Tidak ada orang yang terlahir menjadi benar-benar bodoh kecuali memang diberikan anugerah demikian. Setiap orang yang terlahir “normal” diberikan kesempatan memilih untuk menjadi pintar dan cerdas atau tetap bodoh. Bukan soal sekolah atau tidak, kaya atau miskin, di pedalaman atau kota besar, ilmu pengetahuan bisa didapat dari mana saja. Menjadi pintar atau bodoh adalah pilihan yang ditentukan oleh diri sendiri.
Banyak yang merasa bodoh dan banyak juga yang merasa pintar. Keduanya sama saja, meski bodoh pun sebenarnya takut dianggap bodoh, dan yang pintar lalu keblinger sehingga akhirnya jadi bodoh pula. Lucu memang, tetapi sebenarnya miris dan sama sekali tidak lucu, sebab bisa sama-sama menghancurkan dan merusak karena ilmu pengetahuan itu sendiri menjadi sekedar objek untuk eksistensi dan pengakuan diri.
Sekolah tinggi dengan sederet gelar, pengalaman, jabatan, status sosial juga tidak menjamin seseorang benar pintar, cerdas, dan berilmu. Buktinya, dunia ini justru semakin kacau balau dan banyak masalah. Adab dan etika saja semakin ditinggalkan, daya baca dan daya bahasa semakin hancur. Padahal, kemampuan intelektualitas tertinggi justru di daya baca dan daya bahasa, yang tidak hanya mengandalkan nalar atau IQ semata, tetapi juga dengan keseimbangan kemampuan menggunakan hati.
Pemahaman logika yang diyakini bahwa bila sudah “pakai otak” maka sudah logis, justru tidak logis dan bagian dari pembodohan. Otak hanya berisi data dan otak hanya sebesar itu saja, lipatan dalam otak terbatas, belum lagi kemampuan untuk memanfaatkan otak secara maksimal tidak semudah itu. Otak, toh, bisa menipu diri sendiri.
Sementara hati besarnya tidak bisa dihitung besar dan luasnya dan bisa berisi ilmu yang tidak terbatas. Logika hati yang diabaikan membuat nalar tidak bisa bekerja dengan seimbang, hanya soal persepsi, asumsi, dan sudut pandang pada akhirnya. Yang disebut logis, menurut saya pribadi, justru bila logika otak dan logika hati sudah sama-sama digunakan dengan seimbang dan sebaik-baiknya. Akal boleh sehat, hati yang rusak tetap bikin rusak juga, kan?!
Untuk benar pintar, cerdas, dan berilmu, tidak hanya butuh teori-teori dan keyakinan semata. Harus ada yang namanya keinginan dan upaya untuk bisa mendapatkan semua itu. Jika malas, tidak sabar, apalagi tidak konsisten, mana bisa?! Jika hanya ikut-ikutan, yakin begitu saja, pasrah menerima tanpa mau berpikir lebih jauh dan mendalam, mana mungkin bisa?! Budaya yang diyakini benar, dianggap sudah sejalan dengan norma, adab, dan etika saja bisa salah. Apa yang benar dan salah pun tidak dipikirkan, bagaimana mau semakin baik kehidupan dan masa depan?!
Pandemi membuka banyak mata, terutama mereka yang menyadari bobroknya sistem pendidikan yang ada. Pembodohan merajelela dan semakin tidak terkendali bila tidak ada kesadaran dari diri pribadi masing-masing. Memang tidak mudah untuk mengakui salah dan berani melawan apa yang salah untuk mendapatkan kebenaran dan maju ke depan. Lebih mudah pasrah dan menyerah, dengan berbagai alasan, hanya karena takut menghadapi perubahan. Kenyamanan yang selama ini dirasakan bahkan untuk bertahan hidup, sulit untuk dikalahkan oleh diri sendiri.
Kesempatan begitu besar dan jangan melulu salahkan tiada ada kesempatan, uang, atau waktu. Menjadi bodoh adalah pilihan dan tidak perlu menyalahkan siapapun selain diri sendiri. Usia pun tidak menjadi kendala, menuntut ilmu sebagai sujud dan hormat kepada yang Maha Kuasa hendaknya dilakukan sepanjang nyawa masih di kandung badan. Takdir tidak bisa diubah tetapi nasib ditentunkan oleh keputusan dan langkah yang kita ambil. Allah Maha Adil dengan memberikan kita kemampuan untuk memilih.
Bandung, 14 Oktober
0 Comments