Pagi merupa wadah bagi mereka yang bahagia menemui hidup, siang merengkuh mereka yang berpeluh mencari nafkah, senja meneduh jiwa yang lelah sebab bekerja, dan malam iyalah tempat ‘tuk berkontemplasi juga rebahkan raga.
Adanya, aku mengarungi malam dengan pikiran-pikiran yang menukik tajam dalam angan. Denting suara tiang listrik yang terdengar dipukul satu kali menunjuk malam semakin larut. Aku masih berkaca pada langit-langit kamar dengan selimut gelap dan nyanyian sepi. Lampu belajar yang menyala di sudut kamar menyapa hangat dalam gelap.
“Sepi ialah sejati, kerana ia setia dengar ‘ku berkeluh. Malam-malam jiwa terbelenggu sunyi yang bisu melalu waktu. Seperti layaknya ia telah pergi tinggalkanku.”
Kembali aku berlabuh dalam pelukan selimut berwarna biru sebagai kapalku mengarungi malam. Menghadaplah diriku ke dalam cumbuan kasur dengan bantal sebagai pangkuannya.
Detik-detik berganti memutar masa, mengganti menit berselang dewasa. Sang waktu enggan menungguku berkeluh. Tak ada jalan kembali memutar yang lalu. Kini, hanya ada asa yang terkurung dalam sekat rindu abadi yang tak dapat lepas dari belenggu sunyi.
Sebelum matahari kembali menyapa hidup dari ujung timur dunia, kembali kucoba memejamkan mata, hati juga pikiran.
Belenggu Sunyi

0 Comments