Adakah orang yang tidak pernah berbohong? Sepertinya tak seorang pun yang luput dari berbuat bohong. Termasuk saya. Jadi wajar kan jika kita pernah berbohong, apa pun alasannya sekalipun “white lies” atau berbohong demi kebaikan. Tapi bagaimana bila berbohong itu kemudian menjadi candu?
Seorang Psikolog dari Universitas Sebelas Maret, Laelatus Syifa, menulis di sebuah surat kabar tentang motif orang berbohong. Menurut Syifa, “Manusia berbohong dalam konteks hubungan sosialnya bisa memiliki tujuan untuk kebaikan atau keburukan, misalnya penipuan.”
Sebuah kisah nyata baru-baru ini mengungkapkan : Seorang ibu yang merupakan orang tua murid di sebuah sekolah sedang diburu oleh sesama orang tua murid lainnya karena dia melarikan semua uang kas kelas yang dipegangnya selaku bendahara. Kini dia seakan menghilangkan dirinya sendiri.
Saat pertama ditanya laporan keuangan dia berdalih tengah sibuk jadi belum sempat membuat laporan keuangan. Selanjutnya saat ditanyakan jumlah uangnya ia hanya menjawab kurang lebih jumlahnya sekian tanpa menyebutkan angka pastinya. Saat uang itu diminta untuk dialihkan ke rekening orang tua murid lainnya dia beralasan laporan keuangannya belum lengkap selain itu dia juga sedang sibuk karena ada hajatan di luar kota. Saat ditagih lagi, alasannya dia sedang sakit karena kelelahan sepulang dari luar kota. Setelah itu mulai susah dihubungi. Pesan melalui WA tidak dibalas, ditelepon tak diangkat. Bahkan saat pembagian raport anaknya pun dia tak datang ke sekolah.
Setelah beberapa hari dia berkabar pada wali kelas bahwa dia terkena Covid 19 bahkan saturasinya rendah mencapai 70 hingga tidak bisa megang HP lama-lama dan masih sesak pula. Maka wali kelas pun segera mengumumkannya di grup orang tua murid. Seketika semua merespon sekaligus mendo’akan agar segera pulih kembali.
Meskipun tetap mendo’akan namun ada beberapa orang merasakan kejanggalan. Mungkinkah orang yang terkena covid dengan saturasi 70 masih bisa mengetik pesan di HPnya bahkan dengan panjang lebar? Bukankah biasanya dengan saturasi rendah seperti itu seorang pasien Covid 19 sudah berada di ICU dan dipasangi alat bantu ventilator? Tidak mungkin ia dapat megang HP. Karena beberapa kejanggalan itulah pada akhirnya dilakukan penyelidikan.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa ternyata di rumah sakit yang katanya tempat dia dirawat tidak terdaftar namanya. Lebih mencengangkan lagi saat datang ke rumahnya. Menurut suaminya, istrinya itu baik-baik saja dan saat itu sedang keluar rumah. Kini terbuktilah bahwa Ibu yang sedang dicari itu telah melakukan kebohongan. Bahkan tak tanggung-tanggung bohongnya itu. Covid 19 yang sedang ditakuti hampir di seluruh dunia, dimanfaatkan untuk kebohongannya. Kepepetkah dia hingga segala alasan dipakainya untuk berbohong?
Kiranya kasus tersebut sejalan dengan sebuah studi yang menyatakan bahwa orang cenderung lebih sering berbohong ketika ia tengah terdesak oleh waktu atau kepepet. Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku tidak jujur.
Studi lain yang dilaporkan dalam sebuah jurnal Psychological Science juga mengungkapkan bahwa ketika orang harus bertindak cepat, maka seseorang akan melakukan semua hal yang ia bisa dilakukan untuk mengamankan dirinya, salah satunya dengan berbohong.
Ternyata oh ternyata berdasarkan kabar yang diperoleh, tidak hanya sekali Ibu itu melakukan berbagai kebohongan. Meminjam uang kepada beberapa temannya dengan berbagai alasan kemudian kabur serta beberapa kasus penipuan lainnya. Sepertinya dia telah kecanduan menipu dan berbohong.
Begitulah ketika orang berbohong maka ia akan mencoba berbohong lagi dan terus berbohong hingga kecanduan. Salah satu artikel kesehatan mengungkapkan sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal “Nature Neuroscience” tentang orang berbohong yang tak hanya cukup sekali saja.
Para ahli menyatakan bahwa kebiasaan berbohong tergantung dengan respon otak seorang individu. Jadi saat seseorang berbohong maka bagian otak yang paling aktif dan bekerja ketika itu adalah amigdala. Amigdala merupakan area otak yang berperan penting dalam mengatur emosi, perilaku, serta motivasi seseorang.
Pada saat seseorang berbohong pertama kalinya, maka amigdala akan menolak perilaku yang orang itu lakukan dengan menimbulkan respon emosi. Respon emosi ini dapat berupa rasa takut yang muncul ketika berkata bohong. Namun saat tidak terjadi hal yang buruk setelah berkata bohong maka amigdala akan menerima perilaku itu dan kemudian tidak lagi mengeluarkan respon emosi, yang sebenarnya dapat mencegah orang itu berbohong untuk ketiga kalinya.
Ketika seseorang berbohong, berbagai fungsi tubuhnya bereaksi. Reaksi tersebut dapat berupa detak jantung terasa lebih cepat, berkeringat lebih banyak, bahkan hingga gemetaran. Semua reaksi itu menandakan bahwa otaknya merespon kebohongan yang diucapkan sebelumnya. Orang itu merasa takut ketahuan dan berakibat buruk baginya. Hal tersebut menjadikan otaknya melawan dan akhirnya muncullah berbagai perubahan fungsi tubuh itu. Namun jika dia melakukannya berkali-kali – apalagi ketika kebohongan pertama berhasil – maka otak justru beradaptasi dengan kebohongan yang dia lakukan.
Lantas bagaimana pengaruh kebohongan itu pada orang yang bersangkutan? Studi lainnya mengungkapkan bahwa berbohong bisa berdampak terhadap kesehatan seseorang. Berbohong bisa menimbulkan stres, kecemasan dan masalah lain. Karenanya jika seseorang tidak berbohong maka kondisi kesehatannya juga akan menjadi lebih baik. Ketika seseorang diminta berhenti berbohong maka gejala sakit kepala, sakit tenggorokan, ketegangan dan kecemasan berkurang.
Bagaimanakah cara mengatasi orang agar tidak suka berbohong? Seorang lmuwan psikologis Shaul Shalvi dari University of Amsterdam menyarankan, jika seseorang memiliki lebih banyak waktu maka ia bisa mengarahkan sesuatu untuk membatasi jumlah kebohongannya dan menahan diri dari tindakan yang curang. Untuk meningkatkan kemungkinan perilaku jujur, penting untuk tidak mendorong atau menyudutkan seseorang melainkan memberinya waktu. Hal ini karena semua orang tahu bahwa kebohongan adalah sesuatu yang salah dan yang dibutuhkannya hanya waktu untuk melakukan hal yang benar.
Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah kebohongan, sebab kebohongan menggiring kepada keburukan, dan keburukan akan menggiring kepada neraka. Dan sungguh, jika seseorang berbohong dan terbiasa dalam kebohongan, hingga di sisi Allah ia akan ditulis sebagai seorang pembohong.”
“Dan hendaklah kalian jujur, sebab jujur menggiring kepada kebaikan, dan kebaikan akan menggiring kepada surga. Dan sungguh, jika seseorang berlaku jujur dan terbiasa dalam kejujuran hingga di sisi Allah ia akan ditulis sebagai orang yang jujur.” (HR Abu Dawud).
Mungkin kita pernah bohong namun berusaha tidak mengulanginya lagi. Sekali pun kita bohong pun semoga semata-mata demi kebaikan. Sehingga tidak ada lagi istilah bahwa kebohongan adalah candu.
(NR/Oktober 2021)
0 Comments