Burangrang, Gunung Gigi Satu #1

Dec 7, 2021 | Essai

Seperti motor gigi yang harus menggunakan gigi satu untuk jalan menanjak, begitu pula mendaki gunung burangrang yang memaksa kaki melewati batas maksimal.

Mundur sedikit sebelum mendapat kesan burangrang.

Akhir – akhir ini entah mengapa saya jadi sering bertemu dengan kawan lama saya, kawan sejak kecil bahkan sebelum sekolah. Setelah basa – basi dengan pertanyaan kesehatan, pekerjaan, dan status perkawinan temanku initiba tiba bilang “umur udah seperempat abad tapi masih belum punya hobi, hidup rasanya hampa cuma kerja, makan, dan tidur tiap hari.” Aku hanya tertawa mendengarnya, karena kebanyakan orang yang kutemui malah sibuk mencari pekerjaan, ini malah cari hobi.

Sampai di satu perbincangan tentang hal mistis lalu berujung pada kemping dan mendaki gunung. Seolah tersambar petir, dia langsung berkata “pengen hobi naik gunung.” Kembali aku tertawa dengan ucapannya yang menganggap hobi seperti jadwal acara.

Minggu depan sepulang sholat Jumat kembali aku bertemu ke rumahnya, ditawarinya aku makan dan kuterima karena dipaksa. “Do, sabtu tanggal 28 November kita ke gunung Burangrang” ucapnya sambil makan, “hah, aslian? Hayu” jawabku. Sebenarnya aku menyarankan latihan fisik dahulu sebelum mendaki gunung, ya minimal lari, mendaki bukit naik turun atau kemping ceria terlebih dahulu.

Tapi seperti orang kemaren sore yang baru daftar pelatihan beladiri, besoknya sudah merasa jago dan percaya diri menghantam Mad Dog, dia juga menganggap Burangrang hanya 2050 mdpl tidak terlalu tinggi. Aku sih yes aja.

Sehari sebelum berangkat aku mengirim pesan singkat kepadanya untuk menyiapkan barang yang perlu dipersiapkan dan perlu disewa. Hari ini kami siap berangkat, raut wajahnya ceria dan penuh semangat. Tiga puluh menit perjalanan dari Cimahi menuju basecamp Burangrang menggunakan sepeda motor. Tiket masuk Rp15.000/orang dan parkir Rp10.000/motor, kami sudah bisa mulai mendaki. Stamina yang masih baik membuat pejalanan dari basecamp sampai pos 2 terasa ringan walaupun beban carrier mungkin sekitar 5 kg lebih. Mulai dari sini perjalanan bukan lagi jalan – jalan.

Langit agak mendung di pos 2, beberapa pendaki sudah ada yang membangun flysheet karena hujan sudah rintik. Kami ikut berteduh sejenak sampai akhirnya meyakinkan diri untuk melanjutkan perjalanan meski agak gerimis.

Menuju pos 3 jalur pendakian penuh tanah dan akar pohon, masih normal saja. Sampai di pos 3 kawanku mulai mengerutu karena sepatunya licin dan membuatnya terpeleset berkali – kali.

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This