Banyak yang merasa miskin, susah, dan tidak memiliki apa-apa, lantas mengeluh berkeluh kesah seolah paling menderita di dunia. Sementara ada banyak yang di luar sana, jangankan untuk sekolah, makan pun harus mengais dari sisa-sisa sampah. Tidak ada keluarga apalagi teman yang mau mendekat, semua menjauh. Demikian sulitnya manusia bersyukur.
Teringat dengan sebuah rumah kumuh berukuran tidak lebih besar dari kandang kambing rumah-rumah di kampung. Reyot dan lapuk. Penghuninya sembilan orang, kakek dan nenek, anak dan istri, serta lima orang anak berusia 2 hingga 11 tahun. Tidak ada yang bekerja dan sekolah, semua dalam keadaan sakit keras.
Tidak ada yang tahu bila seorang satpam tidak mengecek. Rumah kumuh itu berada di pinggiran perumahan orang-orang kalangan menengah dan di atas tanah kosong yang barangkali sudah lama tidak diawasi pemiliknya. Biasanya keluarga ini mendapatkan penghasilan dari kerja serabutan, mulai dari tukang kebun, cuci baju, pembantu rumah tangga, juga menjual sedikit hasil tanaman yang mereka tanam di sekitar.
Semua terhenti ketika mereka semua tertular TBC dan karena tidak mengerti atau karena tidak ada biaya, mereka tidak memeriksakan diri. Pertolongan datang terlambat, hanya empat orang anggota keluarga saja yang selamat, yang lain berpulang ke Sang Khalik. Ayah dan tiga orang anak harus berjuang kembali menata hidup bahkan setelah dinyatakan sembuh. Rumah mereka yang tidak layak, tidak lagi bisa digunakan. Entah ke mana mereka kemudian, siapakah gerangan yang membantu?!
Ini bukan cerita fiksi tetapi nyata dan bukan juga sekedar cerita yang didengar dari mulut ke mulut. Andai banyak yang tahu, apakah masih juga merasa sudah paling menderita sedunia? Apakah masih merasa iri dengan mereka yang diberikan kehidupan lebih baik?! Melihat ke atas tetapi menolak mengakui yang di bawah, sama saja artinya tidak peduli dan tidak mau bersyukur.
Memang lebih asyik melihat ke atas dan memiliki segala keinginan-keinginan, merasa serba “kurang”. Namun, bila berani mengakui dengan kepedulian dan kejujuran serta kerendahan hati, begitu banyak yang sesungguhnya patut untuk disyukuri. Jika benar tidak memiliki apa-apa, tentunya tidak akan pernah sanggup berfoya-foya untuk hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu dan berlebihan. Mengaku susah dan tidak mampu, tetapi berani buang uang dan bahkan berhutang untuk kemewahan meski merasa sederhana.
Malu hati ini, pada diri sendiri. Belajar bersyukur tidak mudah, bersyukur memang tak semudah mengeluh. Sederhana bukan soal harta dan kepemilikan benda atau makanan, kesederhanaan dalam bersikap dan berperilaku, sangat menentukan keputusan. Bila masih suka dunia dan memprioritaskan nilai dunia, mengapa tidak berani mengaku? Sombong sungguh penyakit yang melenyapkan kemampuan bersyukur.
Introspeksi diri.
8 November 2021
0 Comments