Bulan Bahasa: Kembalinya Bahasa Indonesia Sebagai Pilar Pendidikan

Oct 30, 2021 | Opini, Pendidikan

Oleh: Arifiani Amalia, Guru SMAN 8 Malang

Oktober selalu riuh diperingati sebagai bulan bahasa. Banyak sekolah mengadakan perayaan lomba berbau bahasa, entah itu baca puisi, story telling, macapat, drama monolog, atau menulis cerpen. Meriahnya perayaan bulan bahasa menandakan kreatifitas anak masih sangat tinggi.

Menilik sejarahnya, bulan bahasa berawal dari Kongres Pemuda II yang diselenggarakan pada 28 Oktober 1928 dan kini kita mengenalnya dengan Sumpah Pemuda. Pada hari itu, bahasa Indonesia dicanangkan sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional. Momen tersebut kemudian melahirkan Bahasa Indonesia dengan kemunculannya di awal abad 20 sebagai salah satu bahasa yang termuda di dunia. Tata bahasa yang sederhana, tidak adanya pembedaan jenis kelamin dalam penempatan kata kerja maupun kata ganti orang, dan banyaknya kosakata serapan yang diakomodir dari bahasa asing yang lebih dulu muncul, menjadikan bahasa Indonesia mudah untuk dipelajari. Terbukti, beberapa kampus di negara-negara maju memilih Bahasa Indonesia sebagai salah satu program studi. Para pengajar BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) belakangan cukup kewalahan menerima murid yang belajar bersama native speaker.

Salah satu SMA di kota Malang yakni SMA 8, punya gawe setiap Oktober. Adalah siswa-siswi peminatan program Bahasa, pemrakarsa berdirinya Languange Festival (L-Fest). L-Fest yang diselenggarakan di tingkat kota ini telah banyak menyedot perhatian publik karena perlombaan yang digelar tiap tahun cukup variatif. Hal ini patut diapresiasi, karena dengan adanya L-Fest, setidaknya anak masih ingat akan sejarah bulan bahasa.

Di zaman serba digital seperti sekarang ini dan masih diliputi badai pandemi, mengadakan suatu kegiatan yang menonjolkan “ruh” atau akar sejarah, bukan perkara mudah. Seperti pada peringatan bulan bahasa. Idealnya semua lomba (karena bertujuan mengenang peristiwa sumpah pemuda), berbahasa satu yakni bahasa Indonesia. Misalnya lomba baca puisi, mendongeng, sambung pantun, cerpen, drama. Idealnya ya. Tapi kita tidak bisa menafikan zaman. Tentu selain bahasa Indonesia, anak mendapatkan mata pelajaran bahasa asing dan bahasa daerah di sekolah. Bahkan bisa jadi di lingkungan rumah, anak tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu melainkan bahasa daerah atau bahkan bahasa asing.

Hal ini tampak pada beberapa mata lomba yang digagas panitia generasi Z ini. Spelling Bee, Story telling, yonkoma manga challenge (komik strip Jepang), di antara lomba lainnya.

Maka dari itu, anak sebaiknya dibina dan diberi pemahaman, agar dalam menyelenggarakan mata lomba tidak yang berbau asing saja tapi juga harus terselip lomba-lomba berbahasa Indonesia dari khazanah sastra Indonesia karena memang akar sejarah bulan bahasa adalah peristiwa sumpah pemuda.

Tidak dapat dipungkiri bahasa Indonesia banyak dibangun oleh kosakata serapan, baik adopsi langsung, adaptasi, maupun proses terjemahan. Sebagian besar kosakata dalam bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Belanda, negara asing yang menduduki Indonesia selama 3,5 abad. Selain bahasa Belanda, terdapat serapan dari bahasa Melayu (Malay), Sansekerta, Jawa, Cina (Mandarin dan Hokkian), Arab, Inggris, Perancis, Portugis. Perhatikan saja kalimat sederhana yang biasa diucapkan sehari-hari.

Mama duduk di kursi halte.”

Mama diadopsi langsung dari bahasa Mandarin “ma ma”, kursi diadaptasi dari bahasa Arab “kursiyun”dan halte diadopsi dari bahasa belanda “halte”.

Jadi, menyikapi “mendua” maupun “mentiga”nya generasi muda terhadap keberadaan bahasa Indonesia sekalipun perayaan Bulan Bahasa begitu meriah, tidak perlu risau. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak akan tergeser oleh bahasa-bahasa asing maupun bahasa daerah. Di berbagai acara resmi, bahasa Indonesia adalah pilihan pertama. Kita hidup di Indonesia, secara naluri alamiah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu pertiwi. Sebagaimana bayi bisa menerima ASI maupun susu formula (sufor), tetap ASI adalah nomor satu.

Baca Juga

0 Comments
  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This