Belajar Merdeka Menulis dari Budaya Minangkabau

Aug 16, 2021 | Essai

Menjelang hari kemerdekaan, banyak kegiatan berupa lomba menulis di media sosial, di grup WhatsApp, dll. Temanya kadang ditentukan oleh penyelenggara, ada juga yang bebas tapi berhubungan dengan kemerdekaan (ternyata tidak bebas juga ya). Penulis ingin mencoba juga ikut menulis menyambut hari kemerdekaan ini. Tapi masih bingung mau menulis apa.

Teringat dengan kata-kata teman pada waktu kami diskusi melalu chat WhatsApp. Dan dia pernah bilang, “Tulis saja Mas. Tulis saja apa yang Mas mau tulis, jangan pernah menulis apa yang orang ingin baca”. Pendapat teman itu membuat Penulis merasa senang, karena apa yang dikatakannya itu menunjukan pemikiran yang “merdeka”. Walau dalam menulis juga ada etikanya. Tapi Penulis yakin dia berpendapat begitu karena pemikiran yang merdeka, dan saya percaya kalau dia juga tetap akan memakai etika dalam menulis. Karena pendapat teman itu, membuat Penulis untuk menulis tulisan ini karena ingin juga “merdeka” seperti dia.

Sesuatu yang dilakukan dengan dasar etika akan punya nilai tersendiri. Walaupun yang ditulis itu adalah hanya sesuatu yang dirasakan oleh si Penulis pada saat ia menulis. Menulis adalah seni mengungkapkan sesuatu, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Nah saya juga teringat lagi dengan pertanyaan teman lainnya. Kurang lebih pertanyaan dari teman itu, “Mengapa Minangkabau menjadi tempat kelahiran sastrawan dan negarawan besar di Nusantara”?

Bingung juga menjawabnya, sehingga melempar pertanyaan itu di grup salah satu akun media sosial saya. Dari situ banyak sekali jawaban yang penulis terima. Dari sekian banyak jawaban itu, Penulis berkesimpulan bahwa Minangkabau merupakan wilayah yang ada di Indonesia, yang masyarakatnya masih teguh memegang adat istiadat, baik yang berdomisili di wilayah Minangkabau sendiri, ataupun bagi orang Minangkabau yang merantau.

Merantau bukan berarti melepaskan semua adat yang melekat pada diri mereka, karena dengan adat itulah kebanyakan bisa berbaur sama masyarakat lainnya di perantauan. “Dimana bumi dipijak, disitu langik dijunjuang”.

Kembali pada pertanyaan teman tadi, menurut Penulis, rata-rata orang Minang akan memberikan nasehat adat, baik secara adat itu sendiri seperti kewajiban mamak membimbing kamanakan ataupun secara garis keturunan langsung seperti orang tua kepada anaknya.

Mengenai satrawan, menurut saya karena orang Minangkabau mempunya pola pikir yang merdeka dan beretika. Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau bebas berbicara, mengungkapkan ekspresi dan mengeluarkan pendapat, baik dari yang seusia, ataupun pada yang lebih tua. Dengan Kato Nan Ampek, yaitu kato mandaki, kato manurun, kato mandata, kato malereng menjadi adab komunikasi orang Minangkabau di manapun berada.

Salah satu teman berpendapat bahwa rata-rata orang Minang, dalam membaca sesuatu, mereka tidak hanya sekedar membaca saja, tapi lebih dari itu. Ya, orang Minangkabau lebih suka mengkaji sesuatu, baru kemudian diungkapkan dalam bentuk kata sebagai bahan runding. Agar bisa mengungkapkan semua hal yang tersirat, yang tersimpan dalam batin menjadi wujud/lahir dalam bentuk tulisan, ucapan atau pemikiran.

Jadi rata-rata sastrawan Minangkabau terdahulu, paham akan itu semua. Buah pikir mereka tidak sebatas tentang apa yang tersurat dalam tulisan yang mereka buat, tapi mempunyai maksud dan makna tersirat yang lebih jauh ke depannya. Contohnya seperti salah satu buku berjudul “Robohnya Surau Kami”, yang merupakan kumpulan cerpen karya AA Navis. Dari judul, mungkin orang akan berfikir itu cerita tentang bangunan tempat ibadah yang runtuh, tapi setelah dibaca dan didalami, ternyata banyak kisah, banyak kejadian yang sampai sekarang masih kita lihat di dalam kehidupan sehari-hari. Yang runtuh bukan fisik bangunan tapi runtuhnya nilai-nilai dalam kehidupan sosial dan beragama. Dan sebagian orang mungkin baru-baru ini tahu tentang istilah “satire”, padahal orang Minangkabau sudah dari zaman dahulu paham akan itu, tapi dengan istilah lain yaitu “cimeeh”, bahkan gaya “cimeeh” seringkali dipakai dalam perbincangan sehari-hari. Buktinya dari karya AA Navis itu, sampai-sampai beliau digelari “pencemooh nomor wahid” dan ”sastrawan satiris ulung”.

Ihwal Negarawan, menurut saya negarawan itu adalah seseorang yang mendedikasikan jiwa raganya untuk negara. Pemikiran dan perbuatannya lebih mengutamakan kepentingan negara dan kemaslahatan rakyat. Seorang negarawan sejati akan tetap kokoh pendiriannya untuk hal itu, dan akan rela meninggalkan jabatan dan posisi mereka bahkan korbankan harta mereka demi memegang teguh prinsipnya. Mungkin kalau zaman dulu para negarawan rata-rata tidak ada yang memiliki harta yang berlimpah ruah. Karena mereka tahu dan paham akan hak dan kewajiban mereka. Dan yang perlu digarisbawahi, mereka tidak ada niat untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompok.

Negarawan adalah pemimpin, yang bisa menggerakkan kelompok atau orang lain karena sifat, ucapan dan perbuatannya yang menjadi teladan, bukan karena ada uang. “Kasudahan adaik kabalairungan, kasudahan gadang di panghulu, mamak kapalo kaum dalam koroang, mamaliharo kaum kaganti hulu.”

Pepatah di atas menjelaskan bahwa seorang pemimpin adalah orang yang paling bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi, yang akan dipertanggung-jawabkan di hadapan manusia dan Tuhan nantinya.
“Alu pancukia duri.”

Meski pepatah Minangkabau di atas sangat singkat, hanya tiga suku kata,tapi memiliki makna yang sangat hebat, yaitu seorang pemimpin harus bisa memberi arahan mengenai tanggung jawab tim, jangan sampai melakukan kesalahan yang nantinya akan merugikan diri sendiri atau orang lain.
“Saciok bak ayam sandancing bak basi, saiyo sakato, duduk samo rendah tagak samo tinggi”.

Pepatah di atas menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mampu mendengarkan, mempertimbangkan dan mengapresiasi setiap masukan atau pendapat dari anggota tim atau orang-orang yang dipimpinnya.

Dari tiga pepatah itu, dapat menjelaskan bagaimana prinsip seorang negarawan yang berasal dari Minangkabau, di mana prinsip itu lahir dari adat yang berlaku di Minangkabau itu sendiri.

Menurut Penulis selain karena kepintaran individu yang ada pada sastrawan dan negarawan yang berasal dari Minangkabau, beliau-beliau juga mempunyai prinsip yang secara langsung atau tidak langsung berasal dari adat yang berlaku di Minangkabau itu sendiri.

Dengan tidak mengurangi etika dari penulisan ini, Penulis meminta maaf kalau tulisan ini masih jauh dari harapan Pembaca. Namun penulis mencoba mengeluarkan pendapat sendiri dalam tulisan ini, karena juga ingin merdeka dengan referensi-referensi yang dibaca, baik dari internet maupun buku-buku. Yang terpenting berusaha menyampaikan dengan gaya Penulis sendiri.

Semoga Merdeka

Rickardo Chairat

Baca Juga

0 Comments

  1. Kalau penulis kurang jujur dalam menyajikan karya tulus, pasti dan pasti akan menyesatkan. Maka catatlah sejarah sebagaimana adanya. Syukur2 bisa…

  2. Sangat menginspirasi dan menopang semangat

  3. Sangat inspirasi, membantu menumbuhkan motivasi dan penopang semangat

Pin It on Pinterest

Share This