi penulis untuk merenung tentang kejujuran serta keikhlasan untuk menerima keragaman pendapat di alam demokrasi. Meskipun demokrasi masih perlu kita bangun agar bisa lebih baik hingga mendatangkan manfaat untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk egoisme diri sendiri. Seperti jimat yang diberi Banthe Damma Subbho dari Sangha Therapada Indonesia sebagai niat baik untuk kebaikan dan keselamatan serta kesejahteraan yang membahagiakan. Sebab niat jahat sekalipun yang mampu disikapi dengan sikap ugahari tetap akan memberi manfaat yang baik dan terhindar dari kejahatan yang mungkin pula sudah ada di hadapan kita.
Jadi klaim āmenulis itu sebagai kesaksian bahwa kita pun pernah hidupā semata-mata bahasa ucap dari hasrat ingin menambah khazanah bahasa sastra dari penulis yang tak mungkin mendapat tempat di makam pahlawan atau apa pun namanya kelak, termasuk makam seniman yang cuma ada di Yogyakarta Hadiningrat.
Setidaknya dengan klaim yang bombastis atau mungkin terkesan arogan itu sesungguhnya yang ingin diekspresikan adalah sekadar untuk mengingatkan bila yang perlu ditulis itu adalah hal-hal yang bisa memberi manfaat bagi orang banyak. Bukan ujaran kebencian, bukan hoaks atau kesaksian bohong demi sekerat roti. Sebab tulisan yang tertuang dalam media berbasis internet konon ceritanya tidak bisa dihapus seperti dosa orang yang melakukan kejahatan terkeji terhadap manusia.
Yang terpenting, dari pemahaman menulis itu sebagai kesaksian bahwa kita pun pernah hidup, sekadar untuk ikut mengingatkan bila kita sebagai manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan paling mulia dari semua makhluk ciptaan Tuhan. Sehingga dengan begitu spiritualitas yang melekat dalam jati diri kita masing-masing sekecil apa pun kadar dan karatnya biar dapat terus terasah. Bahwa sesungguhnya kita tetap meyakini Tuhan Yang Maha Esa itu sungguh adil, sungguh memberi cinta dan kasih, berkuasa atas segala yang ada di jagat raya ini. Termasuk diri kita yang jemawa mungkin juga sudah takabur sombong, tamak dan rakus. Atau bahkan tega menganiaya atau menzalimi diri sendiri dan orang lain yang lemah. Karena tidak mampu melawan, tidak mampu membebaskan dirinya sendiri dari perbudakan oleh materi, kekuasaan serta kemewahan, meski itu semua adalah milik orang lain.
Konon cerita jalan datar menuju perkampungan kaum sufi itu sungguh indah dan menakjubkan. Ada masjid, gereja, wihara, klenteng dan rumah penduduk yang selalu terbuka pintunya tanpa perlu diketuk, jika berkenan singgah dan masuk sekadar untuk melepas lelah. Semua pejalan atau pengelana bisa istirahat dan tertidur lelap di dalamnya dengan segenap rasa aman dan nyaman. Tak ada kebisingan kata dan pertikaian politik maupun sengketa usaha di pasar-pasar, padahal waktunya semakin gelap meninggalkan senja. Dan yang tersisa, tinggal waktu shalat untuk kemudian merebahkan jasad dengan tenang dan damai
Jakarta, 16 Desember 2021
0 Comments