Setiap orang tua ingin anaknya memiliki kehidupan yang baik dan menyenangkan. Siapa yang ingin anaknya susah dan celaka?! Namun, hidup tidak sesempurna yang kita bayangkan, inginkan, dan bahkan harapkan. Selalu ada pahit manis dalam kehidupan ini dan bahkan penuh dengan kejutan yang tidak terduga dan tidak diinginkan.
“Gambar apa, Nak,” tanyaku pada bidadari terkecil yang sedang menggambar di hadapanku.
“Aku sedang mencoba menggambar mata yang sempurna, kiri dan kanan sama,” jawabnya.
“Tidak ada mata yang persis sama kiri dan kanan. Seperti hidup tidak sesempurna yang kita bayangkan,” diriku mencoba membuatnya tidak terlalu berusaha keras untuk sempurna.
“Aku tidak mau hidup yang sempurna,” jawabnya dengan tegas.
“Kenapa? Membosankan, ya?!” godaku sambil tertawa.
“Apa enaknya hidup tanpa tantangan dan semua persis seperti yang kita inginkan dan harapkan? Bosan!”, katanya sambil mengabadikan gambar yang dibuatnya dengan kamera hape.
“Setuju. Hidup ini penuh dengan tantangan, dan nasib tergantung pada keputusan kita menghadapi tantangan yang ada. Pahit manis sama saja, kita bisa belajar banyak dari semuanya,” jawabku sambil terkagum-kagum dengan pemikirannya.
“Aku malah nggak ngerti kenapa orang selalu ingin yang sempurna. Heran juga kenapa sekarang sedang ramai membicarakan soal mana yang lebih baik, perempuan atau laki-laki. Useless ,” jawabnya lagi memperjelas pemikirannya.
“Oh ya?! Sama saja, perempuan dan laki-laki, sama-sama ada kekurangan dan kelebihan. Sama-sama juga bisa bikin salah dan bisa berbuat baik,” jawabku dengan sedikit heran karena ternyata sedang heboh perseteruan antar gender di generasi muda.
“Itulah! Ada yang bilang semua lelaki itu pasti salah. Kalau semua salah, bagaimana dengan Nabi? Nabi lelaki loh! Lalu kalau lelaki merasa selalu benar, coba saja rasakan hamil. Apa sanggup hamil?! Benar-benar perseteruan tidak berguna”, katanya dengan sedikit emosi.
“Ya iyalah. Kita diciptakan berbeda tentunya karena ada maksud dan tujuan,” jawabku singkat.
“Mana bisa kehidupan ini ada kalau tidak ada laki-laki dan perempuan, saling membutuhkan. Yang penting bagaimana mensyukurinya,” jawabnya dengan bijak.
“Aku bersyukur karena diberikan anak yang sudah mampu berpikir demikian di usia belia. Aku bangga”, pujiku.
“Tapi, aku tetap ada yang tidak aku mau. Aku tidak mau punya ayah lagi,” sambil menatapku serius.
Wow!
“Untuk apa punya ayah lagi, ayahmu sudah ada. Biar bagaimanapun itu ayahmu dan tidak bisa tergantikan. Tidak ada orang lain yang boleh mengklaim sebagai ayahmu, karena bukan darah dagingmu. Tapi, apa tidak boleh bila aku ingin memiliki teman hidup? Sebentar lagi kalian dewasa dan pergi, aku sama siapa?!”, tanyaku penasaran.
“Dirimu tidak sendiri. Ada Allah. Kapanpun mau bicara, bicara saja sama Allah,” katanya lagi-lagi dengan tegas.
“Tentunya berbeda bicara dengan Allah dan dengan manusia. Sebagai manusia kita tetap butuh orang lain, paling tidak untuk berbagi dan bercerita. Apakah dirimu bisa bila tidak memiliki teman?
Tentunya ada banyak hal yang hanya bisa dirimu lakukan bersama teman dan bicarakan dengan teman, meski ada aku dan saudaramu,” kucoba untuk membuatnya berpikir lebih jauh.
“Ya sih, tapi coba aku pikirkan lagi,” sembari bebenah dan lalu langsung masuk ke dalam kamar.
Tidak kulanjutkan, kubiarkan dia berpikir. Ini masalah konsistensi pemikiran, soal kehidupan yang tidak sempurna, perbedaan gender, dan keinginan yang ternyata sulit untuk dihadapi dengan bijak ketika ada keinginan. Biarlah dia belajar berpikir dan menjadi lebih bijaksana.
12 Oktober 2021
0 Comments