Canting Batik Sebagai Medium Interaksi Budaya

Oct 27, 2021 | Ragam

Visits: 0

“Canting untuk membatik bukan sekadar alat, tapi bisa berfungsi sebagai medium interaksi antar budaya. Falsafah canting batik seharusnya seperti itu dalam alam pikiran manusia Indonesia,” kata Itock Van Diera, Enterpreneur dan Creative Director, ketika berbincang hangat dengan tintaemas.co.id di Yogyakarta beberapa hari lalu.
Menurut Itock, banyak orang hanya memandang sempit canting dan batik sebagai produk dan alat belaka yang mewakili akar budaya Jawa.

“Canting bisa menjadi alat untuk menghaluskan budi, misalnya orang Batak yang berkarakter keras, semoga bisa menjadi sedikit halus ketika harus sabar dalam menorehkan canting ke atas kain batik, agar hasilnya bermutu tinggi. Begitu pula sebaliknya. Juga, oleh suku-suku lain di Indonesia yang dapat juga menggunakan canting sebagai medium untuk berkreasi dan menghaluskan budi dengan batik khas masing-masing daerah,” tambah Itock.

“Batik sebagi produk budaya juga bisa untuk memajukan daerah lain di Nusantara dengan juga memproduksi batik khas masing-masing daerah. Apalagi akan bagus sekali jika kelak muncul khas Batik Nusantara,” lanjut Itock yang agak enggan ketika dijuluki sebagai budayawan, dan pembatik.

Itock menyebutkan falsafah canting ketika menceritakan perjuangannya sewaktu memperkenalkan “Batik Batak” di Sumatera Utara, juga “Batik Aceh”. Karena memang lahir dan besar di Medan, maka Itock terinspirasi untuk menciptakan Batik Batak sebagai hasil kreatifitas dan olah budayanya demi kemajuan khazanah batik Nusantara.

“Sewaktu di Medan sempat mengadakan pameran “Batik Batak” di tiga tempat di Medan, dalam waktu yang berlainan. Sukses, namun ada satu tempat yang gagal dilaksanakan karena alasan-alasan tertentu,” Kenang bapak dua orang anak ini.

Alasan tertentu itulah yang membuat Itock menyimpulkan bahwa manusia Indonesia selain harus berpola pikir maju dan non sektarian, juga menjaga ruang budaya dengan kelapangan hati dan keluasan wawasan.

“Menjadi manusia Indonesia seutuhnya dengan menjaga marwah budaya lokal tidak harus dikalahkan oleh ego sektoral dan kepentingan sempit yang tidak rela jika kesuksesan dalam promosi budaya juga akan diterima oleh pihak lain yang meneruskan keberhasilan promo produk batik suatu daerah, misalnya,” cetus Bapak parlente menjelang usia 60-an tapi tetap tampak seperti usia 40-an.

“Manusia Indonesia yang berbudaya adiluhung tidak boleh dikalahkan oleh hal-hal “remeh temeh”, apalagi berbau politik kepentingan,” imbuhnya.

Namun Ayah dari Evan dan Nadira – dua buah hati mas Itock – bersyukur pula bisa singgah di Daerah Istimewa Aceh, dan sempat berkarya dengan mempopulerkan “Batik Aceh”.

“Di Aceh sempat dipikirkan menciptakan motif Batik Aceh dengan mengambil pola dari terumbu karang yang ada di dasar laut sekitar Pulau Sabang. Sampai harus belajar diving dengan kawan lokal di Sabang,” kata Itock lagi.

Nama Itock Van Diera sempat “ngetrend” di Aceh sebagai seniman yang hendak menciptakan “Batik Aceh”, hingga pers Aceh menyebutkan bahwa Itock mengambil inspirasi motif Batik Aceh dari dasar laut.

“Namun lebih geger lagi ketika inspirasi motif Batik Aceh juga hendak diambil dari gambar bunga-bunga khas suatu makam paling tua di Banda Aceh. Dan pers di sana menulis bahwa Itock kali ini akan mengangkat motif Aceh dengan mengambil inspirasi dari dalam tanah!” ujar Itock sambil terbahak.

“Tapi itu artinya orang menghargai upaya kita untuk berkreasi dalam ruang budaya yang mempunyai banyak dimensi,” bela Itock lagi.

(Bersambung)

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This