Aku berlari secepat mungkin, meski napasku hampir hilang karena lari begitu cepat. Aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari sebuah tempat yang akan kutuju secepat mungkin. Sekitarku sepi, tidak ada seorang pun, membuat jantungku berdetak kencang. Aku pun memutuskan berhenti sejenak untuk mengambil napas, kemudian lanjut berjalan cepat.
Mataku menangkap sebuah bangunan tua, tempat yang benar-benar kutuju. Berdasarkan petunjuk, ternyata benar memang bangunan itu yang dimaksud. Bangunan tua bercat hijau pucat, yang memiliki halaman gersang. Bangunan kecil itu adalah rumah peninggalan Nenek. Aku sesegera mungkin ke rumah tersebut karena suatu tujuan.
“Neng, mau ngapain?” Tanya seseorang wanita paruh baya, berbisik. “Di daerah sini banyak pembunuh. Hati-hati, Neng.”
Aku mengangguk. Itulah mengapa aku berlari, karena kabar pembunuh yang memasuki daerah sini sudah menyebar. Banyak penduduk daerah yang berdiam diri di rumah, sampai pembunuh itu sudah pergi. Aku memutuskan ke rumah Nenek untuk mengambil barang-barang peninggalannya yang akan kusimpan nantinya.
Aku membuka pintu reyot itu, terbatuk kecil ketika debu-debu rumah itu memasuki hidung. Aku menyapu seluruh rumah, yang masih aman tanpa ada perubahan. Berarti memang tidak ada orang yang masuk ke rumah ini.
Aku menyusuri sudut rumah, mencari sebuah buku catatan peninggalan Nenek. Buku itu spesial, aku tidak mau ada yang mengambilnya. Nenek suka sekali menulis tentang apapun di buku itu. Buku bersampul cokelat dengan tulisan indah khas Nenek. Ah, orang dulu memang pandai menulis indah.
Mataku sedikit melebar ketika melihat buku yang kumaksud itu tersimpan rapi di lemari kaca. Aku tersenyum lebar, hendak berjalan menuju lemari kaca tersebut. Namun tiba-tiba, suara langkah kaki memasuki pendengaranku. Aku sedikit tersentak, sesegera mungkin mencari tempat persembunyian. Aku memutuskan bersembunyi di bawah meja makan, berharap seseorang itu tak melihat keberadaanku.
Aku melihat seorang perempuan yang memasuki rumah Nenek. Ia nampak mencari sesuatu entah barang apa. Aku melihat pandangannya mengarah ke lemari kaca tersebut. Tentu aku tak bisa membiarkan hal tersebut. Dengan tangan bergetar, aku mengambil sebuah tongkat kayu yang tergeletak tak jauh dariku. Aku mengendap-endap, berjalan sepelan mungkin, sampai akhirnya aku memukul kepala perempuan tersebut hingga terjatuh pingsan.
Aku menghela napas, berjongkok. Menempatkan jariku di depan hidungnya, memeriksa apakah napasnya masih berjalan. Aku membuka lemari kaca, tersenyum lebar. Mengambil buku catatan Nenek, kemudian memeriksanya sebentar.
Aku meletakkan tongkat kayu itu, tersenyum miring. Menatap tubuh perempuan yang tergeletak di lantai. Aku melepaskan kunciran rambut, menggerai rambut serapi mungkin, mengeluarkan masker hitam serta kacamata hitam dan mengenakannya.
Aku tertawa puas, “Tidak ada yang bisa menghalangiku. Buku ini, milikku,” ujarku, memandang Lina, kembaranku yang tak sadarkan diri. Aku memakai sarung tangan, mengikatkan rambut Lina menggunakan kunciran yang kupakai tadi. Kemudian, berjalan meninggalkan rumah Nenek, berlari secepat mungkin keluar dari daerah tersebut. Memasang target selanjutnya.
0 Comments