Oleh: Mariska Lubis
Kisah Ramayana bukanlah sekedar kisah epik yang melegenda, peperangan dengan iblis Rahwana terus terjadi secara nyata hingga kini. Hanya soal nama dan bentuk serta waktu saja yang berbeda. Dewa Brahma sudah mengalahkan Rahwana dalam kisah tersebut menjadi simbolis penting yang bisa dipikirkan mendalam, yaitu bagaimana dharma dengan perpaduan keseimbangan kekuatan ilmu pengetahuan dan spirituallah yang mampu mengalahkan kekuatan jahat.
Banyaknya penyakit yang saat ini terus merajalela pun disebabkan oleh perilaku manusia sendiri, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun yang ada di dalam hati, jiwa, dan pikiran. Dan, soal penyakit ini pun menjadi perang tersendiri yang harus dihadapi manusia saat ini. Dokter dan obat-obatan bisa dianggap menyembuhkan, namun tetap kembali lagi pada diri sendiri dan Yang Maha Kuasa.
Kebijaksanaan dan keadilan bahkan kepada jiwa dan raga diri sendiri semestinya dijaga dan dilakukan, agar tiada penyakit, terutama penyakit hati dan pikiran, seperti yang diwujudkan dalam ajaran Dewa Brahma. Walau sering kali harus dianggap kejam dan keras, tetapi kebijaksanaan dan keadilan ini sangat penting untuk mampu menjadi beradab.
Memberi nasehat tentu sangat mudah, apalagi bila sudah merasa tahu, baik, dan benar. Padahal belum tentu mampu melaksanakan semua nasehat yang diucapkan oleh diri sendiri, bahkan sering kali hanya menjadi sekedar kata dan “nilai” di hadapan manusia semata. Kemenangan tersulit adalah perang melawan diri sendiri, dan yang mampu melakukannya bukan orang lain, hanya diri sendiri.
Guru terbaik bukanlah guru yang menggurui, tetapi guru yang belajar dari apa yang diajarkannya dan dari muridnya. Seperti yang dilakukan oleh Dewa Brahma, yang diyakini oleh sebagian manusia sebagai guru pertama. Seberapa mampu manusia memenangkan dirinya sendiri dengan menjadi seorang guru bagi dirinya sendiri?
Bila mempelajari semua ini, dan juga dari sepanjang perjalanan kehidupan manusia, maka semestinya paham arti dan makna kata, bahasa, dan tulisan. Betapa banyak perubahan dan banyak sekali kerusakan terjadi, begitu pula dengan kebangkitan dan perbaikan, keburukan dan kebaikan hanya karena kata, bahasa, dan tulisan.
Tidak mengherankan bila ajaran-ajaran agama yang kuat di dunia ini, selalu memiliki kitab berisi kata, dengan bahasa, dalam bentuk tulisan. Mengapa bahkan Dewa Brahma pun diyakini menuliskan kitab dan berisi syair yang indah?! Lantas apa hebatnya manusia bila hanya sekedar membaca bila tidak mampu menulis pemikiran yang baik dan berguna dalam kata, bahasa, dan tulisan?! Bagaimana bisa menang bila tidak mampu menguasai kata dan bahasa sendiri?!
Mengubah persepsi dan asumsi pikiran memang tidak mudah, apalagi bila tidak mau dan menolak sudut pandang lain yang berbeda. Sementara sadar penuh, nalar memili kemampuan terbatas, persepsi dan asumsi dibatasi wawasan, ilmu, pengalaman, kondisi, situasi, budaya, kebiasaan, dan pergaulan serta lingkungan. Kisah Dewa Brahma yang dianggap sebagai Chandra atau Dewa Bulan, menjadi menarik sebab selama ini bulan selalu diibaratkan sebagai perempuan cantik.
Lelaki adalah pemimpin yang semestinya mampu menerangi dalam kegelapan dengan segala kemampuan fitrah posisinya untuk mengambil keputusan. Bila terus memberikan keputusan penting kepada perempuan, dengan berbagai alasan pembenaran, maka apa yang terjadi? Kehancuran. Lagi-lagi, kembali pada asumsi dan persepsi, dan kemampuan mengubah diri sendiri untuk menjadi lebih baik.
Barangkali benarlah adanya, bahwa manusia hendaknya mampu menyucikan diri. Menepi di jalan sunyi untuk merenung dan berpikir untuk mampu lebih dekat pada Yang Maha Kuasa. Dewa Brahma yang dianggap sudah sangat kuat dan penuh anugerah pun melaluinya, penyucian. Bila ingin bersih maka beranilah menyucikan diri, merah putih. Seperti berpuasa, bukan sekedar menahan makan dan minum, terapi benar menahan hawa nafsu, apalagi benci, dengki, iri, munafik, penuh dusta.
Belajar menang dari Dewa Brahma sungguh tidak mudah, namun bukan berarti tidak bisa bila sungguh-sungguh berusaha. Pasrah dan doa kepada Yang Maha Kuasa sangat penting, tetapi bagaimana bisa terwujud bila diri sendiri tidak berani melakukan perbaikan diri dengan terus menerus beralasan penuh pembenaran, menolak kebenaran. Belajar dan belajar dengan segala kerendahan hati dan sungguh-sungguh, pada akhirnya memang menjadi jalan kemenangan.
26 Maret 2023
0 Comments