Prediksi IMF tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia 2021 sangat mungkin jadi nyata, dan itu artinya Sri Mulyani harus turunkan lagi asumsi pertumbuhan yang dipakai dalam APBN, yaitu batas atas 4,5% menjadi 4,1% karena IMF pun turunkan ke angka 3,9% dari sebelumnya 4,3%.
Prediksi IMF per Juli 2021, pertumbuhan Indonesia jauh di bawah India, Brazil, Malaysia dan Filipina. Indonesia sama dengan Pakistan.
Koreksi IMF ini tentu berkaitan dengan pandemi Covid19 yang melonjak kembali di Indonesia. Tapi bagaimana pemerintah Indonesia mengendalikan pandemi, yang tentu itu berkaitan dengan dampaknya pada ekonomi, menjadi bagian dari analisa dalam proyeksi IMF.
Cara pemerintah Brazil dan India, yang sama dengan Indonesia mengalami lonjakan kasus baru akibat varian delta, menjadi kunci bagi ekonomi mereka bangkit kembali. Pukulan terhadap ekonomi akibat pandemi, bukan berarti kebijakan pengendalian pandemi menjadi setengah-setengah demi buru-buru gerakkan ekonomi lagi. Padahal pandeminya sendiri belum tuntas dan terkendali.
Secara umum, keberhasilan pengendalian pandemi akan ditentukan pada efektifitas pembatasan mobilitas warga dalam waktu tertentu secara ketat, disertai testing, tracing, tingkat penularan, tingkat kematian dan program vaksinasi yang memenuhi jumlah minimal sesuai mandatory WHO.
Dalam hal pembatasan mobilitas, pemerintah Jokowi justru melonggarkan PPKM Darurat secara dini, tanpa mempertimbangkan indikator yang belum terpenuhi, misalnya jumlah testing, rasio kematian, dan rasio penularan.
Jokowi hanya menyampaikan BOR yang menurun, padahal itu belum diteliti lebih dalam apakah disebabkan makin banyak orang yang Isoman di rumah karena tidak percaya atau takut tidak dapat rumah sakit.
Angka kasus yang menurun jelang PPKM Darurat berakhir, disebabkan karena spesimen juga berkurang. Alhasil, kasus baru naik lagi di awal diberlakukannya pelonggaran dalam PPKM L-4, yang bersamaan dengan spesimennya juga bertambah.
Efektifitas pembatasan mobilitas warga akan ditentukan oleh 3 hal:
Pertama, Adanya bantuan sosial yang dibutuhkan warga selama mobilitasnya dibatasi. Karena itu bantuan sosial ini tidak boleh terlambat, harus terdistribusi sebelum kebijakan pembatasan mobilitas warga diberlakukan. Jika tidak disertai bantuan sosial, maka kepatuhan warga akan rendah dan tentunya pengetatan mobilitas tidak efektif menurunkan penularan Covid19.
Kedua, Alokasi anggaran untuk pembelian vaksin pelayanan kesehatan. Brazil misalnya, yang anggarkan pembelian vaksin 2021 lebih dari Rp56 triliun untuk penduduknya yang berjumlah sekitar 211 juta. Bandingkan dengan Indonesia yang anggarkan Rp59,3 triliun untuk penduduknya yang berjumlah sekitar 271 juta. Seharusnya anggaran vaksin Indonesia sekitar Rp71 triliun. Anggaran ini akan menggambarkan kesanggupan pemerintah dalam menghadapi lonjakan kasus berikutnya.
Ketiga, Efektifitas dalam anggaran. Misalnya pembelian vaksin, kapan datangnya dan tentunya kecepatan realisasi vaksinasinya, apa merek vaksinnya, ini akan menentukan keberhasilan dalam penanganan pandemi.
India misalnya, dapat menyusun anggaran 4,8 Miliar USD (sekitar Rp69,3 triliun) untuk target 2 kali vaksinasi untuk 590 juta warga. Ini sangat efisien.
Efisiensi anggaran di tengah pandemi ini penting agar optimal. Tidak optimal jika salah beli merek vaksin yang efikasi rendah atau ada benturan kepentingan.
Dalam hal efikasi, India gunakan vaksin yang lebih dulu masuk dalam daftar vaksin WHO seperti Covishield, Moderna, termasuk merek lokal Biological-E. Begitu juga Brazil gunakan Astrazeneca, Pfizer dan Moderna. Brazil ijinkan gunakan Sinovac untuk masa darurat, tetapi untuk booster Brazil hanya ijinkan 2 merek yaitu Pfizer dan Astrazeneca.
Dalam hal efisiensi, anggaran pembelian vaksin sangat berpotensi terjadi benturan kepentingan, yang sudah juga disampaikan KPK-RI.
Contoh di Brazil, pengadilan sedang menyelidiki dugaan korupsi dalam pembelian vaksin yang melibatkan presiden Bolsonaro. Seharusnya Sri Mulyani (SMI) sebagai Menteri Keuangan dapat meneliti lebih dalam kewajaran dalam harga pembelian vaksin Sinovac, yang dalam hal efikasi juga lebih rendah dari vaksin lainnya yang dibeli indonesia. Bahkan media Reuters baru-baru ini memberitakan bahwa antibodi akan menurun dalam waktu 6 bulan setelah 2 kali vaksinasi Sinovac.
Singapura juga dapat dijadikan benchmark harga vaksin. Misalnya harga vaksin mandiri harganya Rp108 ribu. Bandingkan dengan vaksin mandiri di Indonesia, yang akhirnya dibatalkan pemerintah, yang harganya mencapai Rp321 ribu.
Realisasi pembayaraan pembelian vaksin sekitar Rp10 triliun bukan uang yang sedikit. Maka jika SMI dapat melakukan efisiensi dengan menjaga efikasi yang tetap tinggi, akan menjadikan efektifitas anggaran sebagai salah satu kunci sukses penanganan Pandemi Covid19.
Pandemi adalah masalah global. Kita perlu banyak belajar dari cara penanganan pandemi di negara-negara lain, khususnya Dunia Ketiga. Ini akan akan membuat kebijakan pengendalian pandemi di tanah air lebih efektif.
Jakarta, 28 Juli 2021
Gde Siriana Yusuf
0 Comments