Sudah tanggung, tidak ada jalan untuk mundur, mau apalagi jika tidak diteruskan saja? Mundur salah maju masih ada kesempatan untuk semakin mabuk. Bukan hanya kepalang mabuk, tapi benar-benar sudah kepayang! Pilihan nasib keledai durjana, biarkan mabuk dan tetap tuna mikir non kemaluan.
Mengutip kalimat yang diuraikan oleh Jalaluddin Rumi, “Dulu saya pintar, saya ingin mengubah dunia. Kini saya bijaksana, saya ingin mengubah diri saya sendiri”, membuat saya teringat dengan kisah tentang seseorang yang juga memiliki keinginan sama, yaitu mengubah dunia. Dia berhasil sukses terkenal dan dianggap hebat, tapi gagal mengubah dunia ini menjadi seperti yang dia inginkan. Lalu dia pun kembali ke negaranya dengan niat mengubah negerinya menjadi lebih baik. Kembali sukses untuk urusan harta, jabatan, dan nilai-nilai di mata rakyatnya tetapi dia tetap gagal mengubah negerinya sesuai harapan. Dia pun kembali ke keluarga, namun terlambat. Istri dan anaknya sudah tidak peduli dan tidak menghormati, mengabaikan semua jerih payah yang diberikan. Mereka meninggalkan dia dengan kehinaan. Tiga hari sebelum wafat, dia baru tersadar bahwa semestinya yang dia ubah adalah dirinya sendiri, bukan yang lain.
Hal ini sejalan dengan kalimat yang terurai di dalam kitab suci, bahwa seorang pemimpin adalah cermin dari rakyatnya sendiri. Dan, tidak ada yang bisa mengubah nasib kaumnya, kecuali mau mengubahnya sendiri. Allah pun tidak mau mengubah bila terus saja bersikukuh tanpa ada kesungguhan untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Lantas untuk apa berupaya keras mengubah para keledai durjana?! Tidak ada guna, meski sudah diingatkan dan diberitahu, bila tetap ingin demikian, bagaimana bahkan Allah mengubahnya?!
Marah, kesal, protes pun sudah tidak ada guna meski wajar dilakukan bila lupa untuk mengubah diri sendiri terlebih dahulu. Percuma selalu merasa lebih pintar, baik, dan benar sebab semua manusia tidak ada yang tidak pernah berbuat salah. Semua pasti pernah berbuat salah, tetapi memang sulit untuk berani mengakui apalagi mau belajar dari kesalahan untuk berbuat benar. Lebih mudah menunjuk jari, menyalahkan yang lain, dan terus saja berusaha keras menutupi, menghilangkan, dan menghapus kesalahan sendiri. Semakin keras justru semakin nampak di mana kelemahan dan kesalahannya, bila cerdas dalam berpikir menggunakan logika hati. Bila hanya sebatas nalar, ya terbatas sudut semata.
Bila sekarang para keledai durjana ini mabuk dan terus mabuk-mabukkan, itu adalah pilihan mereka sendiri. Memang kita merasakan akibat dan penderitaan, tetapi bersyukur tidak menjadi seperti mereka. Nampaknya saja sukses, hebat, banyak harta, tetapi benarkah mereka bahagia?! Bila bahagia, mereka tidak perlu ketakutan kehilangan segala yang mereka miliki. Bila benar kaya, mereka berhenti rakus dan tamak, tidak perlu ingin memiliki segalanya dengan berbagai cara. Tidak perlu harus berebut kedudukan dan jabatan, apalagi sampai membangun “kerajaan”.
Teman apalagi sahabat, mereka tidak punya. Sekeliling mereka penuh dengan ambisi dan kepalsuan serta kepentingan. Bodoh saja bila mereka merasa senang dengan segala puja dan puji para penjilat, memang begitulah bila sudah mabuk. Berpikir sudah tidak mampu, pusing di kepala sudah tidak lagi dirasakan, yang penting “enjoy dan happy”. Masalah dianggap mainan belaka dan dianggap mudah. Jangankan menyelesaikan masalah, tahu inti masalahnya pun tidak.
Pertanyaannya, “Sampai kapan?”.
Jawabannya bukan entah sampai kapan, tetapi bila diri kita sendiri sudah mau dan benar-benar berusaha mengubah diri menjadi lebih baik. Bukan hanya sekedar bicara, beri nasehat, dan berlagak baik apalagi merasa benar terus. Tidak perlu muluk-muluk, dari yang kecil sajalah: “Belajar MENULIS dengan tulus dan ikhlas dan dengan segala kerendahan hati sebagai hormat kepada Yang Maha Kuasa”. Tidak perlu takut akan nilai-nilai manusia, atau mendapatkan eksistensi ketenaran dan uang, bukan untuk alasan lain selain hanya karenaNya. Dengan menulis, bukan hanya meningkatkan daya baca, daya bahasa, memudahkan menyerap ilmu, melawan pembodohan, tetapi juga untuk mampu menemukan masalah dan solusinya. Gunakan hati, bukan sekedar akal! Berani?!
Tidak bisa?! Belum dicoba sudah menyerah. Baru soal menulis, bagaimana untuk hal yang lebih berat?! Apa bedanya dengan para keledai durjana yang terus mabuk dan tidak mau berubah?! Apa sudah kepalang dan kepayang juga?! Bagaimana mau berubah nasib negeri ini jika hanya menjadi kepala pentul korek api yang mudah dibakar lalu hangus, dan tetap berkepala seperti bola sepak yang ditendang sana sini untuk kemeriahan sorak sorai para pemain dan penonton?! Apa tidak malu?! Jangan-jangan sudah hilang kemaluan juga. Duh!!!
Manusia tetap manusia, tidak ada yang mampu menjadi malaikat. Tidak usah berlebihan dan bermain drama seperti pemain sinetron. Bercermin saja dulu dan berani mengakui bayangan yang muncul tanpa harus ada polesan dan apalagi editan. Biarkan saja keledai durjana itu mabuk terus, yang penting diri sendiri terus berusaha berubah menjadi lebih baik.
Bandung, 19 Oktober 2021
0 Comments