Gelap terlalu kelam bila dibiarkan tanpa terang. Terang yang meski hanya setitik tidak semestinya diabaikan. Semua yang hidup ada akhirnya, untuk apa hidup bila tidak menjadi yang berguna dan bermanfaat. Indonesia butuh rakyatnya untuk bergerak maju, bukan diam dan sabar untuk sesuatu yang salah.
Percakapan yang menegangkan di sebuah senja.
“Serius kamu mau nikah?”.
“Serius! Memangnya kenapa?”.
“Nggak! Saya nggak percaya!”.
“Kok gitu?! Beneran saya mau nikah! Sudah terima undangannya, kan?!”.
“Ini kesalahan fatal! Kalau mau nikah pun, tidak dengan itu orang!”.
“Kenapa?!”.
“Pokoknya nggak! Saya nggak percaya! Ini cuma main-main”.
“Kalau serius dan beneran?!”.
“Saya telanjang di pesta pernikahanmu!”.
“Orang gila! Deal!”.
“Deal!”
“Saya tunggu dirimu datang telanjang di pesta pernikahanku!”.
Klik.
Laras terdiam setelah percakapan itu berakhir. Air matanya mengalir tanpa henti. Ucapan sahabatnya itu benar, sesungguhnya dia tidak ingin menikah, apalagi dengan lelaki itu. Lelaki yang sudah membuatnya hidupnya hancur, lelaki yang sudah memperdaya dan merenggut kehormatannya sebagai perempuan dengan paksa. Hanya karena hormat pada orang tua dan tidak ada pilihan lain untuk berlari, dia menurut.
Kejadian itu sudah berlalu lama. Bukan setahun dua tahun, tapi sudah lebih dari dua puluh tahun lalu. Namun Laras tetap tidak mampu melupakan. Walau maaf sudah diberikan dan tiada dendam, luka dan trauma sulit dihilangkan. Dianggap konyol sebagian besar orang, tetapi bagi yang pernah mengalami, selalu terselip rasa yang sulit untuk dilupakan.
—–
Peristiwa semalam bisa menghancurkan hidup seseorang hingga akhir hayat, bagaimana bila terjadi secara terus menerus dari waktu ke waktu dan tiada berakhir? Rakyat terus diperkosa, dipaksa, dan dirampas segala kehormatan, harga diri, harta benda, dan bahkan jiwa. Diperdaya dan terus ditipu dengan segala tipu muslihat dan dusta. Apa rasanya?! Haruskah terus berlanjut?!
Sudah terlalu banyak duka dan pedih yang dihujamkan, tetapi sepertinya para pemerkosa itu belum juga puas. Mereka justru semakin beringas dan menjadi-jadi. Sudah seperti orang kerasukan setan yang tidak lagi mampu mengendalikan diri dengan segala hawa nafsunya.
Semua ini menjadi bukti bahwa selama ini rakyat sabar untuk apa? Sabar untuk menuruti kehendak yang salah atau sabar untuk kebenaran? Sabar untuk menuruti kehendak yang salah tidak akan berbuah baik, justru membuat semakin hancur. Sabar untuk kebenaran memang jauh lebih sulit untuk dilakukan, tetapi hendaknya mampu dilakukan.
Pasrah bukan berarti menyerah. Butuh keyakinan dan iman untuk mampu terus berjuang di jalan yang benar. Setiap masalah ada solusi, setiap tujuan mesti melewati proses. Pertanyaannya, ke mana kita sesungguhnya hendak menuju? Apa yang sebenarnya kita inginkan?! Mau terus diperkosa atau merdeka?!
Diam bisa menjadi emas, namun pada saat seperti ini diam bukanlah jawaban. Ada masa dan waktunya, justru bergerak dan berbuat yang diperlukan. Meski hanya mampu selangkah demi selangkah, tetapi bila terus dilakukan dengan langkah yang pasti, tujuan bisa tercapai.Bangkitlah Indonesia! Enyahkanlah para pemerkosa itu dari bumi pertiwi! Jangan takut apalagi ragu!Bergeraklah kita bersama!
Merdekalah negeriku!
Bandung, 14 Agustus 2021
Mohon maaf Teh mariska. Saya kok tidak sambung dgn tulisannya. Mungkin karena kurangnya pemahaman saya. Menurut saya cerita petcakapan yg diskhiri dengan akan datang je pernikahan dgn telanjang. Kemiduan merasa hancur katena diperkosa. Dan terssa disuruh bergersk. Kok rupanya ini bukan cerpen. Menurut saya itu tetpisah pisahnya. Tapi dijadikan satu tulisan. Mohon naaf