Mendengar berita tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh pimpinan sebuah pondok pesantren di Jawa Barat bernama Herry membuat saya geram dan mengutuk pelaku. Tak habis pikir, seorang pemimpin lembaga pendidikan agama berbuat keji dan biadab. Mengatasnamakan agama dan kebaikan berbuat hal tersebut dengan nyaman dan leluasa. Hampir 12 santriwati di perkosa dan hamil. Perbuatan biadab tersebut telah dilakukan dalam kurun waktu tahun 2016-2021. Bayangkan, hampir lima tahun Herry melakukan aksi itu di berbagai tempat, mulai kamar hotel hingga apartemen. Parahnya lagi, seperti diungkap Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Asep N Mulyana, pada Kamis 9 Desember 2021, Herry diduga menggunakan dana bantuan siswa untuk menyewa hotel dan apartemen.
Kejadian serupa sebenarnya pernah terjadi di beberapa pondok pesantren di Indonesia. Seakan tidak jera, bermunculan pelaku-pelaku yang lain dan semakin berani bergerilya di mana saja, bukan hanya di pondok pesantren tapi juga di sekolah-sekolah umum tanpa takut dan peduli akibat dari perbuatannya. Hati nurani telah mati dan napsu yang jadi kendali. Banyak yang mengutuk para pelaku ini. Salah satunya teman saya, yang kebetulan memiliki anak perempuan seusia korban, dia dengan lantang mengatakan untuk mengebiri pelaku dan menghukum seberat-beratnya dengan hukuman penjara seumur hidup. Saya mengamini apa yang dia katakan karena hal ini menyangkut masa depan korban dan trauma yang akan terus membayangi hidup mereka.
Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), dari 37 kasus kekerasan terhadap anak di pondok pesantren, 67 persen didominasi kekerasan seksual. Kekerasan seksual bila tidak ditangani serius dapat menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Penanganan dan penyembuhan traumapsikis akibat kekerasan seksual haruslah mendapat perhatian besar dari semua pihak yang terkait, seperti keluarga, masyarakat maupun negara.
Bagaimana dengan tanggapan orang tua yang mempercayakan pendidikan anak-anak mereka ke pesantren berkaitan dengan kejadian ini?
Dengan adanya kejadian luar biasa ini, kepercayaan masyarakat semakin di uji untuk terus mempercayakan pendidikan anak-anak mereka di lembaga pendidikan pesanteran atau beralih ke lembaga pendidikan yang lain, misal sekolah formal pada umumnya. Menurut data Kementrian Agama (Kemenag) tahun 2021 tercatat jumlah pesantren sebanyak 27.230. Jumlah ini jauh meningkat dibanding data 1997, yang tercatat baru sebanyak 4.196 buah. Ini menggambarkan bahwa minat masyarakat untuk mempercayakan pendiidikan anak-anak mereka pada lembaga pendidikan pesantren sangat tinggi. Salah satu anggapan yang berkembang di masyarkat adalah jika anak mereka belajar di pondok pesantren maka dipercaya salah satu kaki orang tuanya telah masuk surga. Artinya, orang tua berkeinginan anak-anaknya kelak menjadi anak yang shaleh/shalihah dan bisa menolong orang tua mereka masuk surga. Sungguh harapan yang luar biasa. Bagaimana dengan saya yang tidak satu pun anak saya belajar di pondok pesantren. Saya hanya berdoa semoga anak saya bisa menolong saya kelak dengan jalan yang berbeda. Menurut para orang tua, yang salah bukan pondok pesantrennya tapi individu atau pelakunya. Mereka masih percaya bahwa pondok pesantren adalah salah satu solusi pendidikan bagi anak-anak mereka di zaman yang serba canggih di mana perkembangan teknologi dapat mengubah perilaku, juga sifat seseorang. Pergaulan semakin bebas dan moral semakin dikesampingkan dalam pergaulan.
Sepertinya dengan kejadian tindak kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini, yang dilakukan pelaku kekerasan seksual di pondok pesantren dan oknum guru agama bisa sedikit menggoyahkan pendirian orang tua untuk berpikir kembali dalam mempercayakan pendidkan anak-anak mereka di sana. Apalagi bagi orang tua yang baru berencana atau berkeinginan menyekolahkan anak-anak mereka ke sana.
Apa yang harus dilakukan bagi orang tua yang berencana memilih pesantren sebagai tempat anak-anaknya mengenyam pendidikan? Yang pasti dan paling penting adalah memperbaiki kembali niat awal orang tua memilih lembaga pendidikan pesantren. Bukan sebagai solusi terakhir karena tidak diterima di sekolah mana pun, tapi sebagai pilihan pertama dan terbaik. Makanya tidak heran jika ada anak-anak tetangga ada yang mondok kabur-kaburan dan tidak betah karena paksaan orang tua dan menganggap pesantren adalah tempat buangan.
Selain memperbaiki niat awal, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika akan memilih pesantren. Diantanya adalah memilih model pendidikan di pesantren, apakah model Pondok Pesantren Salafi atau Moderen. Pada Model Pondok Pesantren Salafi hanya mengajarkan kurukulum pesantren saja tanpa menggabungkan dengan kurikulum yang ada di pemerintah. Model pendidikan ini hanya mendidik santrinya mengaji juga mempelajari Al-qur’an dan belajar kitab-kitab pesantren. Sedangkan model Pondok Pesantren Moderen menggabunggkan pembelajaran Al-qur’an juga kitab yang ada di Pesantren pada umumnya dan pendidikan formal. Sehingga, santri yang belajar di pesantren moderen seperti ini, tidak perlu lagi bersusah payah mencari dan pergi keluar pesantren setiap harinya untuk menambah ilmu pendidikan ekstra dan ilmu kesosialan. Karena keduanya sudah menjadi satu paket ke dalam pendidikan lembaga tersebut.
Hal lain yang tak kalah penting dalam memilih pondok pesantren adalah pola pengasuhan. Saya menyarankan untuk memilih pesantren yang diasuh oleh kiai dan ustadz yang memiliki karisma. Bukan abal-abal tapi betui-betul pengasuh atau pendidik yang memiliki kredibilitas keilmuan, kompetensi, dan akhlak yang mulia. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah pilihlah pesantren yang output dan inputnya bagus. Artinya, pilihlah pesantren yang telah meluluskan alumni-alumni yang berkualitas yang menghasilkan tokoh-tokoh hebat, pejabat publik yang mumpuni, dan berkarakter baik.
Saya berkata sambil becanda dengan teman saya tadi, yang geram kepada pelaku dan ingin ikut mengkebiri, “Jika ingin masuk surga caranya gampang, mas. Masukkan saja anak-anakmu yang berlima itu ke ponpes. Tapi ingat, jangan salah pilih ustadz,” saya menambahi, ‘jangan yang abal-abal apalagi cari gratisan.”
Sambil tersenyum dan memerah mukanya, dia menjawab, “Ya enggaklah, edan apa, buat masa depan anak, kok kasih abal-abal.”
Sepakat, mempersiapkan masa depan untuk anak-anak kita adalah tanggung jawab orang tua. Memberikan pendidikan yang berkualitas, menjadi tauladan yang baik, mencukupi kebutuhan lahir dan batin anak-anak menjadi tugas dan kewajiban yang harus selalu di upayakan dengan kerja keras. Pepatah Jawa kuno mengatakan “Jer Basuki Mawa Beya” artinya dibutuhkan kerja keras dan pengorbanan sebagai harga dari kesuksesan. Tanpa pengorbanan, kita tidak akan bisa meraih tujuan yang diinginkan. Jika ingin anak-anak kita mendapatkan pendidikan yang bagus harus berani keluar biaya, misalnya mengirim anak kita ke pondok pesantren yang berkualitas. Bukan berarti sekolah-sekolah yang gratis tidak berkualitas. Jangan salah. Banyak sekolah negeri yang gratis bagus mutunya, lho.
Tapi sekali lagi, keputusan ada ditangan orang tua masing-masing, bergantung dari kemampuan finansial, pemahaman dan sudut pandang dalam melihat secara utuh tentang pendidikan di pondok pesantren. Mengenyam pendidikan di mana saja pasti hasilnya akan baik, tergantung individu masing-masing. Silakan, pilihkan yang terbaik tempat belajar untuk putra-putrinya. Semoga orang tua tidak salah memilih. Ingatlah, jagalah anak-anak kita dari para predator yang berkedok kemuliaan, mengatasnamakan kepedulian dan bantuan soasial. Sebagai masyarakat kita harus tanggap dan melaporkan jika menemukan hal-hal yang janggal yang terjadi di sebuah lembaga pendidkan, tidak hanya di pondok pesantren tapi dilembaga pendidikan di sekitar kita. Kepedulian masyarakat akan kasus-kasus kekerasan seksual sangat dibutuhkan agar predator-predator yang lain tidak bermunculan. Basmi mereka demi masa depan anak-anak kita yang lebih baik.
0 Comments