Persoalan serius UMKM di Indonesia ini adalah soal regulasi dan kebijakan. Selama ini belum ada “affirmative action policy” dari pemerintah yang kongkrit. Selama ini masih slogan saja.
Sebut misalnya soal akses kredit, selama ini ternyata dari program inklusi keuangan yang didorong melalui berbagai regulasi dan kebijakan oleh pemerintah tetap saja yang banyak diuntungkan adalah hanya bankir dan makelar program.
Akses kredit perbankan tak mampu menjangkau mereka, padahal mereka itu jumlahnya paling paling banyak di Indonesia. Meliputi 64 juta pelaku usaha atau 99,8 persen dari jumlah pelaku usaha. Realisasinya dari total rasio kredit yang ada tahun 2020 untuk mereka hanya 3 persen.
Mereka sampai hari ini masih saja jadi korban dari rentenir yang kenakan bunga tinggi hingga 10 – 30 persen per bulan. Nilai tambah ekonomi mereka tersedot habis dan pada akhirnya tidak mampu ciptakan dana cadangan untuk reinvestasi bagi pengembangan usaha mereka.
Seharusnya bank Himbara atau bank BUMN itu bisa dipaksa oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah bekerjasama dengan Bank Indonesia ( BI). Kenapa tidak dikeluarkan kebijakan untuk bank salurkan kredit untuk usaha mikro minimal 60 persen misalnya. Lalu dibuat sanksi yang jelas dan tegas.
Kredit program untuk usaha mikro yang ada terutama KUR ( Kredit Usaha Rakyat) juga tidak sampai pada mereka. Padahal ada komponen subsidi bunga hingga 10 persen dan juga penjaminan kalau macet dari uang pemerintah yang ditempatkan di dua lembaga BUMN penjamin kredit Jamkrindo dan Askrindo hingga 80 persen. Padahal uang tersebut bersumber dari APBN atau uang masyarakat kecil pembayar pajak.
Saya melihat bank BUMN itu sudah kehilangan misi “goverment service obligation” sebagaimana tertuang dalam UU BUMN. Ini artinya bank-bank BUMN itu sudah kehilangan relevansinya sebagai agen pembangunan. Tidak layak untuk mendapatkan fasilitas kebijakan.
Pembentukkan Holding Ultra Mikro yang baru diteken PP nya oleh Presiden tanggal 2 Juli 2021 lalu juga kami tengarai hanya akan jadi akal akalan dari bankir yang akan memainkan isu membantu usaha mikro untuk tujuan pengejaran profitabilitas mereka.
Pemerintah selama ini juga diskriminatif terhadap lembaga keuangan non bank yang dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk Lembaga Keuangan Mikro seperti Koperasi, BMT, KPD dan lain-lain. Mereka sengaja dikerdilkan dengan tidak didesign untuk berkembang baik kelembagaannya. Sebut saja misalnya tanpa ada Lembaga Penjaminan Simpanan ( LPS), tidak ada dana penempatan, modal penyertaan, subsidi bunga, penjaminan pinjaman dan bahkan talangan (bailout) ketika kesulitan likuiditas. Selama ini semua kebijakan ini hanya diberikan kepada bank.
Hal ini akhirnya berdampak pada kemampuan mereka untuk melayani masyarakat UMKM yang ada. Mereka yang sudah tidak punya akses kredit ke perbankkan terpaksa harus menerima pinjaman dengan suku bunga tinggi.
Selain isu akses permodalan di atas, pemerintah selama ini terutama Kementerian Koperasi dan UKM serta kementerian teknis terkait lainya tidak benar benar serius untuk membuat terobosan kebijakan program. Dari dulu hanya berputar putar habiskan anggaran untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan yang formalistik dan tidak menjangkau kebutuhan mereka.
Padahal kalau mereka diberikan semacam kebijakan trade-off untuk mendukung pengembangan industri rumah tangga, pembentukan joint factory, insentif pajak, dan lain lain akan langsung dapat mendorong peningkatan usaha mereka tanpa harus keluarkan banyak biaya.
Masa pandemi ini harusnya jadi kesempatan emas untuk pemerintah berfokus pada usaha mikro dan kecil ini. Selain keselamatan jiwa saat ini ekonomi rakyat harus tetap jalan.
Jakarta, 20 Juli 2021
Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
0 Comments